TIMES JAKARTA, JAKARTA – Setidaknya ada tiga makna yang dapat kita ambil dari sebuah perayaan hari ulang tahun. Pertama, merupakan momentum untuk merefleksikan perjalanan hidup. Kedua, momentum evaluasi, yaitu untuk menelaah kembali pencapaian yang telah didapat, dan yang ketiga, hari ulang tahun dapat digunakan sebagai momentum untuk menentukan strategi atau perencanaan kehidupan mendatang.
Itulah sebabnya dalam khidmat sebuah perayaan hari ulang tahun doa-doa dan harapan selalu kita panjatkan agar setiap makna yang kita ambil mendapatkan Ridha dari Tuhan Yang Maha Esa.
Sebagai momentum untuk mengevaluasi pencapaian, hari ulang tahun juga merupakan saat yang tepat untuk berkontemplasi dan melakukan introspeksi, yang dalam konteks peringatan hari ulang tahun ke 79 Polri, 1 Juli ini, introspeksi tersebut adalah sebuah renungan pertanyaan yang sering kita dengar dari masyarakat akhir-akhir ini, yaitu: apakah polisi ideal masih ada?
Untuk menjawab pertanyaan ini penulis mengajak pembaca lebih dulu meninjau dasar-dasar filosofis mengenai keberadaan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Dalam sejarah kepolisian Indonesia disebutkan bahwa polisi negara ada, karena adanya cita-cita tata tentram, kerta raharja, yaitu sebuah tatanan masyarakat yang secara luas terpenuhi ketentraman dan kesejahteraannya.
Paralel dengan konsepsi tata tentram kerta raharja, lembaga kepolisian juga hadir untuk menjamin teori kebutuhan dasar manusia (theory of basic human needs) seperti yang dikemukakan psikolog Abraham Maslow, di antaranya ialah kebutuhan rasa aman (security needs), kebutuhan sosial (social needs), kebutuhan ego (egoistic needs), kebutuhan aktualisasi diri (self-actualization needs), hingga kebutuhan fisiologis (physiological needs) yang mencakup kebutuhan sandang dan pangan.
Unsur-unsur teori Maslow ini terdapat pula di dalam konsepsi tata tentram, kerta raharja, yang mensyaratkan kausalitas bahwa tidak ada ketentraman kalau tidak ditata. Tidak ada orang bisa bekerja dengan tenang kalau situasinya tidak tentram. Tidak ada orang dapat hidup raharja (sejahtera) tanpa bekerja.
Bahkan jika dirunut ke belakang filosofi kepolisian sebenarnya dimulai seiring dengan perkembangan peradaban dunia dan melengkapi teori tiga cabang kekuasaan, Trias Politika, yang diajarkan oleh Montesquieu, yaitu kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Namun menurut antropolog Belanda Cornelis Van Vollenhoven yang dijuluki “Bapak Hukum Adat” Hindia Belanda, ketiga cabang kekuasaan (Trias Politika) Montesquieu ini belum cukup untuk mendukung tercapainya konsepsi tatanan masyarakat ideal, seperti tata tentram, kerta raharja. Karena, menurutnya, masih ada lembaga lain yang dibutuhkan, yaitu lembaga kepolisian.
Proses kerja tiga cabang kekuasaan (Trias Politika); legilatif, eksekutif, dan yudikatif, tidak akan dapat berjalan jika tidak ada keterbitan umum yang tugas menjaga dan memeliharanya diperankan oleh polisi.
Dari rangkaian penjelasan saling terkait yang penulis kemukakan di atas, semuanya mengerucut kepada satu hal, yaitu Tujuan Negara, yang disebutkan di dalam alinea ke empat Undang Undang Dasar 1945.
Alinea tersebut menyatakan bahwa pemerintah negara Indonesia melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Alinea ke empat ini juga merupakan landasan dari cita-cita untuk mencapai konsepsi tatanan masyarakat tata tentram, kerta raharja.
Lalu dimana peran kepolisian? Kepolisian Republik Indonesia berada di bawahnya untuk mendukung.
Secara legalistik di dalam Pasal 3 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia disebutkan bahwa tujuan Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah menciptakan terwujudnya keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tegak dan tertibnya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman, dan pelayanan masyarakat.
Jadi jika ditanyakan yang manakah polisi yang ideal, jawabnya adalah polisi yang mampu melaksanakan tujuan kepolisian dan polisi yang sanggup melaksanakan tujuan negara dengan didasarkan jiwa Tribrata dan mengamalkan Catur Prasetya dalam pelaksanaan tugas dan setiap langkah pengabdiannya.
Ikrar Tribrata
Syarat dan kriterianya adalah seorang polisi harus memiliki Jiwa Polisi, yaitu jiwa yang sesuai dengan amanat di dalam tiga butir ikrar Tribrata, yakni pertama, “Kami polisi Indonesia berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa”.
Kedua, “Menjunjung tinggi kebenaran, keadilan, dan kemanusiaan dalam menegakkan hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945”. Ketiga, “Senantiasa melindungi, mangayomi, dan melayani masyarakat dengan keikhlasan untuk mewujudkan keamanan dan ketertiban”.
Jiwa Polisi juga harus memenuhi syarat dan kriteria Catur Prasetya yang merupakan ikrar pribadi seorang anggota kepolisian tanpa mengenal pangkat. Catur Prasetya berbunyi: “Sebagai insan Bhayangkara kehormatan saya adalah berkorban demi masyarakat, bangsa dan negara, untuk:
Pertama, Meniadakan segala bentuk gangguan keamanan.
Butir ini dapat dimaknai bahwa kehadiran polisi harus memberikan rasa aman dan nyaman kepada masyarakat, jauh dari setiap gangguan apapun, seperti rasa takut, khawatir, dan waswas. Bukan malah sebaliknya.
Kedua, Menjaga keselamatan jiwa raga, harta benda, dan hak azasi manusia. Hal ini dapat dimaknai bahwa setiap warga negara harus merasa terlindungi oleh kehadiran polisi. Terlindungi dari segala bentuk ancaman, baik jiwa, harta benda, termasuk pula polisi harus memiliki penghormatan terhadap hak azasi manusia.
Ketiga, Menjamin kepastian berdasarkan hukum. Hal ini mengandung makna bahwa setiap langkah atau tindakan yang dilakukan oleh kepolisian harus memberikan rasa kepastian hukum, misalnya tidak menunda-nunda keadilan, baik keadilan menurut hukum maupun keadilan masyarakat (legal justice and social justice). Karena sebenarnya menunda-nunda keadilan adalah ketidakadilan (delayed justice is denied justice).
Keempat, Memelihara perasaan tentram dan damai. Makna butir ikrar ini dapat dipahami bahwa polisi harus mampu mengidentifikasikan diri sebagai sosok yang menjamin terwujudnya kedamaian dan ketentraman bagi masyarakat.
Hal ini bisa pula dimaknai bahwa polisi tidak boleh bergunjing, menebarkan isu, mengintimidasi, menakut-nakuti, misalnya menyatakan akan ada banyak tersangka dalam menangani sebuah kasus
Sebelum tahun 2004 ikrar Catur Prasetya ini masih tertulis dalam teks berbahasa Sanskerta, yakni (1) Satya Haprabu. Setia kepada negara dan pimpinannya, (2) Hanyaken Musuh. Mengenyahkan musuh-musuh negara dan masyarakat. (3) Giniung Pratidina. Mengagungkan negara, dan (4) Tansa Tresna. Tidak terikat trisna pada sesuatu.
Bertepatan dengan pelaksanaan Sespim Polri Dikreg 40, tahun 2004, ikrar dalam bahasa Sanskerta ini diperbaharui ke dalam bahasa Indonesia baku oleh Tim Panja Polri saat itu, agar lebih mudah dipahami. Kebetulan saya mengikuti kegiatan sarasehan pemaknaan Catur Prasetya sebagaimana yang sudah diperbaharui ke dalam bahasa Indonesia baku saat mengikuti Sespim Polri tersebut.
Kesimpulan dari tulisan ini adalah, kendati saat ini terkesan sulit mencari polisi yang ideal, namun saya percaya bahwa pada hakekatnya polisi ideal itu ada selama jiwa polisi di dalam diri seorang anggota kepolisian dilandasi oleh ruh Tribrata dan semangat kerja Catur Prasetya, yang benar-benar dihayati dan diamalkan secara murni dan konsekuen.
Saya rasa tidak berlebihan bila pemerintah atau pimpinan Polri melakukan semacam retreat bagi seluruh insan Bhayangkara untuk menanamkan kembali nilai-nilai Tribrata dan Catur Prasetya sebagai komitmen kita berbakti kepada nusa dan bangsa dengan penuh ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
***
*) Oleh : Komjen Pol (Purn) Drs. Firli Bahuri, Msi., Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2019–2023.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |