TIMES JAKARTA, JAKARTA – Jagat maya Indonesia baru-baru ini diwarnai oleh riuh rendah perbincangan hingga memantik seruan tagar #boikottrans7. Pemicunya adalah sebuah tayangan yang secara eksplisit atau implisit dinilai melecehkan, merendahkan, dan gagal memahami tradisi adab di lingkungan pesantren. Fenomena seperti mengambil barokah, mengabdi, roan (kerja bakti), cara berjalan membungkuk, hingga cium tangan kiai, disimplifikasi sebagai manifestasi feodalisme.
Pandangan ini tidak hanya gagal menangkap DNA dan ajaran yang tertanam kuat dalam lembaga pesantren, tetapi juga merupakan sebuah generalisasi yang dipandang sebelah mata, mengabaikan nilai-nilai kebaikan dan kontribusi historis yang amat besar.
Tudingan feodalisme terhadap adab pesantren menunjukkan adanya misinterpretasi terhadap sistem sosial-kultural yang berlaku. Secara akademis, Marc Bloch dalam tulisannya Feudal Society (1939) memotrait feodalisme klasik (seperti di Eropa Abad Pertengahan) adalah sistem sosial, politik, dan ekonomi yang dicirikan oleh kekuasaan absolut berbasis keturunan, relasi paksaan dan eksploitasi, serta sistem kasta yang tidak dapat ditembus. Tujuannya adalah mempertahankan kepentingan kaum bangsawan melalui kekuatan mutlak yang diturunkan secara genealogis.
Namun, relasi kiai dan santri di pesantren didasarkan pada ikatan spiritual, keilmuan, dan etika moral yang disebut adab. Adab, sebagaimana ditegaskan oleh ulama klasik, seperti Imam al-Ghazali dalam Ihya' Ulumiddin atau Syaikh Az-Zarnuji dalam Ta'limul Muta'allim, adalah syarat utama keberhasilan ilmu.
Sikap tawadhuk (rendah hati), mencium tangan, atau hormat terhadap guru, adalah manifestasi kerendahan hati seorang murid kepada guru (tawadhuk 'ala ustadh), yang diyakini sebagai kunci terbukanya barakah atau keberkahan ilmu.
Justru, jika kita mencari praktik feodalisme yang lebih dekat dengan konteks modern, kita dapat menemukannya dalam Neo-Feodalism di sektor korporasi dan media. Bentuk feodalisme ini dicirikan oleh hierarki kekuasaan yang absolut berdasarkan jabatan dan kepemilikan modal. Di sinilah kekuasaan dan kontrol atas sumber daya (bukan ilmu atau moral) menjadi penentu segalanya.
Feodalisme korporasi menekankan kepatuhan buta pada atasan (CEO/pemilik). Karyawan diwajibkan bekerja melebihi batas etis dan mengorbankan waktu pribadi (eksploitasi) demi kepentingan kapital tanpa ada jaminan mobilitas sosial kecuali melalui jalur nepotisme atau kekuasaan struktural.
Kepatuhan di lingkungan ini diatur oleh kontrak dan gaji, dan tujuannya adalah akumulasi kekayaan di tangan segelintir elit (pemilik media), sebuah sistem yang oleh Karl Marx disebut sebagai “alienasi” dan oleh Michel Foucault sebagai “pendisiplinan tubuh dan pikiran” demi melanggengkan kekuasaan.
Berbeda dengan feodalisme yang mengeksploitasi untuk kepentingan material, adab dalam pesantren adalah pedagogi spiritual yang berlandaskan “meritokrasi ilmu”. Banyak kiai besar hari ini yang tidak berasal dari keturunan kiai. Ini membuktikan bahwa pesantren adalah ruang yang memberi kesempatan bagi siapa pun untuk meraih posisi tertinggi asal memiliki ilmu dan adab. Oleh karena itu, menyamakan adab pesantren dengan feodalisme adalah simplifikasi berlebihan yang dipicu oleh kacamata sekuler dan modern yang minim konteks spiritual.
Kontribusi Abadi Kaum Sarungan
Misinterpretasi ini makin ironis mengingat peran historis pesantren, kiai, dan santri dalam pembangunan bangsa. Jauh sebelum Indonesia merdeka, pesantren sudah menjadi pusat pendidikan dan perlawanan kultural melawan kolonialisme. Puncak peran ini terukir melalui Fatwa Resolusi Jihad yang diserukan oleh Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945.
