https://jakarta.times.co.id/
Opini

Bela Negara di Zona Konflik

Minggu, 29 Juni 2025 - 00:14
Bela Negara di Zona Konflik Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di tengah langit yang menegang, serangan Israel terhadap Iran pada 13 Juni 2025 melalui “Operation Rising Lion” menandai babak baru dalam dinamika perang modern langsung menerobos wilayah kedaulatan Iran, menghantam target nuklir Nabanz, Fordow, dan Isfahan, serta menonaktifkan fasilitas pertahanan udara dan komando IRGC. 

Lebih dari 200 pesawat tempur dan drone Mossad melancarkan puluhan serangan simultan, termasuk operasi sabotase canggih yang melibatkan drone mikro dari pangkalan rahasia dalam Iran, yang merusak sistem peluncuran rudal Iran secara presisi. 

Serangan tersebut menghancurkan sebagian besar stok rudal Iran dan menewaskan puluhan hingga ratusan perwira tinggi, termasuk tokoh IRGC utama dan teknisi program nuklir. 

Tindakan Israel yang begitu agresif sekaligus tersinkronisasi ini menandai pergeseran dramatis dari perang bayangan menjadi konfrontasi langsung antarnegara.

Detik berlalu, respons Iran datang dalam bentuk “Operation True Promise III”, balasan tegas berupa puluhan rudal balistik dan drone yang menargetkan beberapa kota Israel: Tel Aviv, Haifa, Beersheba, dan Jerusalem. 

Meskipun sistem pertahanan seperti Iron Dome dan Arrow berhasil menghalau sebagian besar ancaman, beberapa rudal masih menimbulkan kerusakan dan korban jiwa, seperti di Soroka Hospital Beersheba. 

Serangan ini juga membuka ranah baru pada ancaman siber: grid listrik Israel sempat lumpuh akibat serangan siber Iran yang memanfaatkan kelompok seperti Charming Kitten.

Gelombang serangan tersebut memaksa kewaspadaan total-penutupan ruang udara, perintah berlindung massal, hingga pengungsian lebih dari 5.000 warga dari Tel Aviv dan sekitarnya.

Korban manusia dan material mencapai ratusan tewas dan ribuan luka, di kedua belah pihak. Media melaporkan adanya exodus massal sekitar 100 ribu warga Iran dari Teheran menuju daerah utara terdampak, dipicu oleh kegentingan infrastruktur dan kepanikan umum.

Pemerintah Iran merespons dengan menutup akses internet hingga 97%, menerapkan sensor dan control ketat atas media sosial, langkah yang dipandang sebagai metode represi politik dan strategi pengendalian narasi.

Rezim mulai menahan mereka yang dicurigai sebagai mata-mata Israel, serangkaian tindakan represif serupa yang pernah diterapkan di masa krisis sosial sebelumnya.

Di tingkat global, keterlibatan Amerika Serikat melalui serangan bunker‑buster terhadap lokasi nuklir Fordow dan Natanz pada 22 Juni menambah eskalasi, sekaligus menunjukkan dukungan militer yang nyata terhadap Israel.

Analisis John Bolton dan Gideon Rachman dari Financial Times mengestimasikan bahwa pendekatan militer ini paling banter hanya menunda program nuklir Iran satu hingga dua tahun, tanpa menawarkan solusi jangka panjang seperti pembaruan kesepakatan nuklir JCPOA.

Beberapa pihak memperkirakan kenaikan harga minyak dunia hingga 75% bila konflik berlanjut, meski prediksi pasar tetap moderat dalam jangka menengah.

Meski sebagian pihak khawatir risiko perang regional meningkat, terutama dengan peran proxy seperti Hezbollah, Houthi, ataupun milisi Irak yang kini relatif tertahan, realitasnya regional tengah dalam kondisi angin sepoi negara-negara Teluk dan Mesir bergerak hati-hati, menerima kompromi diplomatik sembari menahan diri secara publik dan operasional.

G7, PBB, dan pemain global lain menyerukan gencatan senjata dan solusi diplomatik terstruktur, di tengah kesadaran bahwa perang terbuka dapat menciptakan arus akibat mediatik, ekonomi, dan kemanusiaan yang sangat sulit dipulihkan.

Menghadapi realita seperti itu, konsep ‘bela negara’ yang semula dipahami secara tradisional sebagai pertahanan teritorial harus ditafsir ulang secara holistik. Warga negara tidak hanya dituntut untuk siap militer, tetapi juga harus kritis, informatif, dan inovatif. 

Menanamkan literasi geopolitik, memahami ancaman non-konvensional seperti perang siber dan disinformasi, serta mendorong solidaritas sosial menjadi bagian esensial dari bela negara. 

Infrastruktur digital, seperti stabilitas jaringan internet dan keamanan data warga, adalah pertahanan penting di zaman ini, lihat bagaimana pemadaman masal dan sensor ketat mampu menciptakan ketakutan dan menghambat mobilisasi sosial.

Demikian pula dengan kesiapsiagaan sipil: memastikan rumah sakit tetap aktif, jalur evakuasi dan layanan publik berjalan walau terjadi serangan, menjadi tanggung jawab masyarakat dan pemerintah bersinergi. 

Kasus Soroka Hospital memperlihatkan bahwa serangan terhadap pusat kesehatan dapat mengguncang keyakinan dasar rakyat terhadap perlindungan negara. Warga, relawan, dan tenaga medis harus siap dengan protokol darurat, relawan terlatih, dan sistem komunikasi cadangan yang kesemuanya merupakan manifestasi nyata bela negara non-militer.

Di ranah diplomasi publik, warga juga perlu memahami implikasi internasional atas konflik yang tampak jauh. Bagaimana harga minyak memengaruhi ekonomi dalam negeri, dampak inflasi akibat volatilitas minyak, serta bagaimana pengungsi atau eksodus massal menekan sistem sosial dan ekonomi. 

Masyarakat yang cerdas dapat menekan pemerintah untuk mengutamakan diplomasi preventif, menunjukkan bahwa bela negara tidak identik dengan imperialisme, melainkan sinergi kedaulatan dan wicaksana global.

Lebih luas lagi, konflik Iran–Israel hanyalah satu bingkai dalam kerangka konflik global yang lebih besar. Rusia terus menggempur Ukraina sejak 2022, menyisakan krisis kemanusiaan besar. Prancis dan negara Eropa mendukung Ukraina bukan hanya militer, tetapi terus menyalakan mobilisasi sipil dan ekonomi. 

Di Asia Tenggara, Myanmar masih dalam perang saudara yang brutal sejak kudeta 2021, saat warga sipil menggagas perlawanan sipil, sekolah bawah tanah, dan jaringan bantuan tanpa terpusat. Sementara ketegangan Korea Utara dan Selatan tetap menjadi ancaman laten, dengan potensi konflik meningkat setiap retorikanya mengerucut.

Semua itu memaksa warga global termasuk Indonesia untuk sadar akan interdependensi keamanan, strategi diplomasi rakyat, dan peran aktif dalam menjaga perdamaian.

Indonesia, sebagai negara maritim strategis, menghadapi risiko guncangan ekonomi akibat kenaikan minyak dan inflasi global. Oleh karena itu, pendidikan bela negara harus mencakup literasi geopolitik, kesiapan ekonomi seperti diversifikasi energi dan sumber belanja publik, serta kekuatan diplomasi aktif, baik formal melalui kebijakan luar negeri maupun sosial melalui forum warga, LSM, dan masyarakat adat. 

Dengan begitu, setiap warga tidak hanya berkarya dan memajukan ekonomi nasional, tetapi juga menjaga wibawa bangsa dan meningkatkan posisi tawar Indonesia di panggung global.

Dalam konteks yang semakin tak menentu, bela negara tidak lagi sekadar patriotisme militer, melainkan keutamaan literasi, solidaritas, kehati-hatian digital, kesiapsiagaan sipil, dan diplomasi yang sehat. 

Melalui pendekatan ini, negara tidak hanya mampu bertahan dari konflik semata, tetapi juga berperan dalam membentuk perdamaian dunia mengembalikan dunia pada tatanan diplomasi, bukan destruksi.

***

*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.