https://jakarta.times.co.id/
Kopi TIMES

Guru: Diguyu dan Disaru

Jumat, 05 Juli 2024 - 17:32
Guru: Diguyu dan Disaru Abdur Rohman, Maha Santri Pesantren Luhur Baitul Hikmah sekaligus Mahasiswa STF Al Farabi Kepanjen, Malang

TIMES JAKARTA, MALANG – Apa itu guru? Kenapa guru selalu bertetangga dengan pendidikan? Kenapa di tanah air ini ada guru yang honorer dan PNS? atau teranyar apa itu guru PPPK? Duh, kian rumit saja.

Mula-mula akronim yang terkenal dari guru adalah “digugu dan ditiru”. Namun, percaya atau tidak, singkatan tersebut sepertinya sudah tak relevan sekarang. Mungkin yang lebih cocok berdasarkan fenomena yang terjadi saat ini adalah diguyu dan disaru. 

Dalam bahasa Jawa kata “guyu” berarti tertawa, sementara “saru” bermakna tidak senonoh. Dalam artian, makna guru sekarang sudah menjadi istilah yang tidak lagi disakralkan dan ditakzimi, tak lagi berwibawa dan dihormati. 

Loh, kok bisa? Bisa dong, mari berselancar. Guru saat ini, acapkali menjadi bahan olokan para murid, bahkan menjadi korban kekerasan siswanya sendiri. Parahnya, pada bulan November 2023 silam, seorang siswa SMP di Lamongan melempar kursi hingga membacok gurunya lantaran tidak terima ditegur karena tak memakai sepatu.

Malah sebagian orang tua terkesan membela anaknya, serta tak segan melaporkan perlakuan guru ke kepolisian begitu anaknya dihukum; dijemur di lapangan padahal sang anak terlambat, disetrap maju ke depan kelas dengan kedua tangan memegang telinga sebab dia tidak menyimak penjelasan guru, kepalanya dilempar penghapus karna bermain gawai di kelas, dipukul dengan penggaris kayu lantaran mencemooh guru, atau diceramahi hingga berbusa gara-gara sang anak melakukan pelecehan verbal ke guru tercantik di sekolah.

Tak terima anaknya diperlakukan demikian, alih-alih orang tua menasihati sang anak agar kapok justru ia mengadu ke kantor polisi. Padahal sang anak lah yang melakukan kesalahan. Dengan demikian, guru menjadi bahan olok-olok siswa dan orang tua.

Diantara kita mungkin pernah mendengar orang tua kita pernah bercerita, tentang perlakuan guru saat zaman sekolah dulu, bahwa guru jaman dulu itu lebih killer dan menakutkan dibandingkan guru sekarang. Siswa segan kepada guru, tidak mau berurusan dengan guru, selalu menunduk tak berani membantah bahkan mengajaknya ke ring tinju.

Kendati begitu, tidak sedikit orang tua kita yang mencapai kesuksesan dan keberhasilan serta memiliki karakter yang kuat, tahan banting, tidak cengeng menghadapi persoalan. Tak lain berkat jasa, didikan, edukasi dan teladan yang ditularkan para guru pada murid, yang katanya mereka jauh lebih menyeramkan. Sementara anak milenial sekarang bermental pengecut, cengeng, arogan, amoral, tak peduli dengan sesama, indivisualis, introvert dan seterusnya.

Tidak hanya sekolah-sekolah formal saja, lembaga pendidikan tradisional seperti pesantren pun demikian adanya. Para guru, kiai, ustad, buya menempa para santri dengan berbagai disiplin keilmuan, disuruh untuk menghapal nahwu-shorof, dihukum bila melakukan tindakan diluar aturan. 

Seseorang yang sangat menginspirasi banyak kalangan dengan kualitas intelektualitas dan spiritualitasnya, almarhum Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah figur hasil didikan dan bimbingan guru-guru yang demikian di pesantren sejak beliau masih kecil, disamping orang tua beliau yang juga seorang kiai. Bahkan ada keyakinan oleh para santri bahwa guru lebih mengetahui potensi, kemampuan bahkan masa depan sang santri, muridnya. Oleh karenanya para guru dan kiai sangat sakral dan keramat bagi para santri.

