TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pada Selasa, 5 November 2024, dunia menyaksikan sebuah sejarah baru tercipta di Amerika Serikat. Donald Trump, sosok yang kontroversial namun tak terbantahkan punya daya tarik politik kuat, kembali memenangkan pemilu presiden AS.
Kali ini, ia mencatatkan diri sebagai presiden pertama sejak era 1800-an yang berhasil menjabat kembali setelah masa istirahat—sebuah prestasi yang bahkan tak banyak diramalkan oleh para ahli politik.
Di tengah persaingan yang sangat ketat, Trump mengungguli Wakil Presiden Kamala Harris, kandidat dari Partai Demokrat yang mencoba mencetak sejarah sebagai presiden perempuan pertama AS.
Dengan perolehan suara elektoral yang mencapai 277 dari total 538 suara, Trump sekali lagi mengunci jalannya ke kursi kepresidenan. Suara mayoritas ini datang dari negara-negara bagian medan pertempuran seperti Pennsylvania, Georgia, North Carolina, dan Wisconsin—negara-negara yang selama ini menjadi barometer persaingan politik di AS.
Ini adalah Gerakan Politik Terbesar Sepanjang Masa
Setelah pengumuman kemenangan ini, Trump memberikan pidato penuh energi di Florida pada Rabu pagi. Dengan suara yang penuh keyakinan, ia mengucapkan terima kasih kepada para pendukungnya yang tetap setia, bahkan setelah empat tahun berlalu sejak kekalahannya dari Joe Biden pada 2020.
“Ini adalah gerakan politik terbesar sepanjang masa,” ujarnya penuh semangat. Kata-katanya tak hanya mengungkapkan rasa terima kasih, tetapi juga memberi gambaran akan arah kebijakannya ke depan.
Trump berjanji untuk menciptakan "Amerika yang kuat, aman, dan sejahtera," menekankan komitmennya pada kebijakan yang memperkuat keamanan perbatasan dan perekonomian domestik.
Visi ini tentu saja menyuarakan keinginan banyak warga Amerika yang merasa bahwa masa depan negara mereka harus fokus pada masalah dalam negeri, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi dan isu sosial yang terus berkembang.
Kamala Harris dan Mimpi yang Tertunda
Di sisi lain, bagi Kamala Harris, hasil pemilu kali ini tentunya adalah kekecewaan besar. Harris, yang mengincar sejarah sebagai presiden perempuan pertama, telah mempersiapkan kampanye yang berfokus pada hak-hak sipil, inklusi, dan keberagaman.
Setelah Joe Biden mengundurkan diri dari pencalonan pada pertengahan 2024, Harris melanjutkan langkahnya dengan semangat baru. Namun, impiannya harus tertunda. Sampai saat artikel ini ditulis, Harris belum memberikan pidato resmi, namun ia dijadwalkan menyampaikan pernyataan pada Rabu malam.
Pergeseran Arah Kongres AS: Partai Republik Makin Kuat
Tidak hanya di eksekutif, Partai Republik juga berhasil menguasai Senat dengan memperoleh 51 kursi dari total 100. Meski begitu, penghitungan suara untuk Dewan Perwakilan Rakyat masih berlangsung, membuat kendali di Kongres belum sepenuhnya jelas.
Dengan kemenangan Partai Republik di Senat, Trump diperkirakan akan mendapat lebih banyak dukungan untuk mengusung agenda kebijakannya. Bagi pendukung Trump, ini adalah kesempatan untuk melihat kebijakan-kebijakan pro-pasar dan keamanan yang lebih tegas dijalankan tanpa terlalu banyak hambatan legislatif.
Bayang-Bayang Masa Lalu yang Kontroversial
Kemenangan ini tentu membawa Trump kembali ke panggung kekuasaan, tetapi dengan bayang-bayang masa lalu yang kontroversial. Trump, yang menjabat sebagai presiden pada 2017-2021, mengalami kekalahan dari Joe Biden pada 2020 dan sempat mengklaim adanya kecurangan pemilu.
Klaim tersebut memicu serangan ke Gedung Capitol pada 6 Januari 2021, sebuah peristiwa yang tercatat dalam sejarah kelam AS.
Tak hanya itu, sejak masa kepresidenannya berakhir, Trump menghadapi sejumlah tuntutan hukum, termasuk kasus terkait upayanya membatalkan hasil pemilu 2020 dan dugaan penyalahgunaan dokumen rahasia di kediamannya.
Dengan terpilihnya kembali, Trump mungkin memiliki posisi yang lebih kuat untuk menghadapi berbagai tuntutan hukum ini. Meski demikian, tantangan hukum yang masih terbuka tersebut tetap menjadi sorotan, dan publik tentu menunggu perkembangan lebih lanjut mengenai statusnya di pengadilan.
Dampak bagi Kebijakan Domestik dan Internasional AS
Kembalinya Trump ke Gedung Putih menandakan kemungkinan besar kembalinya kebijakan-kebijakan populernya, seperti pendekatan keras pada perdagangan internasional, terutama dalam menghadapi persaingan ekonomi dengan China.
Trump dikenal sebagai sosok yang mengedepankan pendekatan "America First," di mana kebijakan-kebijakannya lebih mengutamakan keuntungan domestik dibandingkan konsesi internasional. Dalam pidato kemenangannya, ia kembali menekankan perlunya menjaga kesejahteraan nasional dengan mengutamakan pekerja dan bisnis lokal.
Di sisi kebijakan luar negeri, kemenangan Trump bisa membawa AS ke arah hubungan yang lebih tegang dengan negara-negara lain, khususnya dalam konteks tarif perdagangan, NATO, dan organisasi internasional lainnya.
Pola hubungan internasional yang lebih keras dan terkadang cenderung sepihak ini dikhawatirkan akan memengaruhi stabilitas global, terutama di tengah isu-isu besar seperti perubahan iklim dan keamanan siber.
Era Baru untuk Amerika
Kemenangan Donald Trump pada pemilu 2024 bukan hanya tentang kembalinya seorang mantan presiden ke Gedung Putih. Ini adalah cerminan dari pergeseran arus politik yang tengah terjadi di Amerika Serikat, di mana kelompok konservatif terus mencari tempat dalam membentuk masa depan negara mereka di tengah ketidakpastian global.
Bagi sebagian besar rakyat AS, kemenangan Trump membawa harapan akan stabilitas dan kemandirian nasional, sementara bagi yang lain, mungkin masih ada kecemasan mengenai kontroversi yang membayangi.
Yang pasti, kembalinya Trump adalah sinyal bahwa politik Amerika masih memiliki daya tarik yang dinamis dan tak terduga. Bahkan saat ini dunia menanti—apa langkah berikutnya dari pemimpin yang telah lama mengguncang panggung politik global ini.(*)
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Donald Trump Kembali Menjadi Presiden AS, Menorehkan Sejarah Baru
Pewarta | : |
Editor | : Imadudin Muhammad |