https://jakarta.times.co.id/
Opini

Mendambakan Profesionalisme Kepolisian

Rabu, 19 November 2025 - 19:28
Mendambakan Profesionalisme Kepolisian Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 114/PUU-XXIII/2025 pada 13 November lalu memutuskan bahwa anggota Polri aktif tidak boleh lagi menduduki jabatan sipil sebelum mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian, termasuk jika penugasan itu berdasarkan arahan atau perintah Kapolri semata. Lebih lanjut, MK menyatakan bahwa frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” menjadi syarat mutlak bagi anggota Polri jika hendak menduduki jabatan sipil.

Putusan MK ini menarik dicermati karena dalam waktu yang tidak terlalu berjauhan, pemerintah baru saja membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri pada 7 November yang beranggotakan 10 orang. Merespons dinamika yang berkembang, para pemangku kepentingan, khususnya Polri sendiri sebagai institusi yang disorot, dapat menjadikan Putusan MK ini sebagai momentum untuk akselerasi reformasi yang dimandatkan.

Adanya korps kepolisian di tubuh kementerian dan lembaga sipil tidak dipungkiri menjadi sesuatu yang problematik. Pemisahan TNI dan Polri sebagai konsekuensi reformasi memang merubah karakter dan habituasi Polri dari kekuatan militeristik menjadi kekuatan sipil bersenjata. 

Meskipun sebagai sipil, tugas pokok dan fungsi Polri jelas berbeda dengan aparatur sipil secara umum, yang mana UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri secara tegas mengatur tugas Polri untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.

Dengan tugas pokok dan fungsi yang sifatnya spesifik tersebut, menjadi suatu hal yang tidak relevan dan bahkan rancu ketika personel Polri berada dan bertugas di instansi yang sama sekali tidak menjalankan fungsi hukum. 

Penempatan perwira tinggi Polri saat ini di beberapa lembaga sipil merupakan realitas empirik yang menimbulkan penolakan publik. Jabatan yang sejatinya dapat diampu oleh aparatur sipil sesuai dengan kompetensi masing-masing justru diampu oleh personel Polri yang memiliki kompetensi yang kurang relevan.

Keberadaan Polri di lembaga sipil membawa berbagai implikasi serius. Pertama, dari sisi kelembagaan dan pengelolaan sumber daya manusia di lembaga sipil itu sendiri. 

Keberadaan Polri membuat manajemen personel di lembaga sipil tidak berjalan meritokratif. Bukan rahasia umum bahwa ada ego sektoral yang dibawa oleh personel Polri seolah-olah posisi mereka lebih tinggi dari aparatur sipil. Sikap ini memang tidak bisa digeneralisir, tapi dapat diuji secara empirik kebenarannya oleh instansi pembina ASN seperti Kemenpan RB. 

Ada tekanan psikologis yang dirasakan oleh aparatur sipil ketika mereka berbaur dengan personel kepolisian. Hal ini berdampak pada tingginya permohonan mutasi dari aparatur sipil ke instansi lainnya yang murni sipil, bukan campuran dengan kepolisian.

Problematika menjadi lebih kompleks ketika melihat kinerja personel kepolisian itu sendiri di lembaga sipil. Karena masa kerja yang sifatnya terbatas, kinerja mereka kurang optimal. Kedua, dampak lain dari keberadaan Polri yang masif di lembaga sipil adalah menguatnya keinginan TNI sebagai komponen utama pertahanan negara untuk juga turut masuk ke ranah sipil. Suka tidak suka, revisi UU TNI yang terjadi tahun ini, dipantik oleh adanya kecemburuan dengan apa yang dilakukan oleh “saudara muda” mereka. 

Putusan MK ini perlu diapresiasi dan dilaksanakan oleh pemerintah dan Polri. Terlebih lagi Putusan MK ini bersifat final dan mengikat. Solusi yang ditawarkan oleh MK dalam putusan adalah solusi terbaik. 

Jika benar personel Polri hendak masuk ke ranah sipil, maka pensiun dan pengunduran diri dari dinas kepolisian adalah syarat mutlak. Dalam konteks operasionalisasinya, baik Polri maupun instansi sipil yang dituju dapat melakukan pembenahan. 

Dari sisi Polri, sistem rekrutmen dan manajemen personalia harus diperbaiki. Polri dapat memberlakukan moratorium penerimaan bintara atau perwira baru manakala terjadi surplus personel di satuan. 

Dari sisi lembaga sipil yang dituju, perlu ditetapkan kriteria khusus untuk jabatan yang dapat diduduki oleh personel Polri, bahkan untuk mereka yang sudah mundur atau pensiun dini dari dinas kepolisian sekalipun. Harapan kita bersama agar Polri semakin profesional. 

***

*) Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.