TIMES JAKARTA, JAKARTA – Tanggal 13 Agustus 2025 menandai genap 22 tahun berdirinya Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga peradilan yang berfungsi mengawal marwah konstitusi sekaligus menjamin hak-hak warga negara sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam UUD 1945.
Dalam praktiknya, MK seakan menjadi ruang pengaduan bagi warga negara yang mencari keadilan ketika merasa hak konstitusionalnya dicederai oleh suatu produk hukum yang dikeluarkan oleh DPR RI. Tanpa pandang bulu dan sekecil apapun kerugian nya Pemohonan tersebut di terima dan diproses sebagaimana ketentuan yang berlaku.
Peran ini sejalan dengan prinsip demokrasi modern yang mensyaratkan kedaulatan rakyat sebagai hal yang tertinggi dan utama. Maka dalam hal ini dengan satu ketukan palu saja MK dapat mengembalikan hak konstitusional warga negara yang sebelumnya tercederai.
Bagi banyak orang, MK ibarat oase di tengah kekecewaan publik terhadap praktik politik culas yang kian menjauh dari semangat reformasi. Namun, wajah ideal MK sebagai pengawal konstitusi perlahan mulai direduksi oleh DPR.
Alih-alih menghormati prinsip checks and balances sebagai sistem yang mengntol jalannya masing masing kekusaan, DPR justru secara terang-terangan berusaha mengikis, bahkan mematikan prinsip pemisahan kekuasaan tersebut
Tindak Tanduk pengikisan Konstitusi
Tindak-tanduk DPR dalam menguasai peradilan konstitusi kian terang dalam sejumlah peristiwa belakangan ini misalnya ketika kita flasback kembali Pada pertengahan tahun 2022, DPR secara serampangan mencopot Hakim Aswanto d sebagai hakim konstutusi sebelum masa jabatannya berakhir.
Bukan didasari alasan hukum yang jelas dan rasional, pencpotan itu malah sarat akan kepentingan politis. Aswanto dianggap terlalu sering membatalkan undang-undang produk hukum yang dikeluarkan oleh DPR.
Padahal itu memang mandat utama Mahkamah Konstitusi yaitu mengoreksi produk legislatif yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945. Langkah DPR ini jelas merupakan pelanggaran terhadap pelemahan prinsip independensi kehakiman yang seharusnya bebas dari kepentingan politis.
Rangkain pengikisan ini kemudian berlanjut pada tahun 2024, ketika MK mengeluarkan putusan soal batas usia calon kepala daerah. Putusan MK yang bersifat final dan mengikat ini dengan mudahnya dibangkangi oleh DPR.
Alih-alih tunduk pada konstitusi, DPR nekat menganulir putusan tersebut dengan membuat peraturan baru yang bersebrangan dnegan putusan MK tersebut. Tindakan DPR ini adalah bentuk arogansi kekuasaan yang dipertontonkan secara terang-terangan dengan melanggaar hierararki hukum tertinggi negara.
Perusakan prinsip checks and balances ini kemudian dilegitimasi melalui sebuah aturan yaitu Revisi Tatib No.1 tahun 2025 yang memberikan kewenangan kepada DPR untuk melakukan evaluasi berkala terhadap pejabat negara yang dipilihnya, termasuk Hakim Mahkamah Konstitusi yang diangkat melalui mekanisme fit and proper test di DPR RI.
Regulasi ini menimbulkan konflik kepentingan yang serius. Sebab, DPR bukan hanya pembuat undang-undang, melainkan juga pemilik kuasa untuk menekan hakim yang seharusnya berwenang menguji produk hukumnya sendiri. Dengan demikian, prinsip checks and balances tidak sekadar dilemahkan, tetapi dihancurkan secara sistematis.
Namun seluruh pelanggaran itu tidak berhenti di sana. Upaya mereduksi wibawa Mahkamah Konstitusi semakin gamblang ketika DPR menetapkan calon tunggal pengganti Hakim Konstitusi Arief Hidayat yakni Innosentitus Samsul yang sebelunya menjabat sebagai kepala badan keahlian DPR.
Penunjukkan ini membuka potensi besar tergerusnya independensi lembaga peradilan konstitusi. Alih-alih menghadirkan sosok independen yang mumpuni dalam bidang hukum dan peradilan, DPR justru memilih menyusupkan orang nya kedalam tubuh MK.
Kontroversi ini kian mencuat setelah permyataan salah satu anggota DPR yang secara terbuka mewanti-wanti agar Innosentitus tidak “menyerang DPR” ketika sudah menjabat sebagai Hakim Konstitusi.
Pernyataan tersebut mengisyaratkan ekspektasi politis yang jelas hakim konstitusi diharapkan tidak membatalkan produk hukum DPR maka dengan mengangkat hakim dari rahimnya sendiri semakin menunjukkan upaya DPR untuk mengendalikan benteng terakhir konstitusi dan mengikis prinsip pemisahan kekusaan
Pelemahan kedaulatan rakyat
Fenomena ini jelas bukan insiden terpisah, melainkan bagian dari pola kemunduran kedaulatan rakyat yan tertuang dalam konstitusi. Seperti diingatkan Levitsky dan Ziblatt dalam How Democracies Die, kedaulatan rakyat tidak mati dengan kudeta, melainkan terkikis perlahan melalui tindakan yang tampak legal.
Namun melemahkan institusi penyeimbang kekuasaan dalam hal ini MK yang sangat aktif peran nya sebagai penyeimbang kekuasaan lewta berbagi putusan nya, secara historis apa yang terjadi di Indonesia memiliki gema yang sama dengan yang terjadi di Hungaria ketika pada masa kepemimpinan Viktor Orbán.
Saat itu, Mahkamah Konstitusi dilemahkan lewat penambahan hakim yang loyalis dengan kekuasaan dan dibatasi kewenangannya sebagai penyeimbang kekuasaan.
Polanya identik yaitu lembaga yang seharusnya menjadi benteng terakhir konstitusi justru dijinakkan lewat regulasi dan manuver politik yang tampak sah secara hukum. Namun hal ini sejatinya adalah strategi konsolidasi kekuasaan untuk meruntuhkan prinsip checks and balances.
Jika pengawal konstitusi berhasil dilumpuhkan, maka yang runtuh bukan hanya independensi peradilan, melainkan fondasi konstitusi itu sendiri. Saat benteng terakhir berubah menjadi perpanjangan tangan kekuasaan, konstitusi hanya tinggal ilusi indah di atas kertas, tetapi hancur dalam praktik.
***
*) Oleh : Muhammad Jundi Fathi Rizky, Mahasiswa Hukum Tata Negara dari UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Peneliti Distrik Institute.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |