TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sejumlah kelompok mahasiswa di berbagai daerah melakukan aksi menolak Rancangan Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (RUU TNI) yang telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) oleh DPR RI pada Kamis (20/3/2025). Para demonstran khawatir UU ini berpotensi mengembalikan dwifungsi TNI seperti pada masa Orde Baru.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Tawwasuth, Wahyu Al Fajri, menilai bahwa gelombang penolakan tersebut terlalu dilebih-lebihkan tanpa dasar yang kuat.
"Aksi dan penolakan terhadap UU TNI ini berlebihan. Beberapa pihak yang menolak bahkan tidak mengetahui isi pasalnya secara menyeluruh, tetapi menggiring opini yang justru menimbulkan kegaduhan di masyarakat," ujar Wahyu dalam keterangan persnya kepada TIMES Indonesia, Jumat (21/3/2025).
Menurut Wahyu, beberapa pasal dalam UU TNI justru memberikan batasan tambahan kepada TNI sehingga supremasi sipil tetap terjaga.
"Di dalam UU TNI yang baru, ada sejumlah pasal yang memperketat batasan bagi TNI, sehingga tidak ada indikasi sama sekali bahwa UU ini akan mengembalikan dwifungsi TNI," tegasnya.
Ia juga mengutip pernyataan Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof. Jimly Asshiddiqie, yang melalui akun media sosial X pada Rabu (20/3/2025) menyebut bahwa polemik ini lebih disebabkan oleh kurangnya komunikasi publik ketimbang substansi UU itu sendiri.
"Dari segi isi, UU ini tidak ada masalah seperti yang banyak disalahpahami dan dikaitkan dengan dwifungsi TNI di era Orde Baru. Keributan yang terjadi lebih kepada persoalan cara, waktu pembahasan, dan komunikasi publik yang kurang maksimal," tulis Prof. Jimly.
Wahyu pun menyatakan sepakat dengan pandangan tersebut. Menurutnya, polemik yang muncul saat ini lebih disebabkan oleh narasi yang berkembang di media sosial tanpa kajian yang objektif terhadap isi UU TNI itu sendiri.
"Kita harus objektif melihat UU TNI ini. Jangan sampai kita terjebak dalam propaganda media sosial tanpa memahami substansinya. Saya rasa Prof. Jimly menyampaikan pandangan yang jujur bahwa ini lebih kepada masalah waktu dan komunikasi publik, bukan soal substansi UU-nya," terangnya.
Di akhir pernyataannya, Wahyu mengingatkan elemen masyarakat, khususnya mahasiswa, agar lebih kritis dan teliti dalam memahami suatu kebijakan sebelum mengambil sikap.
"Saya mengajak semua pihak untuk membaca secara menyeluruh sebelum mengambil keputusan. Jangan sampai kita membuat isu besar tanpa memahami isi sebenarnya dari UU ini," pungkasnya.(*)
Pewarta | : Ahmad Nuril Fahmi |
Editor | : Imadudin Muhammad |