https://jakarta.times.co.id/
Opini

Dibalik Pengangkatan Guru Honorer

Senin, 23 Juni 2025 - 21:38
Dibalik Pengangkatan Guru Honorer Dina Sutiana, Mahasiswi Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam atau Aktivis Literasi Islam.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pengangkatan guru honorer menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) atau Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) merupakan kabar menggembirakan bagi banyak pendidik di Indonesia. Termasuk bagi para guru Pendidikan Agama Islam (PAI) yang selama ini mengabdikan diri dalam sistem pendidikan nasional. 

Namun dalam dinamika proses seleksi tersebut, terutama untuk guru Pendidikan Agama Islam (PAI), muncul pertanyaan yang layak diajukan secara kritis: apakah yang diangkat benar-benar guru dengan kompetensi terbaik, ataukah mereka yang berhasil menempuh jalur yang “tepat” baik secara administratif maupun politis?

Terjepit di Antara Idealitas dan Realitas

Guru PAI selama ini memiliki posisi yang cukup unik. Mereka adalah penanam nilai-nilai spiritual dan moral di tengah sistem pendidikan yang cenderung teknokratis dan berorientasi hasil belajar kognitif. 

Sayangnya, posisi strategis ini seringkali tidak berbanding lurus dengan penghargaan yang diterima. Tak sedikit guru agama yang selama puluhan tahun mengabdi di sekolah dengan status honorer dan gaji tak layak, bahkan di bawah upah minimum daerah.

Menurut data Kementerian Agama 2023, terdapat sekitar 153.000 guru PAI honorer di sekolah umum di seluruh Indonesia, dan hanya sekitar 30% yang sudah diangkat menjadi PPPK dalam gelombang seleksi terakhir. 

Ketika pemerintah membuka jalan seleksi ASN Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK), harapan baru pun menyala. Tapi dalam pelaksanaannya, terjadi banyak kejanggalan. Ada guru yang baru mengajar dua tahun tetapi lolos karena memiliki sertifikat dan kelengkapan administratif.

Sementara guru senior dengan jam terbang tinggi justru tersingkir. Kondisi ini memunculkan kecurigaan: apakah faktor kompetensi pedagogik dan keteladanan spiritual benar-benar menjadi ukuran utama, atau sekadar formalitas administratif?

Diangkat Karena Siapa?

Lebih memprihatinkan lagi, di sejumlah daerah, muncul indikasi bahwa proses seleksi guru PAI tidak sepenuhnya steril dari kepentingan politik lokal. Tidak jarang formasi guru agama dianggap sebagai “posisi aman” secara sosial maupun politik. Apalagi jika guru bersangkutan punya kedekatan dengan elite daerah, tokoh masyarakat, atau memiliki akses ke pengambil kebijakan.

Situasi seperti ini merusak prinsip meritokrasi. Ketika yang terangkat bukan karena kompetensi, tetapi karena “siapa yang mendukung”, maka yang dirugikan bukan hanya guru-guru berkualitas-melainkan generasi siswa itu sendiri. 

Kualitas pendidikan agama tak bisa dibangun hanya dari kelengkapan administrasi atau kepentingan politik. Diperlukan guru yang memiliki kedalaman ilmu, keteladanan spiritual, dan kemampuan mentransformasikan nilai Islam dalam kehidupan nyata.

Kualitas Pendidikan Islam di Sekolah Umum Terancam

Ketika yang diangkat bukan guru agama terbaik, tetapi sekadar "yang berhasil masuk kuota", maka kita sedang menyimpan bom waktu dalam sistem pendidikan. Pembelajaran agama bisa tergelincir menjadi formalitas belaka. Nilai-nilai Islam tidak lagi membekas dalam perilaku siswa, karena tidak didampingi oleh figur guru yang menjadi teladan sejati.

Laporan Pusat Kajian Pendidikan Islam 2023 mencatat bahwa hanya 52% siswa sekolah umum merasa pelajaran PAI di kelas relevan dengan kehidupan mereka—angka yang menunjukkan adanya celah antara materi yang diajarkan dan penghayatan siswa untuk menjawab tantangan zaman. 

Di tengah krisis moral, pergeseran nilai, polarisasi ideologi keagamaan, dan arus sekularisme global, peran guru PAI justru makin penting. Dibutuhkan guru agama yang tidak hanya paham teks, tapi juga mampu menjembatani ajaran keislaman dengan realitas modern. Sosok guru yang bukan sekadar pengajar, tetapi pembina karakter, penjaga moralitas, dan pemandu spiritual generasi muda.

Saatnya Perbaiki Sistem, Bukan Sekedar Tambal Bocor

Pengangkatan guru agama yang berbasis kuota politik atau sekadar kelengkapan administratif adalah persoalan serius yang tak boleh dianggap remeh. Jika tidak segera dibenahi, dampaknya akan meluas: kualitas pendidikan agama akan terus menurun, integritas sistem rekrutmen ASN akan rusak, dan yang paling mengkhawatirkan, para siswa akan kehilangan sosok guru teladan yang seharusnya membimbing akhlak dan karakter mereka. 

Jika kondisi ini dibiarkan, kepercayaan publik terhadap lembaga pendidikan Islam pun akan kian merosot. Padahal, dalam konteks Indonesia hari ini, pelajaran agama bukan sekadar pelengkap kurikulum. 

Justru di tengah derasnya arus globalisasi dan perubahan nilai, pendidikan agama berperan besar dalam membangun integritas bangsa, merawat pluralitas, serta menyiapkan generasi yang cerdas secara spiritual dan kuat secara moral.

Karena itu, pengangkatan guru agama harus dibenahi dengan langkah-langkah konkret. Pertama, pemerintah pusat dan daerah perlu melakukan pemetaan ulang kebutuhan guru PAI yang berbasis pada kapasitas riil sekolah, bukan sekadar angka formasi politis. 

Kedua, proses seleksi harus benar-benar berbasis kompetensi dan keteladanan—meliputi wawancara mendalam, rekam jejak pengabdian, dan kemampuan menyelesaikan tantangan pendidikan spiritual, bukan semata kelengkapan berkas. 

Ketiga, seleksi harus dilakukan secara transparan dan akuntabel. Masyarakat berhak tahu siapa yang lolos dan mengapa, sehingga publik dapat memastikan bahwa proses tersebut bersih dan profesional. 

Terakhir, setelah pengangkatan dilakukan, penguatan kapasitas guru PAI harus menjadi prioritas. Guru PAI tidak boleh hanya berfungsi sebagai pengisi jam pelajaran agama, melainkan menjadi pembina karakter yang sejati bagi para siswa. 

Tanpa langkah-langkah ini, pengangkatan guru agama berpotensi besar hanya menjadi ritual administratif yang jauh dari cita-cita mencetak generasi berakhlak dan berintegritas.

Pendidikan agama Islam di sekolah umum tidak boleh menjadi ruang kompromi politik. Ia adalah arena pembentukan moral, akhlak, dan kesadaran spiritual anak bangsa. Jika kita lengah dan membiarkan sistem ini dikuasai oleh logika kuota dan lobi, maka kerusakan tidak hanya menimpa institusi pendidikan, tetapi juga masa depan moral bangsa.

Kini, pertanyaannya: beranikah Kementerian Agama, dinas pendidikan, serta publik pendidikan memperjuangkan pengangkatan guru agama yang benar-benar layak-tanpa kedekatan politik atau koneksi birokratik? Karena jika tidak, kita sedang mewariskan sistem yang rapuh, yang akan menghancurkan harapan kita atas masa depan anak-anak bangsa.

***

*) Oleh : Dina Sutiana, Mahasiswi Pascasarjana Manajemen Pendidikan Islam atau Aktivis Literasi Islam.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

__________
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.