Di samping guru yang tak jarang menjadi korban, alasan lain kenapa akronim dari guru “digugu dan ditiru” sudah tidak relevan saat ini dan lebih cocok dengan singkatan “diguyu dan disaru” yakni guru juga yang menjadi tersangka dibalik fenomena yang mengemuka. Guru pula yang terkadang menjadi aktor utama dari berbagai kasus perpeloncoan, pelecehan seksual ke siswi, skandal di ruang kantor, kisah asmara, sampai skandal perselingkuhan antar guru di sekolah. 

Selain itu, sebagian para guru mengalami disorientasi, kehilangan arah untuk benar-benar mencerdaskan sisi kognitif dan meluhurkan budi-pekerti para murid. Justru, mereka lebih sibuk mengurus asesmen, administrasi profesi, slip gaji, mencari cara agar diterima menjadi PNS atau PPPK, berlomba-lomba mencari siswa, dan yang akhirnya menganggap lembaga pendidikan hanya dimaknai sebatas komoditas bernilai tinggi. Pendidikan seperti barang dagangan, tak ubahnya menjadi ladang subur untuk diambil hasilnya semata.

Lantas apa itu Guru?

Baiklah, sejauh pembacaan saya di zaman Yunani klasik tepatnya di Athena pada pertengahan hingga akhir abad ke-5 SM, terdapat sekelompok yang dikenal dengan sebutan "sofis" atau "sophisma" yang dalam bahasa Yunani berarti "akal cerdik", "kepiawaian berargumen" yang berkonotasi negatif, "licik". Mereka berkeliling ke beberapa tempat dan mengajarkan orang-orang dengan mematok harga untuk keuntungan semata. Yang mereka ajarkan adalah retorika atau bersilat lidah agar memenangkan debat. Tak ada alasan lain, kecuali, cuanlah yang mendasari mereka untuk mengajar, bukan berorientasi kebenaran, sama sekali.

Berangkat dari situ, kemudian Socrates tampil dengan gagah sebagai pahlawan untuk mengonter para bromocorah-begundal kaum sophis yang sudah tak terkendali, bahkan bani sophis merusak pikiran para pemuda saat itu. mereka lari tunggang-langgang tak mampu melawan dan lintang pukang bersembunyi lantas sebagian mereka berguru pada Socrates.

Di zaman itu pula, terdapat budak "kerah putih" yang dikenal dengan sebutan "pedagogi" atau "paidagogos". Budak ini mempunyai tugas untuk menemani para pemuda yang bersekolah sejak usia dini atau saat ini adalah Sekolah Dasar. Mereka mengajari atletik, musik, sastra dan etika. Memasuki usia remaja, para pemuda ini meneruskan pendidikannya dengan fan ilmu berupa retorika, matematika, dan astronomi.

Apakah kemudian saat kita melihat serta membaca sejarah Yunani klasik lantas menganggap bahwa guru adalah budak? Atau ia hanya sekadar figur olokan dan hinaan karena kita sanggup membayarnya? Bahkan tak segan mengajaknya berkelahi?

Jadi, tulisan ini berusaha merekonstruksi makna, merepresentasikan arti pendidikan yang telah mengalami pembonsaian. Guru, tak lain menjadi tokoh utama bagi keberlangsungsan “kisah” pendidikan. Tidak hanya pada sisi kognitif, namun yang jauh lebih esensial adalah sisi karakter, moralitas, akhlak, adab yang sesuai dengan ke-Indonesiaan kita. Mungkin tugas kita untuk menggapai tujuan pendidikan yang hakiki sangat sulit, tapi bukan hal yang mustahil untuk kita mencoba berupaya demi terealisasinya cita-cita dan harapan para leluhur untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.

Diantara terpaan gelombang distrupsi, kita dipaksa bahkan terpaksa memperkuat serta mempertahankan nilai dan tradisi yang hampir menyusut bahkan hampir hilang. Satu pesan yang disampaikan oleh Ki Hadjar Dewantara bahwa “setiap tempat adalah sekolah, setiap orang adalah guru” dari sini kita bisa memaknai, dimanapun kaki berpijak dan siapapun orang yang ditemui semuanya meniscayakan untuk kita memperoleh pengetahuan dan pencerahan. 

Terakhir, untuk para guru tulus dan tanpa pamrih yang ada di seluruh Indonesia, yang memancarkan cahaya berupa pengetahuan dan tetap memberikan teladan yang berbudi-pekerti semoga berbahagia dan senantiasa mulia.

***

*) Oleh : Abdur Rohman, Maha Santri Pesantren Luhur Baitul Hikmah sekaligus Mahasiswa STF Al Farabi Kepanjen, Malang.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.