TIMES JAKARTA, JAKARTA – Morgan Stanley menurunkan peringkat saham Indonesia dalam indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI) dari equal-weight (EW) menjadi underweight (UW), mencerminkan pandangan lebih pesimistis terhadap pasar saham domestik.
Keputusan ini didorong oleh melemahnya return on equity (ROE) perusahaan di Indonesia, yang dinilai sebagai dampak dari perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Ahli strategi Morgan Stanley, Jonathan Garner, mengungkapkan bahwa data ekonomi terbaru menunjukkan kurangnya momentum pertumbuhan, dipicu oleh lemahnya investasi modal di Indonesia.
“Investasi terhadap PDB stagnan sepanjang 2025, hanya berkisar 29% dibandingkan rata-rata 32% sebelum pandemi. Hal ini berpotensi mengurangi penciptaan lapangan kerja serta pertumbuhan pendapatan,” ujar Garner, dikutip dari Bloomberg News, Selasa (25/2/2025).
Morgan Stanley juga mengingatkan investor agar tetap berhati-hati terhadap kemungkinan volatilitas dalam jangka pendek. Secara keseluruhan, mereka lebih memilih pasar lain di ASEAN dibandingkan Indonesia.
Faktor Penyebab Sentimen Negatif di Pasar Saham Indonesia
Analis Investindo Nusantara Sekuritas, Pandhu Dewanto, memaparkan beberapa faktor utama yang memicu tekanan terhadap pasar saham Indonesia. Pertama, pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS akibat kebijakan suku bunga The Fed yang masih tinggi.
“Kebijakan fiskal pemerintah yang belum sepenuhnya jelas juga menambah kekhawatiran investor,” ujar Pandhu.
Kedua, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menjadi agenda utama pemerintahan Prabowo menimbulkan pertanyaan mengenai dampaknya terhadap anggaran negara. Jika tidak diimbangi dengan kebijakan fiskal yang solid, pasar akan semakin skeptis terhadap keberlanjutan fiskal Indonesia.
Ketiga, melemahnya harga komoditas turut menekan kinerja ekspor Indonesia, sementara daya beli masyarakat yang masih lemah membuat konsumsi domestik belum bisa menjadi motor utama pertumbuhan ekonomi.
Langkah Pemulihan yang Diperlukan
Untuk mengatasi sentimen negatif ini, pemerintah perlu membuktikan bahwa kebijakan ekonomi yang diterapkan dapat mendorong pertumbuhan. Pandhu menekankan bahwa belanja negara harus lebih diarahkan ke investasi produktif, bukan sekadar program konsumsi.
“Danantara diharapkan bisa menjadi instrumen investasi yang efektif, meskipun sejauh ini pasar masih skeptis,” ujarnya.
Selain itu, Pandhu menilai bahwa Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada hilirisasi sebagai penggerak ekonomi. Diperlukan langkah lebih agresif dalam menarik investasi asing agar perusahaan global tertarik mengembangkan bisnisnya di Indonesia dan berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. (*)
Pewarta | : Hendarmono Al Sidarto |
Editor | : Hendarmono Al Sidarto |