https://jakarta.times.co.id/
Opini

Inklusivitas Penghapusan Tes Calistung

Selasa, 01 Juli 2025 - 18:18
Inklusivitas Penghapusan Tes Calistung Awalina Barokah, S.Pd, M.Pd., Dosen Program Studi PGSD Universitas Pelita Bangsa Cikarang Bekasi.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Menjelang tahun ajaran baru, selain pergantian nama dari PPDB menjadi SPMB, ada kebijakan menarik dalam sistem penerimaan siswa baru pada tahun ini, yaitu penghapusan tes calistung (membaca, menulis, dan berhitung) untuk masuk jenjang Sekolah Dasar (SD). Sebelumnya, kemampuan calistung menjadi salah satu syarat untuk melanjutkan pendidikan ke tingkat Sekolah Dasar.

Kebijakan ini berasal dari Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemdikdasmen) yang tertuang dalam Permendiknasmen nomor 3 tahun 2025 tentang Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB) 2025/2026 dalam pasal 11 ayat 5.

Tentu, debut pertama kebijakan ini menjadi starting point untuk tahun-tahun berikutnya. Terlebih, jika kebijakan ini dapat mendobrak mutu pendidikan di negeri ini.

Berdasarkan laman Instagram Kemendikdasmen, landasan kebijakan ini dimunculkan untuk memberikan kesempatan yang setara bagi peserta didik di masa awal akademik tanpa membedakan kemampuan mereka.

Artinya, pemerintah berkomitmen untuk menjunjung tinggi prinsip inklusivitas dalam menyiapkan akses pendidikan dasar bagi calon peserta didik.

Seperti biasa, kebijakan anyar ini membuka pintu keran perdebatan secara luas, baik dari publik maupun akademisi. Apakah kebijakan ini akan berjalan efektif dan adil bagi murid dan guru di tengah sistem pendidikan kita saat ini?

Atau justru memunculkan kesenjangan-kesenjangan yang memperkeruh nasib pendidikan? Nanti akan terlihat pada kenyataan di lapangan.

Dilema Guru

Dalam lingkup psikologi, sebagaimana berbagai literatur yang mengemuka, memaksakan anak untuk bisa calistung di usia dini (TK/PAUD) akan mengakibatkan anak tak lagi gemar membaca ketika beranjak remaja.

Hal ini diperkuat dengan penelitian oleh Marit Korkman, Sarianna Baron, Pekka Lahti (1999) dalam jurnal Developmental Neuropsychology menyebutkan anak yang belajar membaca di sekolah formal kisaran usia 6-7 tahun memiliki prestasi lebih baik dibanding anak yang belajar membaca di usia sebelum 6 tahun.

Pantas saja budaya baca di negeri memilukan karena tekanan untuk bisa membaca sudah menjadi kultur yang mengakar sejak dini. Anak dipaksa bisa calistung hanya lantaran ambisi orang tua untuk lulus di sekolah bonafit.

Akibatnya, hasil penelitian Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) yaitu studi internasional dalam bidang membaca pada anak-anak di seluruh dunia mengemukakan kemampuan memahami bacaan anak-anak Indonesia berada di urutan nomor empat dari bawah dari 45 negara di dunia.

Kondisi yang sangat memprihatinkan ini menjadi tantangan besar dalam sistem pendidikan di Indonesia, khususnya untuk jenjang pendidikan dasar.

Tekanan formal terhadap anak untuk menguasai kemampuan membaca, menulis, dan berhitung dapat menimbulkan dampak negatif, seperti kecemasan, ketidaknyamanan, kekhawatiran, dan mengurangi semangat alamiah anak dalam belajar.

Tes calistung yang merupakan syarat administratif tidak mencerminkan potensi anak secara menyeluruh. Ketidaksiapan anak bukan karena ketidakmampuan anak, melainkan anak belum berada pada tahap perkembangan kognitif dan bahasa yang sesuai.

Merujuk pada kondisi di atas, penghapusan calistung sebagai syarat masuk SD menjadi angin segar di tengah kesimpang-siuran pemahaman penanaman budaya baca pada usia dini.

Kesetaraan bagi anak yang selama ini hanya fatamorgana benar-benar dapat terwujud. Anak benar-benar dianggap sebagai fitrah ilahiyah dengan segala kompetensinya. Langkah ini menjadi udara penyejuk bagi banyak elemen khususnya siswa, guru, dan orang tua.

Siswa tak lagi dipaksa harus bisa baca di usia dini, tapi fokus pada eksplorasi edukasi dan permainan yang dibalut dengan aktivitas menyenangkan. Kegalauan guru TK/PAUD lantaran tuntutan yang mengharuskan anak bisa calistung perlahan mulai dapat diminimalisir.

Kekhawatiran orang tua terhadap anaknya tidak dapat mengikuti pembelajaran dengan efektif ketika masuk SD kini bisa bernafas lebih lega. Penghapusan tes calistung menjadi kawah candradimuka di tengah gurun sahara.

Namun, tampilan permukaan memang tak selalu tampak tenang seperti di bagian dasar. Kenyataan di lapangan tak sesederhana yang kita bayangkan. Ada sisi lain yang cukup mengkhawatirkan akibat adanya kebijakan ini.

Kekhawatiran muncul berupa pertanyaan, apakah guru sekolah dasar di fase awal sudah siap secara jiwa dan raga menghadapi kebijakan ini sedangkan kurikulum atau materi ajar yang disajikan kepada siswa cukup menyulitkan?

Lebih sederhananya seperti ini, ketika tes calistung dihapuskan sebagai syarat SPMB, kemungkinan besar akan terjadi peningkatan siswa yang belum bisa membaca, menulis, dan berhitung.

Sedangkan faktanya, materi yang diajarkan kepada anak kelas 1 saat ini cukup sulit, memerlukan dasar dan bekal calistung tersebut. Jika demikian, anak akan kesulitan menerima pelajaran. Lagi-lagi guru sekolah dasar dihadapkan dengan pilihan yang sangat dilematis.

Kesetaraan yang Komprehensif

Jika kita perhatikan, banyak buku pelajaran anak SD kelas 1 saat ini cenderung tebal. Konten di dalamnya cukup banyak, dengan sajian mayoritas terdiri dari gambar dan teks bacaan.

Jadi, guru kelas 1 SD harus mengenalkan atau mengajarkan calistung kepada siswa tapi di balik itu mereka juga punya tuntutan agar siswa paham dengan teks bacaan yang tertuang di buku pelajaran.

Akibatnya, siswa yang tidak punya bekal calistung akan tertinggal dengan siswa yang telah pernah belajar calistung. Jika demikin, kebijakan ini hanya memenuhi inklusivitas di ranah administratif tapi tidak pada ranah substantif.

Esensinya, kebijakan penghapusan tes calistung selaras dengan proses perkembangan anak. Namun, implementasi kebijakan ini harus secara komprehensif, bukan parsial yang memunculkan beban baru di ruang-ruang kelas. Jika hal ini dibiarkan maka anak dan guru akan tetap terbebani.

Reformasi kebijakan ini tidak cukup hanya diketok palu oleh kementerian, kemudian disebarluaskan kepada stake holder pendidikan. Perlu perhatian serius mulai dari sosialisasi, penerapan, pelatihan, kurikulum yang adaptif, hingga komunikasi yang jelas terhadap publik, sehingga kebijakan ini terlaksana secara menyeluruh dan terhindar dari kegamangan-kegamangan di akar rumput.

Terlepas dari berbagai dinamika, setiap Upaya pemerintah dalam mewujudkan kepentingan publik patut diapresiasi. Perubahan kebijakan tentu tidak selalu berjalan mulus, rintangan dan hambatan di lapangan adalah bagian dari proses.

Dinamika ini menjadi bahan evaluasi agar kebijakan penghapusan tes calistung tidak hanya menciptakan kesetaraan secara administrative, tetapi juga mencerminkan keadilan secara substansial bagi perkembangan anak

***

*) Oleh : Awalina Barokah, S.Pd, M.Pd., Dosen Program Studi PGSD Universitas Pelita Bangsa Cikarang Bekasi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.