https://jakarta.times.co.id/
Kopi TIMES

Jalan Terjal Perjuangan dan Pertolongan Tuhan

Senin, 14 Maret 2022 - 18:55
Jalan Terjal Perjuangan dan Pertolongan Tuhan Zahid Ilyas, Dosen SKHB-IPB dan Penulis Lepas.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Perjuangan kelompok aktivis islam bersama aktivis lain yang sehaluan - selanjutnya kita sebut sebagai kelompok kritis - dalam menyuarakan aspirasi umat, tampaknya masih terus menempuh jalan terjal. Tekanan yang mereka hadapi bukan hanya berasal dari pihak penguasa dengan kekuatan sumberdaya yang mampu digerakkannya (birokrasi, Polri/TNI, media), tetapi juga datang dari para buzzer, influencer dan pembonceng lain yang karena alasan atau kepentingan tertentu ikut serta mengamplifikasi tekanan tersebut.

Tekanan yang menjadi ujian berat kelompok kritis saat ini bukanlah pada soal pertarungan ide atau gagasan yang sehat, melainkan lebih pada propaganda hitam (black campaign) atau fitnah yang tak jarang berujung pada tindakan penjeratan hukum secara tidak fair. Label radikal, intoleran, anti Pancasila, anti kebhinekaan, anti NKRI dan beragam stigma negatif lainnya selalu dilekatkan kepada gerakan mereka. Tidak sedikit jajaran pimpinan, tokoh dan anggota kelompok ini yang sempat dipidanakan, bahkan beberapa diantaranya hingga saat ini masih mendekam di balik jeruji besi. Dan organisasi massa (ormas) merekapun akhirnya dibubarkan penguasa.  

Dengan membubarkan ormas kelompok kritis dan membungkam para elitenya diharapkan tidak ada lagi pihak yang berani mengganggu atau menentang kebijakan penguasa. So, the game is over! Begitulah mungkin logika sederhana yang ada dalam benak para penguasa. Mereka tampaknya kurang memahami, bahwa umat islam yang merupakan komponen terbesar dari massa kelompok kritis, tidaklah bergantung pada ormas tertentu semata dalam memperjuangkan aspirasinya. Bahkan, terlalu naif jika hanya diidentikkan dengan keberadaan ormas tersebut.

Benar memang, ormas dimaksud kerap berperan penting dalam memprakarsai dan mengakomodir perjuangan umat sebelum ini. Namun jika dicermati hiruk pikuk pertarungan wacana massa di jagad media sosial, diskusi-diskusi yang berlangsung di ruang publik, atau gelombang massa yang datang pada berbagai kegiatan aksi damai yang pernah digelar, kondisi ini menunjukkankan potensi massa umat islam yang berafiliasi dengan kelompok kritis selain massa ormas tadi, jauh lebih besar dari yang dibayangkan.

Jadi, sangatlah pandir dan gegabah jika ada yang berasumsi: membubarkan ormas tertentu otomatis akan memadamkan perjuangan kelompok kritis. Tindakan tersebut laksana sebuah penghalang yang hanya bisa menahan ombak kecil saja, namun tak akan mampu membendung hempasan gelombang yang lebih besar. Sebab, kehendak menegakkan kebenaran dan menentang kezaliman, amar ma’ruf nahi munkar, adalah fitrah sejati manusia yang tak pernah bisa dibungkam dari zaman ke zaman. 

Dampak pembubaran salah satu ormas tertentu yang dilakukan belum lama ini, misalnya, justru tampaknya melenceng dari harapan penguasa. Indikasi ini bisa dicermati dari reaksi yang muncul setelah keputusan itu dikeluarkan. Pertama, massa ormas tersebut ternyata tidak overreactive menyikapi keputusan itu, namun mereka tetap solid dan sigap dalam mengatasi masalahnya. Buktinya, dalam tempo singkat mereka sudah mampu menukar rupa ormasnya, meski dengan memakai akronim yang sama, dan tetap eksis dalam melakukan tugas kemanusiaan pada berbagai musibah bencana alam yang terjadi di pelosok negeri. Selain itu, di tengah rentetan masalah yang membelit ormas dan elite ormasnya, mereka banyak menuai simpati dan empati dari komunitas lain, terutama komunitas muslim di luar ormas tersebut. Kedua, pembubaran ormas inipun ternyata tidak membuat pro-kontra pertarungan wacana di jagad maya antara kubu pendukung dan penentang penguasa berkurang hingar bingarnya. Pun tidak membuat kelompok kritis ciut nyalinya dalam menyuarakan aspirasi umat. Belum lagi, soal sentimen sebagian umat islam terhadap rezim penguasa belakangan ini, bisa jadi itupun makin memburuk keadaannya.            

Kondisi itu semua seharusnya dapat memberikan pesan penting kepada pihak penguasa. Bahwa pendekatan represif yang digunakan dalam menghadapi kelompok kritis selain tidak sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, juga bukanlah cara yang efektif dan bijak. Alih-alih menghadirkan kenyamanan masyarakat seperti yang sempat dinyatakan oleh Menko Polhukam Mahfud MD, cara tersebut malah bisa menimbulkan konflik berkepanjangan dan keterbelahan masyarakat yang kian melebar. 

Seyogyanya penguasa mulai mengubah cara pandang dan pendekatan mereka. Mereka jangan lagi menganggap kelompok kritis sebagai lawan yang harus dipukul, namun sebaliknya, mitra yang selayaknya dirangkul melalui pendekatan dialogis, persuasif dan humanis. Sebab, dalam sistem negara demokrasi yang waras, peran kelompok ini justru sangat diperlukan sebagai sparring partner dan checks and balances agar para penguasa tidak menyimpang jauh dalam melaksanakan amanah kekuasaannya. Terlebih lagi, ketika lembaga perwakilan rakyat (DPR) sekarang ini semakin mandul dalam melaksanakan fungsi kontrol dan pengawasaannya terhadap penguasa (pemerintah) dan tak lagi mengacuhkan aspirasi publik, maka eksistensi kelompok kritis semakin dipandang penting dan dibutuhkan oleh masyarakat.

Namun jika pandangan penguasa terhadap kelompok ini tidak berubah dan tetap meneruskan cara-cara represif dalam menghadapi gerakan mereka, maka rezim penguasa saat ini berpotensi meninggalkan legacy yang buruk bagi sistem demokrasi di negeri ini. Bisa jadi, dalam lembaran sejarah kelak akan tercatat sebagai rezim yang anti kritik, mengedepankan arogansi kekuasaan, dan suka memproduksi kegaduhan sosial.

Persoalannya kemudian, apa yang harus dilakukan kelompok kritis ketika perjuangan mereka terus dirundung black campaign, atau fitnah? Bahkan, jika tekanan dari pihak penguasa makin tak terkendali, boleh jadi bentuk dan pola serangan fitnah yang mereka hadapi bakal lebih agresif lagi. Lantas, perlukah mereka merespon fitnah tersebut dengan cara menebar fitnah pula? 

Tentu saja jawabannya tidak! Fitnah adalah perilaku hina dan tercela. Perbuatan yang menurut syari’at islam tergolong kejahatan besar dan haram hukumnya. Jadi, dalam situasi serunyam apapun, kelompok kritis sebagai penyuara kebenaran dan sekaligus agen perubahan (agent of change) tak perlu menggunakan cara-cara fitnah menjadi bagian dari perjuangannya. Perkara fitnah yang dilakukan pihak lain kepada mereka, biarlah itu menjadi urusan Yang Maha Kuasa untuk mengatasinya. Gusti Allah ora sare, begitu ungkapan filosofi masyarakat Jawa. Mereka harus tetap konsisten berjuang on the right track, mengedepankan etika perjuangan yang beradab (anti hoax, fitnah, vandalism, dan perilaku tuna adab lainnya), dan tetap fokus menyandarkan perjuangannya pada tiga pilar kekuatan berikut: 

Kekuatan Ukhuwah

Mereka sebaiknya terus berupaya mengedukasi, menghimpun dan mengkonsolidasikan kekuatan umat islam dalam wilayah besar persaudaraan umat, ukhuwah islamiyah. Spirit Gerakan Aksi Damai 212 yang merupakan embrio persatuan umat dari berbagai golongan, ormas dan profesi harus terus dirawat dengan baik dan dikembangkan. Potensi umat islam yang masih berada di luar barisan harus diupayakan sedemikian rupa sehingga mereka tertarik masuk ke dalam wilayah medan magnetis perjuangan yang sama. Selain itu, komunikasi persuasif dengan umat beragama atau kelompok lain perlu terus dibangun untuk mengajak mereka ikut berjuang bersama-sama dalam barisan persaudaraan kemanusiaan dan kebangsaan (ukhuwah insaniyah dan wathaniyah). Bagaimanapun, keinginan terwujudnya tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara yang tertib, benar dan adil bukan hanya menjadi mimpi besar umat islam, tetapi merupakan impian bersama yang dirindukan oleh semua umat beragama. 

Kekuatan Sabar

Mereka harus berjuang dengan sabar dan optimal sesuai kapasitasnya masing-masing. Sikap sabar dapat membuahkan ketenangan. Kondisi ini akan memberikan efek psikologis dan atmosfer yang baik sehingga perjuangan mereka selalu terjaga pada cara yang elegan. Yakni cara perjuangan yang dilakukan dengan mengikuti semua aturan main yang ada (by the rules), bisa diterima oleh akal sehat manusia (reasonable), serta dilakukan secara terukur dan proporsional. Dengan demikian perjuangan merekapun dapat terhindar dari perilaku yang inkonstitusional dan di luar batas kepatutan. 

Aspek proporsionalitas dalam konsep sabar ini penting digarisbawahi, mengingat pada situasi tertentu mungkin ada hal-hal khusus yang lebih merupakan domain Ilahiah untuk mengatasinya ketimbang sekedar domain insaniyah, atau ikhtiar manusia. Rasulullah SAW sendiri ketika menghadapi fitnah keji dari Walid bin al-Mugirah (tokoh kafir Quraisy, Mekkah), beliau diingatkan oleh Allah SWT melalui sebuah firman berikut: “Biarlah Aku yang bertindak terhadap orang yang Aku sendiri telah menciptakannya” (QS Almuddassir [74]:1). Firman ini secara tegas dan padat mengisyaratkan bahwa aspek proporsionalitas - mana yang menjadi domain manusia dan mana domain Tuhan - amat penting dipahami dan disadari dalam perjuangan umat islam.

Kekuatan Tawakkal

Mereka harus meletakkan asa perjuangannya secara bulat kepada zatNya semata. Tugas manusia hanyalah sebatas berikhtiar dengan benar, sabar dan optimal. Adapun urusan hasil atau buah dari ikhtiar tersebut harus disikapi dengan tawakkal, berserah diri sepenuhnya pada pertolongan Yang Maha Kuasa. Apapun bentuk pertolonganNya nanti, pasti itu yang terbaik buat hambaNya. Bentuk pertolongan yang sesuai dengan keinginan manusia tentu menjadi harapan setiap orang, dan itu manusiawi adanya. Tetapi bentuk pertolongan yang dapat menghantarkan seseorang pada pencapaian nilai paling luhur dari ikhtiarnya, yakni keridhaan Sang Pencipta, itulah hakekat kemenangan yang sesungguhnya.

Bukankah soal kalah atau menang secara fisik dalam perjuangan adalah sunnatullah yang memang selalu dipergilirkan di antara manusia untuk menguji keteguhan iman hambaNya? 

Lalu, kapankah pertolonganNya datang? Untuk membantu menjawabnya, mari kita ingat dan renungi kembali kisah perjuangan Nabi Nuh AS, Ibrahim AS, Musa AS, Isa AS dan Muhammad SAW. Betapa dahsyat tantangan dan rintangan yang dihadapi kelima Nabiyullah tersebut untuk mengajak umatnya ke jalan yang benar. Hingga Allah SWT memberi mereka gelar sangat istimewa, Ulul Azmi, yakni nabi yang memiliki keteguhan hati, ketabahan dan kesabaran luar biasa dalam berjuang menyampaikan ajaranNya. Dan bukankah pertolongan Allah SWT datang kepada para nabiyyullah tersebut tatkala perjuangan, kesabaran dan kepasrahan mereka sudah sampai pada puncaknya, atau berada pada tingkat optimal (optimum level)? 

Tentu saja, ukuran optimum level dan kualitas perjuangan kelima hamba pilihanNya itu tak mungkin bisa dibandingkan dengan ukuran perjuangan manusia biasa. Namun dari cuplikan kisah tersebut setidaknya dapat dipetik sebuah pelajaran penting, yakni pada kondisi atau taraf pencapaian (achievement level) seperti apa pertolongan Tuhan YME datang menghampiri hambanya. Dengan demikian, kitapun bisa menjawab pertanyaan di atas. Ya. PertolonganNya pasti datang manakala ikhtiar, kesabaran dan ketawakkalan sang hamba sudah sampai pada tingkat optimalnya. Soal kapan waktunya, tentu hanya Dia yang tahu saat terbaik bagi hambaNya.

Akhirnya, siapapun kini yang mengaku menjadi bagian dari komunitas kelompok kritis, yang merindukan negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, negeri yang gemah ripah loh jinawi, nyaman dan penuh ampunanNya, mari sejenak melakukan intrsospeksi diri. Sudah pantaskah ikhtiar yang kita lakukan dalam menyuarakan kebenaran sejauh ini untuk bisa mengetuk pintu langit pertolonganNya? Akankah pertolongan itu datang dalam waktu dekat, atau dalam kurun waktu masih panjang karena memang ikhtiar, sabar, dan tawakkal kita masih jauh dari kondisi yang optimal? Atau, jangan-jangan tanda-tanda pertolongan itu sebenarnya sudah hadir di hadapan kita, namun kejahilan kita sendirilah yang membuat kita belum mampu menangkap isyaratNya. Wallahu’alam bishawab.

***

*) Oleh: Zahid Ilyas, Dosen SKHB-IPB dan Penulis Lepas.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta :
Editor : Wahyu Nurdiyanto
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.