TIMES JAKARTA, PADANG – Belakangan ini isu kesehatan mental menjadi masalah yang populer di semua kalangan, ini suatu tren yang baik, menimbang angka depresi hingga kasus bunuh diri kian hari kian meningkat. Dikabarkan dari Survei Kesehatan Indonesia 2023, sebanyak 61 persen di antara anak muda berusia 15-24 tahun dengan depresi memiliki pemikiran untuk mengakhiri hidup.
Kesejahteraan kesehatan secara keseluruhan masih dalam masalah ketidakadilan. Variabel seperti status sosio-ekonomi dan perilaku kesehatan semakin ditemukan berkorelasi dengan kejadian sakit di banyak tempat, terkhusus Indonesia.
Michael Marmot (2008) dalam laporan terakhirnya yang diterbitkan oleh Commission on Social Determinants of Health (CSDH). Mengatakan, “Jika perbedaan sistematis dalam kesehatan untuk berbagai kelompok orang dapat dihindari dengan tindakan yang masuk akal, maka keberadaannya tidak adil. Kami menyebutnya sebagai ketidakadilan kesehatan.”
Namun, berbagai riset determinan sosial kesehatan di Indonesia saat ini bagai “Gayung tak bersambut” dalam kebijakan kesehatan. Pasalnya telah banyak penelitian mengemukakan persoalan sistemik pada topik determinasi kesehatan, tetapi ikhtiar kebijakan dan penindakannya justru hanya terfokus pada faktor penyebab kejadian suatu penyakit, sikap ini mengabaikan faktor-faktor lainnya yang telah dibuktikan berkorelasi terhadap risiko kejadiannya.
DBD salah satu penyakit endemik yang dapat dijadikan contoh konkret masalah ini, menimbang kasusnya yang fluktuatif, mengingatkan bahwa tindakan kita sejauh ini belum memberikan efek signifikan. Tetapi tawaran kebaruan dan solusi yang solutif terus menumpuk, sedangkan eksekusi penanganannya belum ada kemajuan.
Belum selesai, persoalan lebih buruk terjadi pada dimensi sosial-budaya kesehatan. Keberadaan takhayul dan alasan-alasan irasional masih mengakar kuat di masyarakat. Bagi sebagian masyarakat kita takhayul mungkin terdengar lebih masuk akal, daripada diagnosis atau keterangan medis. Di era globalisasi dan modernisasi medis, Indonesia seperti sedang mengalami “cultural lag”.
Tentu cerita mistisnya menyesuaikan folklor yang beredar di daerah masing-masing. Tapi di Kabupaten Indramayu, tanah kelahiran penulis, kami menyebutnya salah satunya dengan sebutan “Ula Lembu”, makhluk siluman ular yang mendiami suatu sungai, danau, atau waduk. Semisal terjadi suatu kematian di sebuah danau akibat kecelakaan, masyarakat sekitar akan cenderung mengimani bahwa danau tersebut dihuni oleh makhluk “Ula Lembu” tersebut dan bertanggung jawab atas kematian korban.
Cerita semacam ini menantang konsep kesehatan alopatik dan mungkin berkorelasi dengan pembangunan infrastruktur kesehatan yang sejauh ini terus berjalan, tetapi melupakan pembangunan suprastruktur seperti pembangunan sosial budaya masyarakat. Mendasari cara mereka menilai kondisi sehat, kejadian suatu penyakit atau preferensi cara mereka menanganinya ketika mengalami sakit.
Di seluruh dunia, terutama negara-negara yang tergabung dalam WHO seperti Indonesia, jumlah tambahan orang yang diharapkan menikmati kesehatan dan kesejahteraan yang lebih baik diproyeksikan akan mengalami peningkatan pada tahun 2025, mencapai 1,5 miliar (1,2 miliar-1,8 miliar). Meskipun demikian, dari peningkatan ini diramalkan belum dapat memenuhi target SDGs 2030 mendatang.
Mengingatkan peran Indonesia dalam organisasi kesehatan dunia, SDGs 2030 dan sekaligus misi Indonesia Emas 2045. Mewujudkannya memerlukan pondasi kesejahteraan kesehatan dan jaminan untuk generasi berikutnya.
Dengan gambaran kondisi kesejahteraan kesehatan kita saat ini, pada akhirnya keharusan etis bagi negara untuk sekedar menanyakan pertanyaan serupa “seberapa jauh gejala penyakit dipandang serius oleh masyarakat?” atau “adakah kebutuhan pokok lainnya yang menimbulkan penolakan atau pengabaian ketika sakit?” kepada seluruh masyarakatnya.
Jika cara pikir seperti takhayul kesehatan tetap dan terus berakar dan ketidakadilan kesehatan masih menjadi masalah kesejahteraan, negara harus membaca kembali perkembangan riset-riset yang ada tentang kondisi sosial kesehatan, lengkap Sehingga pengetahuan tidak hanya menciptakan pengetahuan, tetapi hilirisasi kebijakan.
***
*) Oleh : Awal Ikhwani, Mahasiswa Sosiologi Universitas Andalas dan Peneliti Department Social Determinants of Health Sekolah Batu.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainorrahman |
Editor | : Hainorrahman |