https://jakarta.times.co.id/
Opini

Tom Lembong dan Keadilan yang Menjauh

Rabu, 23 Juli 2025 - 19:36
Tom Lembong dan Keadilan yang Menjauh Abdul Mukti Ro’uf, Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam di Magister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Mantan Menteri Perdagangan 2015–2016, Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong, resmi divonis pidana 4 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp 750 juta subsidair 6 bulan kurungan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat pada Jumat (18/7/2025).

Tidak seperti peristiwa hukum lain, kasus hukum Tom Lembong sejak awal sudah beraroma politik, diakui atau tidak. Dan memang, dalam sepuluh tahun terakhir, fenomena hukum sebagai “alat politik” cukup menguat akibat persaingan politik kekuasaan. 

Argumen ini memang jauh dari fakta hukum di berbagai level lembaga penegak hukum, kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Tetapi ada argumen yang sulit terbantahkan yaitu bahwa hukum tidak bisa dilepaskan dari politik apakah secara secara normatif atau praksis. 

Secara normatif hukum adalah produk politik. Secara praksis, hukum adalah “alat tekan” yang paling ampuh untuk melumpuhkan kekuatan politik yang lebih dikenal dengan istilah “kriminalisasi politik”.

Dalam terminologi hukum tata negara seperti ditulis oleh Ronald Christenson dalam “A Political Theory of Political Trials” (dapat dibaca di Journal of Criminal Law and Criminology: volume 74 No.2: 547-577) menyebut bahwa A political trial is a legal proceeding, often a criminal prosecution, in which the prosecution or the defendant (or both) use the proceedings as a platform to espouse a particular political belief. It is a trial of a person for a political crime. 

Maksudnya adalah bahwa pengadilan politik adalah proses hukum, seringkali penuntutan pidana, dimana penuntut atau terdakwa (atau keduanya) menggunakan proses tersebut sebagai platform untuk mendukung keyakinan politik tertentu. Ini adalah persidangan seseorang untuk kejahatan politik. 

Kasus Tom Lembong dengan demikian dapat didekati dari teori political trials mengingat putusan hakim betapapun harus dihargai menjauh dari fakta-fakta persidangan terutama karena tidak ditemukannya mens rea (niat jahat) dalam dugaan tindak pidana korupsi.

Peradaban Hukum dan politik

Dalam kasus hukum Tom Lembong, juga kasus-kasus yang mirip dengannya, jika ditarik lebih jauh, sejatinya kita sedang menghadapi gejala makin terpuruknya nilai-nilai keadilan baik dalam politik maaupun hukum. 

Praksis politik kita makin menjauh dari cita-cita awalnya seperti yang disebut oleh Palto dalam karya Republic yaitu bahwa politik adalah peralatan untuk mendistribusikan keadilan. 

Dibalik ide keadilan dalam politik karena Plato kecewa pada negara karena negara telah dijadikan alat untuk memuaskan keinginan para penguasa. Ia melihat betapa buruknya sistem pemerintahan yang ada di masa itu, dimana negara menjadi rusak karena kelakuan buruk penguasa yang korup. 

Menurut Plato, nasib pemerintahan Athena yang demikian akan dapat tertolong hanya jika mau mengubah dasar hidup rakyat dan sistem pemerintahannya. Inilah yang kemudian dijadikan alasan bagi Plato untuk menciptakan sebuah negara yang ideal.

Gambaran negara Athena yang direfleksikan Plato dapat dirujuk dalam melihat dan mengoreksi berbagai praktek politik dan hukum yang semakin menjauh dari rasa keadilan sebagai tujuan terjauh (maqasid) dari politik dan hukum. 

Maka, proposal Plato terhadap vigur kepala negara (king) adalah mereka yang berkapasitas sebagai filosof. Maksudnya adalah bahwa kepala negara harus memiliki kapasitas intelktual yang memahami konsep-konsep dasar tentang keadilan, kebaikan, dan kebahagiaan.

Kasus Tom Lembong dengan demikian bukan hanya soal personal Tom Lembong atau “kelompok politik” tertentu. Ini tentang bagaimana negara dan pemerintah melalui trias politiknya: eksekutif, legislatif, dan yudikatif secara bersama-sama mendorong energi kesejatian keadilan menjadi agenda mendesak untuk ditegakkan. Energi ini tidak mungkin bergerak tanpa ada political will dari kepala negara sebagai pemimpin tertinggi.

Lelah Berharap

Narasi tentang “Indonesia gelap”, usulan pemakzulan wapres, kriminalisasi hukum, dan sejumlah narasi kontra pemerintah satu sisi adalah kenyataan sosial politik kita. Tetapi pada saat yang sama bertabrakan dengan niat baik dan terobosan program-program unggulan yang terangkum dalam Asta Cita Presiden Prabowo. 

Oleh pemerintah, narasi itu dianggap sebagai bagian dari keterlibatan asing untuk memperlemah posisi Indonesia di tengah-tengah persaingan ekonomi global. Oleh para aktivis masyarakat sipil, narasi itu murni sebagai cerminan dari realitas kehidupan masyarakat. 

Dinamika pendapat pemerintah dan masyarakat sipil memang sebaiknya terus dikontestasikan dalam koridor demokrasi yang sehat dan mencerahkan sebagai bagian dari pendidikan politik masyarakat.

Pilihan terhadap sistem demokrasi adalah pilihan sadar sejarah yang harus dipikul oleh seluruh pundak elemen bangsa tanpa harus meniadakan satu dengan yang lainnya. Jika perbedaan pendapat itu hanya menjadi menu kosong dalam ruang-ruang sosial media, maka Indonesia hanya akan menjadi negara yang berisik tanpa isi.

Ide keadilan di banyak ranah kehidupan, termasuk dalam ranah hukum dan politik haruslah nampak arah dan kebijakannya melalui kepemimpinan Prabowo-Gibran. Memang, diakui atau tidak, posisi wapres Gibran masih memikul beban politik dan hukum yang tidak mudah dihapus setidaknya sepanjang kepemimpinan Prabowo-Gibran hingga 2029. 

Jujur, kasus Tom Lembong terus menguatkan pendapat bahwa keadilan masih menjadi beban sejarah pemerintah. Dan terus terang, berharap kaedilan akan semakin terang adalah harapan yang melelahkan.

Namun harapan tentang konkritisasi keadilan dan kesejahteraan adalah harga mati. Mimpi pertumbuhan ekonomi 8 persen dengan sejumlah indikator yang terus diupayakan masih dalam posisi antara ada dan tiada di tengah kondisi ekonomi global yang tidak menentu. 

Pidato-pidato presiden Prabowo dan sejumlah gerakan ekonomi pro rakyat seringkali masih menumbuhkan harapan di tengah-tengah kelelahan yang panjang tetapi sampai kapan menghela nafas untuk berharap?

***

*) Oleh : Abdul Mukti Ro’uf, Dosen Filsafat dan Pemikiran Islam di Magister Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.