TIMES JAKARTA, JAKARTA – Makam Paus Fransiskus di Basilika Santa Maria Maggiore yang sederhana hanya akan dihiasi batu nisan marmer dari tanah kakek-neneknya yang berasal dari wilayah Liguria, Italia.
Fransiskus mengatakan dalam sebuah wawancara pada tahun 2023 bahwa ia telah memilih basilika Santa Maria Maggiore di Roma, salah satu gereja favorit dan paling sering dikunjungi, sebagai tempat peristirahatan terakhirnya, menjadikannya paus pertama dalam satu abad yang dimakamkan di luar Vatikan.
Para Paus terdahulu dimakamkan dalam tiga peti mati yakni satu terbuat dari cemara, satu dari seng, dan satu dari elm, yang ditumpuk satu di dalam yang lain.
Namun, Fransiskus memerintahkan agar ia dimakamkan dalam satu peti mati saja yang terbuat dari kayu dan seng.
Makamnya ia minta juga sederhana saja hanya bertuliskan "Franciscus" dan replika salib dada mendiang Paus pada batu nisannya.
Makam tersebut terletak di dekat Altar Santo Fransiskus, di ceruk lorong samping antara Kapel Pauline (Kapel Salus Populi Romani) dan Kapel Sforza.
Berbicara di televisi, salah seorang Imam Besar Basilika, Kardinal Rolandas Makrickas, mengumumkan bahwa keinginan Paus Fransiskus untuk dimakamkan di sebuah makam yang dibuat dari "batu Liguria, tanah leluhurnya.
Tepatnya di kota kecil Cogorno terdapat sebuah plakat batu tulis , batuan metamorf abu-abu, hijau, atau kebiruan berbutir halus yang memperingati kakek buyut Bergoglio, Vincenzo Sivori.
Vincenzo Sivori melakukan perjalanan dari Italia ke Argentina pada tahun 1800-an.
Di sana, ia membesarkan keluarganya, termasuk cucu perempuannya Regina Maria Sivori, yakni ibu Paus Fransiskus.
Paus Fransiskus sering merahasiakan hubungannya dengan Liguria, sehingga Wali Kota kota tersebut, Enrica Sommariva, merasa kaget luar biasa saat mendengar bahwa Paus telah meminta batu dari daerah kakek-neneknya untuk makamnya.
Angela Sivori, yang masih tinggal di Cogorno, menceritakan momen saat ia mengetahui bahwa ia adalah sepupu Paus Fransiskus.
Ia menceritakan saat menerima panggilan telepon dari Buenos Aires, Argentina dan silsilah keluarga melalui email.
Ia dan putrinya, Cristina, mengatakan permintaan Paus mengenai batu nisan itu merupakan hadiah yang luar biasa bagi keluarga. "Satu kejutan terakhir," kata Cristina.
Cristina mengenang bahwa saat itu ibunya berusia 87 tahun dan mereka tidak tahu akan bertemu Paus Fransiskus hingga menit terakhir.
"Kemudian, tiga hari sebelumnya, kami mendapat telepon dari Vatikan. Tujuh dari kami berkumpul dan dia menyambut kami seperti sepupu yang datang dari 'ujung dunia," ujarnya.
Selama pertemuan itu, Paus Fransiskus menjabat tangan sepupunya, tersenyum, dan berucap "Akhirnya, saya bertemu dengan keluarga Sivori!"
Batu rakyat
Presiden Distrik Batu Tulis, Franca Garbaino yang mencakup 18 tambang dan 12 perusahaan di perbukitan Liguria menggambarkannya sebagai bahwa bahan itu bukan batu mulia, melainkan sebagai "batu rakyat", dan batu yang "memberikan kehangatan."
Distrik tersebut telah sepakat untuk membuat lempengan batu yang akan menemani Paus Fransiskus dalam peristirahatan abadinya.
Bahkan sebelum Paus, kota Cogorno telah memiliki hubungan dengan Paus Innocentius IV dan Adrian V.
Kota ini, yang membawa kejutan yang menyenangkan ini, mencerminkan bagaimana Paus Fransiskus hidup, hingga akhir perjalanan hidupnya di bumi.
Paus Fransiskus saat mengunjungi Suster Geneviève Jeanningros, Suster Kecil Yesus, dan komunitas karnaval dan sirkus di Luna Park di Ostia Lido di Roma, pada bulan Juli 2024. (FOTO: Daily Mail)
Sementara itu seorang biarawati tua yang ternyata teman dekat Paus Fransiskus selama lebih dari empat dekade diizinkan melanggar protokol saat mengunjungi peti jenazahnya di Basilika Santo Petrus.
Biarawati Prancis-Argentina itu bernama Suster Genevieve Jeanningros.
Ia satu-satunya wanita yang diperbolehkan mendekati area terlarang untuk berdoa di depan peti jenazah mendiang Paus Fransiskus.
Padahal area itu secara tradisional diperuntukkan bagi para kardinal, uskup, dan pendeta, tetapi wanita berusia 81 tahun itu diizinkan berduka di sana karena persahabatan dekat yang mereka miliki.
Potongan klip momen mengharukan yang beredar di media sosial menunjukkan Jeanningros melangkah ke arah tali merah yang mengelilingi peti mati dengan bantuan seorang petugas, yang menuntunnya maju.
Mengenakan jilbab biru dan pakaian biru tua, biarawati itu, yang oleh Fransiskus dijuluki "L'enfant terrible", yang berarti anak yang mengerikan, berdiri dengan tenang di satu sisi peti jenazah yang terbuka.
Dalam momen penuh emosi, ia menangis tersedu-sedu dan menutup wajahnya dengan kedua tangan, saat berdiri beberapa kaki dari jenazah mendiang Paus. Ia mengambil tisu, menyeka matanya, dan tetap di tempatnya sejenak.
Meskipun melanggar apa yang secara tradisional dianggap sebagai protokol, tidak ada pejabat keamanan yang menegurnya.
Pada bulan Juli, Paus secara pribadi pernah mengunjungi Jeanningros di Ostia, Roma, untuk mengakui pekerjaan kemanusiaannya yang telah berlangsung lama.
Pertemuan mereka, yang diadakan di arena pameran Luna Park, secara terbuka menyoroti rasa hormat dan kekaguman Paus terhadap biarawati yang telah mendedikasikan waktunya untuk membantu mereka yang menghadapi marginalisasi dan pengucilan sosial.
Biarawati dari ordo Suster Kecil Yesus itu telah mengabdikan lebih dari 56 tahun untuk melayani orang-orang yang paling kurang beruntung, khususnya wanita transgender, di daerah Ostia.
Hubungan antara Jeanningros dan Fransiskus dimulai saat ia menjadi Kardinal Jorge Mario Bergoglio, Uskup Agung Buenos Aires di Argentina.
Hubungan mereka diperkuat oleh komitmen bersama mereka terhadap mereka yang paling rentan dan oleh luka-luka kediktatoran Argentina.
Setiap hari Rabu, biarawati itu membawa sekelompok pekerja pasar malam, tuna wisma, dan wanita transgender ke pertemuan umum Vatikan.
Paus Fransiskus tidak hanya menerima mereka, tetapi juga mengundang mereka untuk makan siang dan menawarkan dukungan finansial.
Kini Paus Fransiskus teah wafat, dan sesuai wasiatnya bahwa ia ingin dimakamkan dengan secara sederhana, tidak seperti paus-paus sebelumnya. (*)
Pewarta | : Widodo Irianto |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |