TIMES JAKARTA, JAKARTA – Dulu, kantor pemerintahan identik dengan tumpukan berkas, map lusuh, dan bunyi stempel yang nyaring. Kini, layar komputer menggantikan tumpukan kertas, aplikasi daring mereduksi antrean panjang, dan proses administrasi bisa diakses di ujung jari.
Digitalisasi birokrasi membuka babak baru. Tapi pertanyaannya: apakah kemudahan ini benar-benar menghadirkan good governance pemerintahan transparan, akuntabel, dan berpihak pada rakyat serta mendorong ekosistem bisnis yang kompetitif?
Digitalisasi pemerintahan sejatinya bukan sekadar proyek teknologi. Ia adalah upaya mengubah DNA birokrasi dari sistem yang tertutup menjadi terbuka, dari prosedural menjadi adaptif, dari berorientasi kekuasaan menjadi berorientasi pelayanan.
Dalam perspektif tata kelola, good governance mengandung prinsip transparansi, akuntabilitas, efektivitas, dan partisipasi publik (UNDP, 1997). Digitalisasi dapat menjadi instrumen kuat untuk mewujudkan prinsip-prinsip tersebut, tetapi juga bisa menjadi jebakan baru bila tidak diiringi dengan perubahan nilai dan perilaku birokrasi.
Sebagaimana diingatkan ekonom Joseph Stiglitz (2002), “transparansi tanpa akuntabilitas hanyalah ilusi.” Ungkapan itu terasa relevan ketika melihat banyaknya proyek digitalisasi pemerintahan yang berhenti di level aplikasi tanpa perubahan paradigma.
Di berbagai daerah, aplikasi layanan publik memang bertambah, tetapi sistem kerja tetap birokratis dan berlapis. Digitalisasi semu seperti ini hanya mengalihkan ketidakefisienan lama ke medium baru: dari meja ke layar, tanpa menyentuh akar masalahnya integritas dan budaya pelayanan.
Sesungguhnya, dalam beberappa tahun belakangan, Pemerintah Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang patut diapresiasi. Melalui Sistem Pemerintahan Berbasis Elektronik (SPBE), integrasi layanan publik mulai diwujudkan.
Aplikasi perizinan online, sistem pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement), serta portal keterbukaan data anggaran menjadi contoh nyata dari langkah menuju pemerintahan yang lebih transparan.
Kementerian PANRB bahkan menyebut digitalisasi sebagai “tulang punggung reformasi birokrasi.” Namun sebagaimana dicatat Dwiyanto (2018), reformasi birokrasi tidak cukup dengan mengganti alat, tetapi menuntut perubahan pola pikir. Tanpa integritas, teknologi hanya akan mempercepat proses yang salah.
Salah satu tantangan mendasar digitalisasi adalah kesenjangan infrastruktur. Tidak semua daerah memiliki akses internet yang memadai. Laporan Kementerian Komunikasi dan Informatika (2024) menunjukkan masih ada lebih dari 12.000 desa di Indonesia yang belum memiliki koneksi internet stabil.
Artinya, sebagian masyarakat masih berada di luar jangkauan pelayanan digital. Kesenjangan ini menimbulkan pertanyaan serius tentang keadilan akses terhadap layanan publik. Good governance sejatinya menuntut pemerataan dan inklusivitas, bukan sekadar efisiensi.
Dalam pandangan World Bank (2021), inclusive digital governance adalah syarat pokok bagi negara berkembang yang ingin memanfaatkan teknologi untuk kesejahteraan sosial.
Selain tantangan teknis, digitalisasi juga menimbulkan dilema etis. Ketika data menjadi sumber kekuasaan baru, muncul pertanyaan: siapakah yang mengendalikan data, dan untuk kepentingan siapa?
Di banyak negara, algoritma kini berperan dalam menentukan siapa yang berhak menerima bantuan sosial, siapa yang diaudit, bahkan siapa yang berisiko melanggar hukum.
Tanpa tata kelola data yang kuat, digitalisasi bisa berubah menjadi alat kontrol yang mengancam privasi warga. Karenanya, pemerintah digital harus dibangun di atas fondasi data ethics prinsip moral yang menuntun bagaimana data dikumpulkan, digunakan, dan dibagikan secara bertanggung jawab.
Dalam konteks Indonesia, digitalisasi juga membuka peluang baru bagi pengawasan. Teknologi memungkinkan aparatur pengawas internal pemerintah (APIP) bekerja lebih cepat dan akurat.
Dengan memanfaatkan big data analytics, pola-pola penyimpangan keuangan dapat dideteksi sejak dini. Pendekatan ini menggantikan model pengawasan lama yang bersifat reaktif dan manual.
Robert Behn (2001) menyebut pergeseran ini sebagai transisi dari police model ke learning model dalam pengawasan publik dari mencari kesalahan menjadi mencegah penyimpangan. Namun sebagus apa pun sistemnya, keberhasilan pengawasan tetap bergantung pada nilai kejujuran aparatnya.
Kofi Annan (1999) pernah berkata, “Good governance is not about systems; it is about values.” Kalimat ini mengingatkan kita bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tujuan. Sistem digital tidak akan otomatis melahirkan pemerintahan yang bersih jika tidak disertai nilai-nilai moral.
Di banyak negara, kegagalan transformasi digital justru terjadi karena hilangnya dimensi etis: data dimanipulasi, sistem dipolitisasi, dan teknologi dijadikan tameng bagi ketidakjujuran.
Digitalisasi juga mengubah hubungan antara pemerintah dan warga negara. Dalam era media sosial, komunikasi publik menjadi dua arah dan bersifat instan. Warga dapat langsung mengadu, mengkritik, bahkan memberi solusi kepada pemerintah melalui platform digital.
Pemerintah yang cepat merespons akan mendapat kepercayaan, sementara yang lambat dan tertutup akan kehilangan legitimasi. Dalam teori legitimasi politik, kepercayaan publik (trust) adalah mata uang utama bagi keberlangsungan pemerintahan (Rothstein & Stolle, 2008).
Karena itu, good governance di era digital harus dimaknai sebagai upaya membangun kepercayaan melalui transparansi dan partisipasi.
Sayangnya, transformasi digital birokrasi masih sering terhambat oleh resistensi internal. Banyak aparatur yang melihat digitalisasi sebagai ancaman terhadap zona nyaman.
Perubahan cara kerja menimbulkan kecemasan baru: kehilangan kewenangan, penurunan peran personal, atau bahkan ketakutan akan keterbukaan data. Padahal, sebagaimana ditegaskan Osborne (2010), “governance in the digital age is a learning process.”
Birokrasi digital menuntut adaptasi terus-menerus, keterbukaan terhadap inovasi, dan kemauan belajar dari kesalahan. Transformasi digital juga menuntut kepemimpinan yang visioner.
Pemimpin birokrasi tidak lagi cukup hanya paham administrasi, tetapi juga harus memahami dinamika teknologi dan etika publik. Ia harus menjadi penggerak budaya baru budaya yang menghargai data, kolaborasi, dan transparansi.
Seperti dikatakan Denhardt dan Denhardt (2015), “public leaders are no longer controllers, but facilitators.” Pemimpin birokrasi digital adalah fasilitator yang menumbuhkan kepercayaan dan inovasi, bukan pengendali informasi.
Di sisi lain, masyarakat juga memiliki peran penting. Digitalisasi pemerintahan hanya akan berhasil jika warga mau berpartisipasi aktif: memberikan umpan balik, menjaga etika digital, dan menggunakan hak akses informasi secara bertanggung jawab.
Kerja sama Negara dan Warga
Digitalisasi birokrasi untuk mewujudkan good governance adalah kerja bersama antara negara dan warga. Tanpa partisipasi publik, digitalisasi hanya akan melahirkan birokrasi elektronik yang dingin dan jauh dari nilai kemanusiaan.
Dalam perjalanan menuju pemerintahan digital yang berintegritas, Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, peluang untuk menciptakan birokrasi yang efisien, transparan, dan partisipatif terbuka lebar.
Di sisi lain, risiko penyalahgunaan teknologi, ketimpangan akses, dan lemahnya etika digital tetap menghantui. Jalan tengahnya hanya satu: menjadikan digitalisasi bukan sekadar proyek teknokratik, tetapi agenda moral bangsa.
Pemerintahan digital yang baik harus menempatkan manusia di pusatnya. Setiap data adalah amanah, setiap sistem harus berpihak pada keadilan. Pemerintah yang baik bukan sekadar cepat, tetapi adil dan terbuka.
Dalam era ketika hampir segalanya dapat dilakukan di ujung jari, pertanyaan kita bukan lagi apakah kita mampu menjadi digital, melainkan apakah kita mampu tetap menjadi manusia jujur, transparan, dan bertanggung jawab di tengah derasnya arus teknologi. (*)
***
*) Oleh : Mubasyier Fatah, Bendahara Umum Pimpinan Pusat Ikatan Sarjana Nahdlatul Ulama (PP ISNU) dan Pelaku Industri Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |