https://jakarta.times.co.id/
Opini

Kurban Sejati: Antara Penyembelihan dan Penyucian Diri

Jumat, 06 Juni 2025 - 16:48
Kurban Sejati: Antara Penyembelihan dan Penyucian Diri Shohibul Umam, Alumni Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, Pengurus NU Care dan LAZISNU Jakarta.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Setiap kali Idul Adha tiba, takbir bergema dari masjid, mushala, dan jalan-jalan di kota dan desa, menciptakan suasana syahdu yang menyatukan jutaan hati dalam zikir dan ketulusan. 

Umat Islam melakukan ibadah bukan hanya menyembelih hewan Kurban, tetapi sebagai cara nyata untuk taat kepada Allah SWT dan memahami keteladanan luar biasa Nabi Ibrahim AS, yang rela mengorbankan putranya, Ismail AS, untuk memenuhi perintah Allah. Kisah ini menggugah iman dan menunjukkan makna keikhlasan yang sebenarnya.

Namun, banyak orang yang tidak menyadari makna sebenarnya dari Kurban, sebuah ibadah yang sebenarnya memiliki nilai spiritual dan menunjukkan iman. Tidak jarang, prosesi Kurban dilakukan secara mekanis, bahkan simbolik semata, tanpa mempertimbangkan ruh pengorbanan dan keikhlasan yang menjadi inti dari ajaran Nabi Ibrahim AS. 

Akibatnya, muncul pertanyaan yang tidak dapat diabaikan: apakah Kurban masih berfungsi sebagai cara untuk membersihkan jiwa dan menjadi pengikat batin dengan Tuhan di era modern ini, atau apakah itu hanya ritual tahunan yang telah kehilangan esensi dan maknanya yang sebenarnya?

Dalam Surat Al-Hajj ayat 37, Allah SWT bersabda: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamu-lah yang dapat mencapainya,” (QS. Al-Hajj: 37). 

Ini menunjukkan bahwa Kurban bukan sekadar pemotongan hewan secara fisik; itu adalah proses spiritual yang melibatkan penyucian niat, pemurnian hati, dan meningkatkan kesadaran tentang Tuhan. 

Dalam situasi seperti ini, penting bagi kita untuk merenungkan makna asli dari Kurban, yang merupakan penyembelihan bukan hanya hewan tetapi juga penyembelihan diri sendiri.

Kurban Adalah Ujian

Dalam sejarah panjang peradaban Islam, kisah tentang perintah Allah SWT kepada Nabi Ibrahim AS untuk menyembelih putranya Ismail AS bukan sekadar kisah pengorbanan. Ini lebih dari sekadar kisah tentang ujian iman dan tunduk sepenuhnya kepada kehendak Ilahi. 

Sebenarnya, perintah itu tidak bermaksud untuk melakukan pembunuhan atau mengambil nyawa seseorang; sebaliknya, itu menunjukkan seberapa ikhlas dan siap seorang hamba untuk meninggalkan apa yang paling dicintainya untuk mengabdi secara utuh kepada Tuhan. 

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, Rasulullah SAW bersabda: “Tiada suatu amal yang dilakukan anak Adam pada hari Nahr yang lebih dicintai Allah selain dari menyembelih hewan Kurban. Sesungguhnya hewan Kurban itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk-tanduknya, bulu-bulunya, dan kukunya. Dan sesungguhnya darahnya akan sampai kepada Allah sebelum jatuh ke tanah. Maka, ikhlaskanlah Kurban itu.”

Hadis ini memiliki makna yang sangat dalam dan menyentuh inti ajaran Islam, yaitu bahwa yang sampai kepada Allah SWT bukanlah darah atau bulu hewan yang disembelih, tetapi niat tulus. Dalam hal spiritual, Kurban adalah penting karena kesadaran dan keikhlasan yang mendasari pengorbanannya, bukan bentuknya. 

Dinamika Sosial dalam Berkurban

Lebih dari satu juta hewan Kurban disembelih di Indonesia setiap tahunnya. Lebih dari 1,7 juta ekor sapi, kambing, dan domba diKurbankan pada Idul Adha 2024, menurut data dari Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian. Perkiraan nilai ekonominya lebih dari 20 triliun rupiah.

Namun, di balik angka yang luar biasa ini, muncul pertanyaan moral: apakah benar-benar ada orang yang benar-benar membutuhkan melalui distribusi daging? Apakah tujuan kita untuk berKurban murni karena Tuhan atau karena kebanggaan masyarakat dan kegembiraan kolektif?

KH. Ahmad Mustofa Bisri (Gus Mus) pernah menyindir secara halus: "Jangan-jangan daging kurbanmu hanya berpindah dari freezer rumahmu ke freezer rumah tetanggamu. Yang lapar tetap lapar."

Oleh karena itu, ibadah Kurban bukan sekadar menebas leher hewan sebagai tindakan ritual; lebih dari itu, itu adalah proses simbolik untuk menebas sifat-sifat buruk yang menghalangi kita dari hubungan dengan Tuhan dan sesama manusia, seperti keserakahan, egoisme, dan keangkuhan. 

Kurban menjadi ajakan halus dan kuat untuk membebaskan diri dari ikatan duniawi sambil menumbuhkan rasa empati terhadap mereka yang tidak memiliki. 

Di Tengah Gaya Hidup Pamer

Di era modern, masyarakat cenderung menilai kesuksesan berdasarkan kepemilikan material, Kurban sejati sangat relevan. 

Dimungkinkan untuk mengubah arti Kurban dari sudut pandang spiritual ke sudut pandang bisnis jika ada budaya "pamer Kurban" di media sosial yang menampilkan sapi berukuran besar dan menunjukkan jumlah potongannya. 

Dalam tafsir Al-Mishbah, Quraish Shihab mengingatkan: “Ayat tentang Kurban bukanlah pengingat bahwa Allah butuh sembelihan, tetapi bahwa manusia butuh pengorbanan untuk mendekatkan diri pada Tuhan. Tanpa niat ikhlas, Kurban hanyalah potong hewan biasa.” 

Oleh karena itu, sangat penting bagi umat Islam untuk mempertimbangkan: apakah kita mengorbankan sesuatu untuk kepentingan Allah atau hanya untuk kepentingan penampilan?

Menghidupkan Hikmah Berkurban

Ada tiga hal penting yang harus kita ingat agar ibadah Kurban yang kita lakukan benar-benar bermakna dan diterima di sisi Allah SWT. 

Pertama, niat harus tulus hanya karena Allah, karena tanpa itu, semua usaha dan pengorbanan akan sia-sia. Niat yang benar adalah dasar dari segala bentuk ibadah, seperti yang dikatakan Nabi Muhammad SAW, "Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya" (HR. Bukhari dan Muslim).

Kedua, daging Kurban harus didistribusikan dengan adil dan tepat ke sasaran. Jangan sampai daging yang diberikan kepada orang-orang yang kurang beruntung tidak sampai ke mereka. Pastikan daging Kurban kita sampai ke orang-orang yang paling membutuhkan. 

Ketiga, Kurban harus menjadi nilai spiritualitas yang tinggi. Saat ini adalah saatnya kita menghancurkan keangkuhan kita yang angkuh, menghapus kebencian yang menggerogoti jiwa kita, dan membersihkan jiwa kita dari semua noda buruk. 

Dengan mempertimbangkan ketiga elemen tersebut, kita dapat memastikan Kurban tahun ini tidak hanya mencakup menyembelih hewan secara fisik tetapi juga akan mencapai jiwa dan hati yang merunduk dengan kesadaran dan kerendahan hati.  

Biarlah pengorbanan kita menjadi amal yang terus menerus mengalir di sisi Allah, bukan sekadar darah dan daging, tetapi dengan jiwa dan hati yang ikhlas. 

***

*) Oleh : Shohibul Umam, Alumni Pondok Pesantren Ihyaul Ulum, Pengurus NU Care dan LAZISNU Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.