TIMES JAKARTA, SURABAYA – Saat langit di lereng Arjuno masih pucat dan kabut menggantung di antara batang-batang pinus, langkah kaki terdengar gemetar menyusuri tanah basah. Tapi ini bukan sekadar langkah pelari—ini adalah napas perjuangan, keteguhan, dan mungkin, pelarian dari hiruk pikuk kota ke pelukan alam. Di sinilah cerita Mantra116 bermula, bukan sebagai perlombaan biasa, melainkan sebagai ruang bertemunya raga yang mencari batas dan warga yang menggantungkan harapan pada riuhnya musim lomba.
Langkah yang Lebih dari Sekadar Lari
Ribuan pelari dari berbagai penjuru dunia datang ke sini, ke jalur-jalur sempit yang melilit tubuh Gunung Arjuno dan Welirang. Mereka menempuh 10, 17, 34, hingga 116 kilometer dengan waktu maksimal hingga 33 jam. Bukan untuk memamerkan prestasi semata, melainkan untuk menyatu dengan alam, dan pada titik tertentu, untuk berdamai dengan diri sendiri.
“Setiap kilometer adalah dialog dengan ketakutan,” ujar Kurniawan Saputra, pelari asal Blitar yang nyaris menangis setelah menyentuh garis akhir kategori 38 km.
“Saya datang ke sini membawa beban hidup. Tapi gunung ini, jalur ini, membuat saya merasa cukup kuat untuk kembali berdiri.”
Gunung, memang punya cara sendiri menyembuhkan luka.
Di sisi lain dari cerita, ada Shodiqin, warga dusun di kaki gunung yang menjaga kendaraan para pelari. Ia awalnya tak mengenal istilah trail running, apalagi konsep sport tourism. Tapi ia tahu, setiap musim Mantra datang, dia selalu turut berjaga dan melayani para pelari yang datang ke Prigen, Kabupaten Pasuruan ini.
“Tahun ini yang ikut lebih banyak Mas, sekarang semakin ramai,” katanya semberi memberikan senyumnya tipis tapi tulus.
Seperti itulah dampak nyata yang sering kali luput dari laporan resmi. Sebuah ekonomi kecil yang tumbuh dari interaksi sederhana, sapa pelari dan senyum warga sekitar di sudut pos pendakian.
Gunung Arjuno dan Welirang Lebih dari Destinasi
Mantra116 adalah ajang yang merangkul Arjuno bukan sekadar sebagai tempat, tetapi sebagai tokoh. Puncaknya yang diselimuti kabut, jalurnya yang curam, hutannya yang lebat, semua menyatu menjadi medan kontemplasi. Di sinilah tubuh diuji, dan jiwa dipertanyakan.
Di balik itu, ada kesadaran akan pentingnya menjaga harmoni. Panitia acara bekerja sama dengan UPT Tahura Raden Soerjo, memastikan jalur yang digunakan tidak merusak zona konservasi. Edukasi tentang sampah, pembatasan jumlah pelari di jalur tertentu, dan pelibatan masyarakat menjadi bagian dari ikhtiar agar gunung tetap lestari.
“Mantra bukan hanya untuk pelari. Ini untuk semua makhluk yang hidup dari dan bersama gunung,” ujar Yotin Bayu M, Race Director Mantra116, dengan suara bergetar karena bangga dan lelah.
“Kalau gunung rusak, semua selesai.”
Panggung Prestasi Mantra116 2025
Di balik semua rasa dan perenungan itu, tentu ada mereka yang pulang membawa kehormatan tertinggi: menyelesaikan, dan menang.
Untuk kategori Ultra 116K, pelari asal Jepang Yuta Matsuyama keluar sebagai juara pertama dengan catatan waktu 20 jam 46 menit. Disusul Rachmat Septiyanto dari Indonesia di posisi kedua dengan 22 jam 42 menit, dan Jomarc Ferrer dari Filipina di posisi ketiga dengan 23 jam 36 menit. Lintasan sejauh 116 kilometer itu bukan lagi soal kecepatan, tapi keteguhan hati yang diuji hingga titik darah penghabisan.
Di kategori Trail 38K, pelari lokal menunjukkan dominasi. Kasmana meraih juara pertama dengan waktu 6 jam 23 menit, diikuti oleh Petrus Imanuel Hutajulu (6 jam 26 menit), dan Akhmad Nizar (6 jam 33 menit).
Sementara di kategori Fun 17K yang banyak diikuti pelari pemula, kemenangan diraih oleh Wawang Aruanda Musadi Nomay (1 jam 46 menit), disusul Gita Harmoni (2 jam 4 menit), dan Michelle Hoarau, pelari asal Prancis, di posisi ketiga dengan 2 jam 13 menit.
Meski berbeda jarak, mereka punya satu kesamaan: semuanya telah menaklukkan rintangan yang tak terlihat di peta—keraguan dalam diri.
Peluh Puncak dan Pengakuan Dwarapala
Bagi pelari yang berhasil menyelesaikan kategori ekstrem dalam batas waktu, penghargaan Dwarapala Warrior menjadi lambang perjuangan. Dwarapala, dalam tradisi Jawa, adalah penjaga gerbang suci. Mereka bukan yang tercepat, tapi yang tekun, sabar, dan pantang menyerah.
Mantra116 bukan hanya perayaan olahraga ekstrem. Ia adalah festival rasa. Perpaduan antara napas tergesa pelari, riuh dapur warung lereng, nyanyian angin gunung, dan detak jantung mereka yang mencari makna dalam kilometer yang tak berkesudahan.
Bagi sebagian, ini hanyalah ajang lomba. Tapi bagi pelari, panitia, warga, dan gunung itu sendiri—Mantra116 adalah doa: tentang harapan, tentang keberanian, dan tentang pulang ke tempat yang tak selalu ada di peta.(*)
Pewarta | : Imadudin Muhammad |
Editor | : Imadudin Muhammad |