Latar belakang keluarnya resolusi ini sangat mendesak, yaitu setelah Proklamasi Kemerdekaan, tentara Sekutu yang diboncengi NICA (Netherlands Indies Civil Administration) datang ke Indonesia dengan maksud nyata merebut kembali kedaulatan.
Pemerintah Republik Indonesia saat itu masih berharap penyelesaian diplomatik, namun ulama pesantren melihat ancaman ini sebagai kezaliman yang mengancam agama dan negara.
Maka, melalui Rapat Besar Konsul-konsul Nahdlatul Ulama se-Jawa dan Madura pada 21-22 Oktober 1945 di Surabaya, KH. Hasyim Asy'ari mengeluarkan fatwa yang sangat monumental. Fatwa ini menegaskan beberapa poin krusial, yang di antaranya: mempertahankan dan menegakkan NKRI merdeka adalah fardhu 'ain; melawan Belanda dan Sekutunya adalah Jihad fi Sabilillah; dan santri yang berada dalam jarak kurang dari 94 kilometer dari tempat pertempuran wajib angkat senjata.
Resolusi Jihad menjadi bahan bakar spiritual yang mengobarkan semangat perjuangan, mengubah pertempuran lokal menjadi Jihad Akbar. Seruan takbir "Allahu Akbar" dari ulama dan santri yang berjuang di garda terdepan, khususnya saat meletusnya Pertempuran 10 November 1945 di Surabaya, menjadi bukti tak terbantahkan bahwa nasionalisme dan agama berintegrasi di jantung pesantren. Peristiwa heroik ini, di mana santri dan ulama melawan kekuatan militer Sekutu yang superior, menunjukkan kontribusi nyata kaum sarungan dalam menjaga kedaulatan bangsa.
Data terbaru Kementerian Agama per 4 Oktober 2025 menunjukkan bahwa jumlah pondok pesantren di seluruh Indonesia mencapai 42.391 unit. Jumlah ini, yang didominasi oleh Jawa Barat, Jawa Timur, dan Banten, adalah modal sosial dan perisai NKRI yang amat besar.
Kelebihan utama pesantren dibandingkan sekolah umum terletak pada pembentukan karakter adab dan sopan santun, di mana pelajaran tidak hanya kognitif tetapi juga afektif dan psikomotorik.
Namun, kekuatan ini harus berhadapan dengan realitas media sosial saat ini. Pengguna internet di Indonesia pada 2025 telah menembus 229,4 juta jiwa, didominasi oleh Generasi Z.
Meskipun tidak ada data pasti persentase santri dari total pengguna, akan tetapi komunitas santri aktif berinteraksi melalui media sosial cukup masif, terbukti dengan viralnya tagar #jagakiai, #lindungipesantren, dan #kamibersamakiai. Gerakan kultural santri ini adalah bentuk “moral panic” balik atas framming negatif, dan terbukti cukup efektif untuk menjaga marwah pesantren.
Sayangnya, media mainstream saat ini seringkali kehilangan etika siaran, melanggar Undang-Undang Etika Penyiaran, dan lebih mementingkan sensasi, viewers, dan kapital. Etika jurnalisme digantikan oleh komodifikasi tawa dan konten yang potensial memicu polemik demi keuntungan.
Pelecehan simbolik terhadap “kaum sarungan” atau figur sakral kiai (yang secara semiotika merupakan representasi waratsatul anbiya' atau pewaris nabi) dapat diartikan sebagai kekerasan simbolik yang melukai hati para santri dan merusak tatanan sosial yang damai.
Memasuki momentum Hari Santri, kaum sarungan seluruh Indonesia harus mengambil sikap moderat dan konstruktif. Tugas utamanya adalah tetap menjaga kondusivitas, membuktikan kecintaan pada negeri, menjaga adab, dan terus moderat di tengah framing negatif.
Jangan terpancing untuk menyerang satu sama lain di media sosial dengan narasi kebencian. Justru, momentum ini harus digunakan untuk mengedukasi publik tentang nilai-nilai luhur pesantren melalui narasi yang akademis, santun, dan berbasis data.
Mari buktikan bahwa adab santri, bahkan dalam menghadapi fitnah, adalah adab tertinggi yang membedakannya dari hiruk-pikuk media yang haus sensasi. “Kaum Sarungan” harus menjadi pelopor kedamaian digital dan penjaga tradisi yang bisa beradaptasi dengan modernitas tanpa kehilangan akarnya.
***
*) Oleh : Ali Mursyid Azisi, M.Ag., Santri, Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI), Pemerhati Sosial-Politik.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |