TIMES JAKARTA, JAKARTA – Gelombang demonstrasi yang mengguncang Jakarta pada 25–29 Agustus 2025 lalu bukan sekadar letupan spontan dari mahasiswa, buruh, atau kelompok sipil yang kecewa terhadap pemerintah.
Aksi yang berlangsung berhari-hari itu lahir dari akumulasi kegelisahan dan kepentingan berlapis, mulai dari pertarungan elit politik hingga keresahan civil society yang sudah lama menunggu arah perubahan.
Jalanan seakan menjadi panggung tempat semua kemarahan itu ditumpahkan, dengan tuntutan yang beragam, mulai dari delegitimasi pemerintah, bubarkan DPR, hingga pemilu ulang.
Latar belakang munculnya demonstrasi ini bisa ditarik dari beberapa peristiwa yang saling berkaitan. Penangkapan besar-besaran oleh Kejaksaan Agung terhadap mafia migas, sawit, tambang, tanah, hingga cukong narkoba dan judi online, telah menyinggung kepentingan para oligarki yang selama ini nyaman di zona aman kekuasaan.
Mereka marah karena kepentingan bisnisnya terganggu, dan gelisah karena merasa kehilangan proteksi politik. Di sisi lain, kegagalan negosiasi antara elit-elit tertentu memperuncing suasana, sementara keluarga Jokowi juga menunjukkan ketidakpuasan karena Gibran tidak mendapat tempat dalam pemerintahan.
Keadaan semakin panas ketika beberapa kebijakan Prabowo dianggap berseberangan dengan kepentingan Jokowi, mulai dari pengembalian jabatan militer hingga pemberian amnesti politik terhadap tokoh-tokoh yang selama ini berseberangan dengan rezim lama.
Kecemasan juga melanda lingkaran politik yang populer disebut sebagai genk Solo. Nama-nama seperti Bahlil, Tito, Budi Arie, hingga Kapolri Listyo Sigit, mulai dikabarkan terancam reshuffle. Kondisi ini membuat mereka tidak hanya defensif, tetapi juga siap memanfaatkan situasi demo sebagai alat tawar-menawar.
Semua menjadi semakin rumit ketika kekecewaan civil society, buruh, mahasiswa, hingga kelompok Islam, tumpah ruah di jalanan. Mereka marah karena merasa Prabowo tetap berada dalam bayang-bayang Jokowi, tidak berani melepaskan diri, dan bahkan terjebak dalam gaya kepemimpinan hedonis, materialistis, dan otoriter.
Di luar itu, ada pula kepentingan elit global yang merasa terancam oleh gaya kepemimpinan Prabowo yang dianggap tidak sejalan dengan skema besar mereka.
Karena berlapisnya kepentingan ini, demonstrasi akhir Agustus menghadirkan wajah yang tidak tunggal. Ada elit politik yang merasa terancam posisinya dan berusaha menunggangi aksi, ada kelompok oposisi yang marah pada Prabowo karena tidak bisa memutus hubungan dengan Jokowi.
Ada civil society independen yang konsisten mengkritik oligarki dan militerisme, ada kelompok bayaran yang sekadar ikut arus demi kepentingan sesaat, dan tentu ada oligarki serta elit global yang menggerakkan massa untuk menciptakan instabilitas politik. Semua kepentingan itu berbaur di jalanan, menjadikan demonstrasi sebagai peristiwa kompleks yang sulit dibaca hitam-putih.
Namun, bila dikristalkan lebih sederhana, demonstrasi ini sesungguhnya bisa dipilah ke dalam dua kategori besar. Pertama adalah kelompok penjahat: mereka terdiri dari mafia, oligarki, elit global, hingga pejabat politik yang tersandera kepentingan.
Otak mereka hanya satu, yakni cuan dan kekuasaan. Mereka menggunakan demonstrasi sebagai alat bargaining dengan Prabowo, bahkan tidak segan mendorong skenario lengsernya Prabowo agar Gibran naik menjadi presiden.
Di sisi lain adalah kelompok beda pendapat: civil society murni, akademisi, ulama, dan aktivis yang masih berharap Prabowo mampu berubah. Mereka kritis, tetapi tidak punya agenda tersembunyi selain mendorong lahirnya pemerintahan yang lebih bersih, adil, dan berpihak pada rakyat.
Inilah pilihan sulit bagi Prabowo. Ia harus memutuskan akan berdiri di sisi mana. Jika ia tetap bergandengan dengan kelompok penjahat yang telah membantunya naik ke tampuk kekuasaan, maka sejarah akan mencatatnya sebagai presiden yang menyerahkan bangsa pada cengkraman mafia.
Tetapi bila ia berani mendengarkan kelompok beda pendapat, lalu melepaskan diri dari bayang-bayang oligarki, maka masih ada harapan Prabowo dikenang sebagai pemimpin yang berani memutus mata rantai gelap kekuasaan di Indonesia.
Tentu, pilihan ini tidak ringan. Sebab kenyataan politik menunjukkan bahwa dukungan kelompok penjahat itulah yang membuat Prabowo menjadi presiden. Namun, legitimasi seorang pemimpin sejati tidak ditentukan oleh siapa yang mengantarnya berkuasa, melainkan oleh keberaniannya mengambil keputusan demi kepentingan rakyat.
Rakyat kini menunggu kejelasan arah: apakah Prabowo hanya akan menjadi perpanjangan tangan oligarki, atau justru berani berdiri di pihak masyarakat yang berbeda pendapat.
Demonstrasi 25–29 Agustus 2025 adalah peringatan dini. Ia bukan sekadar aksi mahasiswa, buruh, atau oposisi. Ia adalah cermin dari pertarungan antara dua arus besar dalam tubuh bangsa ini: penjahat yang haus kuasa dan rakyat yang berbeda pendapat.
Bila Prabowo memilih tetap memeluk para penjahat, maka cepat atau lambat, masa depannya akan runtuh bersama mereka. Tetapi jika ia berani berpaling dan menegakkan keberpihakannya kepada rakyat, sejarah akan mencatatnya sebagai presiden yang menyelamatkan bangsa dari jerat oligarki.
Sejarah kini menunggu. Pertanyaannya sederhana namun menentukan: apakah Prabowo akan tunduk pada penjahat, atau mendengarkan rakyat yang bersuara beda?
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |