TIMES JAKARTA, JAKARTA – Buku karya kader Nahdatul Ulama (NU) Deni Gunawan berjudul: Indonesia Tanpa Caci Maki menarik dibaca diakhir pekan.
Dalam karya itu, ia mengurangi bagaimana bangsa ini yang dasarnya adalah dihuni oleh berbagai macam kelompok manusia dengan berbagai karakteristik dan budaya serta agamanya.
Dalam pengantarnya, ia mengatakan ternyata tidak mudah menjadi Islam dan Indonesia sekaligus. "Setidaknya begitulah yang mungkin dialami oleh sebagian masyarakat Indonesia. Sejak dulu, saat republik ini didirikan, masyarakat Islam Indonesia selalu berdebat mengenai landasan serta bentuk negara," katanya dikutip TIMES Indonesia, Minggu (29/1/2023).
Menurutnya, ada yang menghendaki sebagai negara agama atau Islam, ada yang menghendaki sebagai negara sekuler, ada yang menghendaki menjadi negara tengah-tengah.
"Negara tengah-tengah ini jika mau ditafsirkan, mungkin akan lebih tepat disebut negara yang mengakomodir nilai- nilai agama serta nilai-nilai di luar agama (kearifan lokal dan nilai lainnya) sebagai landasan bernegara," jelasnya.
Faktanya, kata dia, setelah Indonesia diproklamirkan. Republik ini tidak serta-merta dapat berjalan ke depan dengan mulus begitu saja. Perdebatan mengenai bangsa bahkan terus berlanjut dengan sengit. Ada keberatan sebagian kelompok Islam atas penghapusan tujuh butir kata-kata dalam piagam Jakarta yang sebelumnya telah disepakati.
Sementara, lanjut dia, kelompok lain justru sebaliknya tidak sepakat jika tujuh butir itu tetap ada, dengan asumsi bahwa itu mengesankan sikap diskrimininatif bagi kelompok lain.
"Hal ini dapat dipahami sejauh bahwa bangsa ini pada dasarnya adalah bangsa yang dihuni oleh berbagai macam kelompok manusia dengan berbagai karakteristik dan budaya serta agamanya," jelasnya.
Pancasila Sebagai Ideologi Bangsa
Jalan tengah kemudian dipilih. Sebagai alternatif agar republik ini tetap eksis, maka para perumus falsafah negara waktu itu menghendaki dihapusnya tujuh butir isi piagam Jakarta.
Alasannya, kata dia, eksistensi republik lebih utama dari sekadar memaksaan kepentingan ideologi kelompok tertentu. Walhasil, republik ini tetap berjalan, dan Pancasila dianggap sebagai ideologi sah republik yang bernama Indonesia.
"Ternyata, dengan ditetapkannya Pancasila sebagai ideologi bangsa. Tidak serta-merta membuat perdebatan bentuk dan ideologi apa yang harus dipakai oleh republik ini berhenti," katanya.
Peristiwa G30S/PKI dianggap satu dari sekian perlawanan terhadap ideologi bernama Pancasila itu. Sebutlah saja, lanjut dia, ada PRRI, DI/TII dan sebagainya adalah pengejawantahan dari aspirasi kelompok lain yang menginginkan Indonesia sebagai sebuah negara yang sesuai ideologi mereka masing-masing.
Ia menyampaikan, sejak pendirian awal republik ini. Indonesia mengalami perjalanan yang tak mudah. Sebagai sebuah bangsa baru dan sangat muda. Indonesia membutuhkan satu perekat yang benar-benar sakti. Jika ingin republik bernama Indonesia ini tetap eksis ila akhiril zaman.
Perekat itu menjadi penting. Untuk menjaga keeksisan sebuah negara yang majemuk dengan suku dan bahasa yang ribuan itu memang diperlukan satu formula yang benar-benar tepat. Tidak hanya tepat, ia harus canggih dan memiliki nilai universal yang dapat memayungi segala keparsialan manusia Indonesia.
Satu-satunya alasan yang paling masuk akal di nalar penulis sampai hari ini adalah kesamaan nasib sebagai bangsa yang pernah terjajah itulah yang membuat orang-orang dulu kemudian ingin bersatu padu membentuk satu kesepakatan bernegara.
"Padahal, jika dilihat kenyataannya, setiap suku atau bangsa pada waktu itu memiliki tradisi, otoritasnya masing-masing. Ini tidak mudah," jelasnya.
Sampai hari ini, perdebatan tersebut masih berlangsung. Sayangnya, politisasi memperburuk semuanya. Sesama anak bangsa stag pada perdebatan yang tidak produktif.
"Satu sama lain tak mau kalah dan enggan berdialog. Saling tuduh serta menyalahkan satu sama lain. Padahal, mereka adalah anak kandung dari republik yang telah berdiri selama 73 tahun ini. Tetapi sikap ketidakharmonisan dan keakraban semakin hari semakin menjadi. Belum lagi ke- tidakdewasaan berpolitik membuat semuanya menjadi serba semraut," ucapnya.
Paparkan Data BIN
Ia pun memaparkan data yang baru-baru ini Badan Intelijen Negara (BIN) menyebut bahwa ada 41 masjid pemerintahan yang terpapar radikalisme. Jumlahnya 41 dari 100 yang ada di lingkungan kementerian, lembaga, dan BUMN.
"Meski sebagai orang waras, kita mempertanyakan apa maksud BIN mengemukakannya pada umum. Di samping tentu, kita harus tahu apa standar sebuah masjid disebut terpapar radikalisme atau tidak. Setidaknya kita harus paham apa itu radikalisme dalam perspektif BIN," katanya.
Selain apa yang disebutkan BIN itu, survei yang dilakukan oleh P3M NU juga menunjukkaan 7 Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan 39% mahasiswa dari 15 Provinsi tertarik paham radikal. "Hasil yang jika dilihat secara sepintas dari kacamata nasionalisme, sangat menakutkan," katanya.
Data lain dari Alvara Research menyebut 19.4% Pegawai Negeri Sipil (PNS) tidak setuju Pancasila. Research ini dilakukan pada 10 September-5 Oktober 2017 di Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Medan atas Makassar. Jumlah responden sejumlah 1200 orang terdiri dari PNS, swasta/profesional dan di BUMN. Usia responden sekitar 20-40 tahunan.
"Di sisi lain Alvara juga menyebut, dari 1.097 responden milenial dari 33 Provinsi yang disurvei menunjukkan data bahwa 40,9% dari mereka memiliki pemahaman Nasionalis-Religius, 35,8% Nasionalis, dan 23,3% Religius," jelasnya.
Menurutnya, data tersebut sebetulnya tidak terlalu mengkhawatirkan, jika data tersebut sebatas menunjukkan kecenderungan seseorang tanpa ada keinginan melakukan perubahan dengan cara memaksakan pemahaman itu sebagai ideologi suatu negara, khususnya data religius.
"Ini pun jika religius sejajar maknanya dengan radikal. Penulis pribadi menolak pandangan itu," katanya.
Sebagian berpendapat, turunnya ketahanan nasional itu disebabkan oleh penurunan di masalah Ideologi, 19,4% tidak setuju Pancasila. "Artinya, ada masalah dalam konteks berideologi bangsa ini. Pancasila sebagai sebuah ideologi bangsa sejauh ini belum masuk dalam sanubari masyarakat Indonesia," katanya lagi.
"Setidaknya jumlah 19,4% data PNS anti Pancasila menunjukkan itu. Pertanyaannya, apakah Pancasila tidak lagi cocok? Pertanyaan ini tentu akan ditolak. Maka pertanyaan selanjutnya adalah sejauh mana Pancasila didiskursuskan secara serius di sendi-sendi kehidupan masyarakat kita agar diterima?," ujarnya.
Sekilas Tentang Penulis Buku Indonesia Tanpa Caci Maki
Deni Gunawan, lahir di Bali 1 Februari 1992, tepatnya di Desa Yeh Sumbul, Kecamatan Medoyo, Jembrana-Bali. Pendidikan formalnya mulai dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas dilaksanakan seluruhnya di Bali.
Taman Kanak-kanak di TK Baitul Amilin. Sekolah Dasar di MIN Yeh Sumbul. Sekolah Menengah Pertama di MTsN Mendoyo. Dan Sekolah Menengah Atas di MAN Negara. Pendidikan terakhir penulis adalah Sarjana Agama di Sekolah Tinggi Filsafat Islam.
Penulis aktif dalam berbagai organisasi. Selama kuliah penulis pernah menjadi ketua BEM kampus dan ketua research mahasiswa. Lalu mendirikan PMII Komisariat STFI. Dan terakhir menjabat sebagai Kabiro Kaderisasi PC PMII Jakarta Selatan. Penulis pernah ikut menjadi anggota LTNU Bali dan Lakpesdam PCNU Jembrana.
Selain pengalaman organisasi tersebut. Penulis buku Indonesia Tanpa Caci Maki ini juga pernah ikut Kelas Pemikiran Gus Dur ke-1 oleh Gusdurian Jakarta di Wahid Foundation. Pernah juga ikut Sekolah Pemikiran Paradigmatik Gus Dur oleh FK-GMNU di PBNU. Saat ini penulis aktif di NgajiTek PBNU. (*)
Pewarta | : Moh Ramli |
Editor | : Faizal R Arief |