TIMES JAKARTA, JAKARTA – Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani meluapkan kekecewaannya atas penjarahan yang dilakukan di kediamannya pada Minggu (31/8/2025) lalu.
Melalui akun instagramnya, Menkeu Sri Mulyani kecewa karena lukisan bunga diatas kanvas besar yang ia lukis sendiri diambil oleh salah seorang penjarah yang mendatangi kediamannya.
“Lukisan Bunga itu bagi penjarah pasti dibayangkan bernilai sekedar seperti lembaran uang. Lukisan Bunga yang saya lukis 17 tahun lalu adalah hasil dan simbol perenungan serta kontemplasi diri, sangat pribadi,” ucap Menkeu Sri Mulyani dikutip dari instagramnya, Rabu (3/9/2025).
Sri Mulyani mengatakan lukisan tersebut seperti rumah tempat anak-anaknya tumbuh dan bermain. “Sangat pribadi dan menyimpan kenangan tak ternilai harganya,” kata Sri Mulyani.
Bahkan, lanjut Sri Mulyani, penjarah yang mengenakan jaket merah dan helm berwarna hitam tampak tenang dan percaya diri membawa lukisan yang ia lukis menggunakan cat minyak.
“Bagi penjarah, rumah dan barang-barang tersebut hanyalah sekedar target operasi. Para penjarah seperti berpesta,” terangnya.
Meskipun rumahnya telah dijarah, bagi Sri Mulyani jatuhnya korban jiwa menjadi duka dan hal tersebut tidak sebanding dengan lukisannya yang dijarah dan menjadi tragedi kelam Indonesia.
“Minggu kelabu akhir Agustus itu, ada korban yang jauh lebih berharga dibanding sekedar lukisan saya, yaitu korban jiwa manusia yang melayang yang tak akan tergantikan. Affan Kurniawan, Muhammad Akbar Basri, Sarinawati, Syaiful Akbar, Rheza Sendy Pratama, Rusdamdiansyah, Sumari. Menimbulkan duka pedih yang mendalam bagi keluarga. Tragedi kelam Indonesia,” dukanya.
Sri Mulyani menegaskan, dalam kerusuhan tidak akan pernah ada pemenangnya melainkan hilangnya akal sehat, rusaknya harapan, runtuhnya fondasi berbangsa dan bernegara.
“Indonesia adalah rumah kita bersama. Jangan biarkan dan jangan menyerah pada kekuatan yang merusak itu. Jaga dan terus perbaiki Indonesia bersama, tanpa lelah, tanpa amarah dan tanpa keluh kesah serta tanpa putus asa,” tandasnya. (*)
Pewarta | : Ahmad Nuril Fahmi |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |