TIMES JAKARTA, JAKARTA – Ayam tetap bisa hidup, makan, tidur dengan nyaman meskipun tidak menjadi sarjana. Manusia pun tentu bisa begitu. Tapi hewan yang saya sebutkan di atas tersebut tidak memiliki mimpi, cita-cita dan hasrat untuk menjadi lebih baik dalam hidupnya. Dan itu hanya dimiliki oleh mahluk luhur bernama manusia.
Kini, sebagian generasi Indonesia, serta ibu-ibunya di rumahnya sedang galau. Mimpinya, cita-citanya serta hasrat untuk mengikhtirkan kehidupan yang lebih baik berpotensi pupus, karena sebab melambungnya besaran uang kuliah tunggal (UKT). Potensi besarnya, mereka putus kuliah dan pulang ke rumahnya dengan mental yang hancur.
Kebijakan pemerintah yang mendorong makin banyaknya perguruan tinggi negeri berbadan hukum (PTNBH) menjadi sebab biaya kuliah menjadi mahal. Sebagian mahasiswa di kampus-kampus plat merah ini pun mengkritik keras kebijakan tersebut.
Anehnya, ada saja rektor yang membungkam mahasiswanya yang kritis itu dengan melaporkan ke pihak kepolisian. Meski akhirnya laporan tersebut dicabut, namun itu menjadi catatan hitam sebuah sikap otoriter dunia pendidikan di Tanah Air.
Jelas ini bukan masalah sepele. Ada semacam paradoks yang seharusnya tidak terjadi di Indonesia. Pasalnya, kebijakan naiknya UKT jelas menyimpang dari dasar historis dan ideologis pendirian universitas negeri, yaitu pemerintah bertanggung jawab memberi layanan pendidikan berkualitas dengan biaya murah, bahkan gratis. (Tempo: 2024).
Jadi, jika ada kampus yang memberikan alasan soal kenaikan UKT karena sebab dipengaruhi oleh inflasi, termasuk kenaikan listrik, BBM, dan kebutuhan sarana prasarana program studi (Prodi), jelas itu bertentangan dengan historis dan ideologis pendirian universitas negeri tersebut.
Untuk menjawab segera kesedihan generasi-generasi Indonesia di atas serta memberikan angin segar bagi para ibu-ibunya yang menginginkan anak-anak menjadi sarjana, hingga membuat kehidupan mereka menjadi lebih baik di masa depan, pemerintah jelas tak boleh membisu begitu saja.
Pemerintah dan DPR harus mengkaji kebijakan soal PTNBH yang melahirkan problem-problem tersebut. Titik pembahasan terpenting adalah, jangan sampai rakyat 'diperas' oleh siapapun atas nama pendidikan.
Alinea keempat UUD 1945 telah sangat jelas mengatur bahwa negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Karena tanpa kecerdasan dan pengetahuan yang luas, tidaklah mungkin apa yang menjadi cita-cita negara sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945 bisa terwujud.
Mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tujuan yang wajib diwujudkan oleh negara. Itu karena, hal tersebut adalah sebuah cita-cita luhur serta harapan pendiri negara ini untuk membangun rakyat agar manusia-manusia di bumi Khatulistiwa ini bisa unggul guna tercapainya kehidupan yang adil, makmur, dan sejahtera.
Jika masalah ini tak hendak diselesaikan dan menjadi isu yang menguap begitu saja, potensi besar yang menjadi korban adalah generasi-generasi Indonesia karena pupusnya mimpi dan cita-cita mulianya. Bila itu terjadi, artinya apa yang disebut oleh netizen-netizen di media sosial itu benar adanya: bahwa orang miskin di negeri ini dilarang sarjana. (*)
***
*) Oleh : Moh Ramli, Lulusan Magister Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. HAMKA
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |