https://jakarta.times.co.id/
Opini

Lembaga Pemikir dalam Lingkaran Kekuasaan

Jumat, 10 Oktober 2025 - 10:32
Lembaga Pemikir dalam Lingkaran Kekuasaan Arief Rahzen, Pekerja Budaya.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Lampu-lampu berkilau. Dengung percakapan penting memenuhi Djakarta Theater. Di sana ada wajah-wajah familier: ekonom, profesional, akademisi, dan pengusaha. Pesan yang bergema dipenuhi mantra modern: "berbasis data," "independen," "objektif," "kontribusi bagi bangsa." 

Di antara hadirin, duduk para pejabat pemerintah, direktur BUMN, dan pemimpin bisnis yang sejalan. Sebuah pusat studi kebijakan baru, Prasasti Center for Policy Studies, telah lahir pada 30 Juni 2025. 

Lembaga pemikir ini mengaku melayani publik dengan pengetahuan. Namun, garis keturunannya tak bisa disangkal: istana negara. Ada nama Hashim Djojohadikusumo dan Burhanuddin Abdullah disana.

Kelahiran Prasasti bukanlah hal baru. Lembaga pemikir (think tank) di lingkaran kekuasaan sudah ada dari dulu. Pada 1971, di fajar sebuah rezim yang berkuasa penuh, Centre for Strategic and International Studies (CSIS) didirikan. Sama seperti Prasasti, CSIS lahir untuk melayani era baru, didukung oleh orang-orang terdekat Presiden Soeharto.

Hubungan mereka bersifat simbiosis. Rezim Orde Baru butuh stempel ilmiah untuk ideologi Pembangunanisme dan anti-komunismenya. CSIS menyediakan kerangka kebijakan yang dibutuhkan. 

Soeharto jadi pemutus akhir, CSIS menyusun agenda di balik layar, membisikkan gagasan yang kemudian menjadi kebijakan negara. Fasad independensi dijaga dengan cermat. CSIS menjaga kredibilitas. Pendanaan datang dari komunitas bisnis yang sejalan, bukan dari kas negara.

Kedekatan ini rapuh. Pada 1988, hubungan itu retak. Sebuah memo yang menyarankan persiapan suksesi ditafsirkan sebagai seruan agar Soeharto mundur. Seketika, istana menjauhkan diri. Ini pelajaran: saat analisis tak lagi sejalan dengan selera penguasa, kemitraan itu tamat. 

Pembentukan lembaga seperti ini lebih dari sekadar dapur gagasan. Ini siasat politik. Sebuah rezim baru membangun benteng intelektualnya sendiri untuk memvalidasi kebijakan, sekaligus menangkis kritik dengan tameng "riset" dan "data".

Akan tetapi, lanskap intelektual Indonesia tidak pernah monolitik. Pada tahun yang sama CSIS lahir, sebuah lembaga lain muncul dengan etos berbeda: LP3ES (Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial). 

Jika CSIS berbisik di kuping kekuasaan, LP3ES berbicara kepada publik. Fokusnya bukan strategi agung, melainkan denyut nadi akar rumput: sektor informal, koperasi, dan pesantren.

Senjatanya bukan laporan rahasia, melainkan jurnal terbuka. Melalui majalah Prisma, LP3ES meniupkan angin pemikiran kritis selama Orde Baru, dibaca oleh akademisi, mahasiswa, bahkan pejabat reformis. Saat itu ada dahaga publik akan narasi alternatif.

Tradisi kritik publik ini berlanjut hingga era Reformasi. Lembaga seperti INDEF, yang didirikan oleh para ekonom kritis, adalah pewaris modernnya. Misi mereka adalah menciptakan "debat kebijakan" di ruang terbuka, bukan di koridor istana.

Dengan demikian, dua jalur pengaruh muncul. Satu bekerja dari sisi penawaran: menyuplai gagasan langsung ke elite, dengan asumsi penguasa akan menerapkannya. Di sini, pengaruh diukur dari akses. Yang lain bekerja dari sisi permintaan: menyulut debat publik untuk menciptakan tekanan dari bawah. Di sini, pengaruh diukur dari kesadaran publik dan akuntabilitas pemerintah.

Kita kembali ke ballroom peluncuran Prasasti. Apa tujuan sejatinya? Panggungnya kini berbeda. Sekarang era polarisasi politik-ekonomi yang tajam, dipercepat oleh riuh media digital. Dalam iklim seperti ini, tekanan pada integritas riset menjadi luar biasa besar. Kata "independen" pun perlu dikupas tuntas. 

Kemerdekaan sejati bukanlah soal status hukum atau sumber dana, melainkan kebebasan intelektual. Bisakah lembaga yang berdekatan dengan kekuasaan sungguh-sungguh menyuarakan kebenaran pada penguasa? Pertanyaan yang perlu jawaban.

Peluncuran Prasasti jadi sinyal. Ini memetakan siapa yang kini dekat dengan telinga penguasa. Namun, keberadaan lembaga-lembaga kritis juga merupakan sinyal bahwa masyarakat sipil tetap hidup, dan narasi resmi tidak akan dibiarkan tanpa alternatif.

Tarian antara pengetahuan dan kekuasaan terus berlanjut. Panggungnya mungkin baru, tetapi langkah-langkahnya sudah tua dan sangat familier. Itulah dinamika lembaga pemikir di negeri ini. Bersyukurlah, semua lembaga think tank itu berniat baik untuk kemajuan negara-bangsa Indonesia.

***

*) Oleh : Arief Rahzen, Pekerja Budaya.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.