TIMES JAKARTA, JAKARTA – Banyak cerita menarik pada mendiang Artijo Alkostar saat masih hidupnya. Salah satunya saat salah satunya klien dari mantan Ketua Mahkamah Agung (MA) itu membayarnya dengan jimat.
Hal itu diceritakan oleh Hamid Basyaib dalam satu tulisannya berjudul 'Monumen Kejujuran, Artidjo Alkostar, SEBUAH KITAB KEADILAN'.
Hamid Basyaib mengatakan, sebagai pengacara hingga akhir 1990an, berkantor di bangunan semi-permanen berdinding gedek di pinggiran Jogja, almarhum Artijo tak pernah merundingkan biaya jasa kepada kliennya.
Suatu kali, kata Hamid, seorang klien yang perkaranya menang, kebingungan. Ia merasa harus berterima kasih atas layanan hukum Artidjo. Ia berasal dari Madura, dan tinggal di Kulonprogo.
Jika memberi uang, ia kuatir jumlahnya terlalu kecil dan bisa menyinggung perasaan Artijo. Untuk memberi honor besar, ia tak punya cukup uang. Tiadanya kesepakatan mengenai besaran fee membuatnya repot dan serba salah.
Akhirnya, lanjut Hamid, ia mendapat ide cemerlang. Ia akan memberi sepotong jimat sebagai imbalan kepada almarhum yang ia duga menyukai hal semacam itu, mengingat latar-belakang komunitas dan daerahnya, Madura-Situbondo.
"Saya bilang kepada dia, kamu bawa pulang saja barang milikmu ini," tutur Artidjo kepada kawan-kawannya dengan terkekeh. "Saya tidak percaya dengan jimat-jimatan," katanya lagi.
Bagi Artidjo, kata Hamid, jasa hukum bukanlah hal yang pantas dirundingkan, apalagi dengan tawar-menawar. Jika klien puas dengan layanan jasanya, mereka boleh membayar seikhlasnya. Bila mereka tak membayar, tidak mengapa.
Seperti yang diketahui, Artijo Alkostar meninggal dunia Minggu kemarin. Penyebabnya karena sakit jantung dan paru-paru. Artidjo Alkostar, akan dimakamkan di Makam Keluarga Besar Universitas Islam Indonesia (UII) pagi ini. (*)
Pewarta | : Moh Ramli |
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |