https://jakarta.times.co.id/
Opini

Perlunya Transformasi Kebijakan Sistem Pangan Akuatik Dunia

Jumat, 28 November 2025 - 13:46
Perlunya Transformasi Kebijakan Sistem Pangan Akuatik Dunia Boimin, Ph.D., Pengamat Kebijakan Pangan, Menamatkan S3 Ilmu Pangan di University of Massachusetts Amherst, Amerika Serikat, Research Fellow di PKSPL-IPB University.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Dunia perlu melakukan transformasi kebijakan sistem pangan akuatik yang tangguh dan berkelanjutan. Terlebih dengan adanya pemanasan global (global warming) yang berdampak signifikan terhadap keamanan pangan akuatik (aquatic food security). Khususnya, di negara-negara tropis.

Indonesia perlu mengambil peran serius dalam proses transformasi kebijakan sistem pangan akuatik global.

Transformasi kebijakan sistem pangan akuatik perlu disepakati dan dimasukkan ke dalam agenda aksi iklim global. Itu sangat beralasan dan relevan. Sebab regulasi iklim dan keamanan pangan akuatik, erat kaitannya dengan ekosistem perairan.

Kebijakan sistem pangan akuatik yang seimbang, tangguh dan berkelanjutan bisa diwujudkan. Syaratnya, dunia internasional khususnya negara-negara maju mau berperan aktif dan berkomitmen dalam tiga upaya penting.

Pertama, perlindungan mata pencaharian nelayan. Nelayan mata pencahariannya dari menangkap ikan. Ikan tumbuh dan berkembang biak di ekosistem perairan (mangrove, terumbu karang, lamun, dan lahan basah). Jika ekosistem perairan rusak, ikan yang bisa ditangkap sedikit (bahkan tidak ada) dan mata pencaharian nelayan terganggu.

Kerusakan ekosistem perairan, sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, reklamasi pantai untuk pembangunan pusat ekonomi baru; konversi lahan mangrove untuk usaha budidaya ikan (tambak) dan pertambangan; membuang sampah sembarangan (polusi perairan); dan penangkapan ikan yang berlebihan serta merusak lingkungan. 

Negara-negara maju melalui industrilisasi dan investasinya di berbagai bidang memiliki andil besar dalam kerusakan ekosistem perairan. Sehingga, mereka perlu memberikan kontribusinya dalam menjaga ekosistem perairan.

Negara maju perlu memberikan kompensasi ke negara-negara tropis yang menjaga ekosistem perairannya dengan baik. Misalnya, memberikan pendanaan untuk melakukan konservasi ekosistem perairan dan inovasi peningkatan karbon yang tersimpan dalam ekosistem perairan.

Kedua, peningkatan karbon yang tersimpan dalam ekosistem perairan. Beberapa cara bisa ditempuh, antara lain: 1) melindungi dan merestorasi mangrove, lamun, terumbu karang, dan lahan basah pesisir yang dipengaruhi pasang surut air laut; dan 2) mendukung kerangka kerja kredit karbon biru (Blue Carbon Credit Framework), khususnya Pasal 6 yaitu melakukan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi yang serius, serta melakukan perlindungan keanekaragaman hayati dan masyarakat adat.

Selain bisa meningkatkan penyimpanan karbon, ekosistem perairan yang baik juga bisa meningkatkan keamanan pangan akuatik.

Ketiga, peningkatan keamanan pangan akuatik yang seimbang. Restorasi ekosistem perairan berbanding lurus dengan keamanan pangan akuatik. Pelabelan ramah lingkungan (eco-labelling) dan pemberian apresiasi khusus untuk produk pangan akuatik yang berkelanjutan, perlu didorong dan masuk menjadi aksi iklim yang disepakati secara global.

Bill Gates dalam tulisannya, “My Message Ahead of COP30,” tanggal 28 Oktober 2025. Selama puluhan tahun, dunia telah mengukur keberhasilan aksi iklim dari dua parameter utama suhu (berapa derajat) dan emisi (berapa ton karbon). Parameter tersebut penting, namun terkadang tidak menyentuh persoalan kualitas hidup manusia.

Terkadang, dua parameter itu mengecilkan parameter lain yang tak kalah pentingnya—seperti: apakah masyarakat lebih mudah mendapatkan pangan (food access) yang terjangkau (affordable); apakah masyarakat lebih sehat, karena gizinya terpenuhi; dan apakah masyarakat lebih sejahtera.

Kebijakan sistem pangan akuatik seharusnya seimbang tidak hanya menjaga lingkungan (ekosistem perairan), namun juga perlu memperhatikan kualitas hidup manusianya. Sehingga, ide dan inisiatif kebijakan sistem pangan akuatik yang seimbang, tangguh, dan berkelanjutan perlu diperjuangkan.

Ide dan Inisiatif yang Perlu Diperjuangkan 

Beberapa ide dan inisiatif kebijakan sistem pangan akuatik yang perlu diperjuangkan, khususnya oleh negara-negara tropis.

Pertama, perlunya dilakukan evaluasi terhadap sistem pangan akuatik. Solusi berbasis alam (Nature-based Solution (NbS)) dan ketelususran (traceability) produk pangan akuatik perlu diangkat dan mendapatkan perhatian khusus.

Kedua, perlunya inisiatif untuk menyinergikan ketangguhan pangan akuatik dengan aksi iklim melalui “Aquatic Food and Climate Resilience Initiative.” Indonesia bisa menjadi inisiator.

Ketiga, perlunya kebijakan yang mendorong budidaya akuatik yang cerdas dan ramah lingkungan. Misalnya, membangun budidaya ikan yang rendah emisi karena mengintegrasikan mangrove-ikan-rumput laut-kerang (bibalvia); dan meningkatkan ketangguhan dan keunggulan genetik spesies ikan dan rumput laut, sehingga tahan terhadap perubahan suhu dan salinitas serta produktivitasnya tinggi.

Ide dan inisiatif di atas seharusnya bisa mendorong Indonesia dan negara-negara tropis lainnya untuk membentuk koalisi pangan akuatik (Tropical Aquatic Food Coalition (TAFC)). Dimana tujuan TAFC menyuarakan pangan akuatik yang ramah lingkungan dan mendorong proposal pendanaan iklim biru (Blue Climate Fund (BCF)). BCF ini penting untuk membiayai sistem pangan akuatik yang seimbang, tangguh, dan berkelanjutan.

Kesimpulannya, dunia perlu memiliki kebijakan sistem pangan akuatik yang seimbang, tangguh dan berkelanjutan. Indonesia bisa menjadi inisitor, untuk menegosiasikan agar transformasi kebijakan sistem pangan akuatik bisa dibahas dan disepakati secara global.

Dunia perlu melakukan transformasi kebijakan sistem pangan akuatik yang seimbang, tangguh dan berkelanjutan. Terlebih dengan adanya pemanasan global (global warming) yang berdampak signifikan terhadap keamanan pangan akuatik (aquatic food security). Khususnya, di negara-negara tropis.

Indonesia perlu mengambil peran serius dalam proses transformasi kebijakan sistem pangan akuatik global.

Transformasi kebijakan sistem pangan akuatik perlu disepakati dan dimasukkan ke dalam agenda aksi iklim global. Itu sangat beralasan dan relevan. Sebab regulasi iklim dan keamanan pangan akuatik, erat kaitannya dengan ekosistem perairan.

Kebijakan Sistem Pangan 

Kebijakan sistem pangan akuatik yang seimbang, tangguh dan berkelanjutan bisa diwujudkan. Syaratnya, dunia internasional khususnya negara-negara maju mau berperan aktif dan berkomitmen dalam tiga upaya penting.

Pertama, perlindungan mata pencaharian nelayan. Nelayan mata pencahariannya dari menangkap ikan. Ikan tumbuh dan berkembang biak di ekosistem perairan (mangrove, terumbu karang, lamun, dan lahan basah). Jika ekosistem perairan rusak, ikan yang bisa ditangkap sedikit (bahkan tidak ada) dan mata pencaharian nelayan terganggu.

Kerusakan ekosistem perairan, sebagian besar disebabkan oleh aktivitas manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, reklamasi pantai untuk pembangunan pusat ekonomi baru; konversi lahan mangrove untuk usaha budidaya ikan (tambak) dan pertambangan; membuang sampah sembarangan (polusi perairan); dan penangkapan ikan yang berlebihan serta merusak lingkungan. 

Negara-negara maju melalui industrilisasi dan investasinya di berbagai bidang memiliki andil besar dalam kerusakan ekosistem perairan. Sehingga, mereka perlu memberikan kontribusinya dalam menjaga ekosistem perairan.

Negara maju perlu memberikan kompensasi ke negara-negara tropis yang menjaga ekosistem perairannya dengan baik. Misalnya, memberikan pendanaan untuk melakukan konservasi ekosistem perairan dan inovasi peningkatan karbon yang tersimpan dalam ekosistem perairan.

Kedua, peningkatan karbon yang tersimpan dalam ekosistem perairan. Beberapa cara bisa ditempuh, antara lain: 1) melindungi dan merestorasi mangrove, lamun, terumbu karang, dan lahan basah pesisir yang dipengaruhi pasang surut air laut; dan 2) mendukung kerangka kerja kredit karbon biru (Blue Carbon Credit Framework), khususnya Pasal 6 yaitu melakukan pengukuran, pelaporan, dan verifikasi yang serius, serta melakukan perlindungan keanekaragaman hayati dan masyarakat adat.

Selain bisa meningkatkan penyimpanan karbon, ekosistem perairan yang baik juga bisa meningkatkan keamanan pangan akuatik.

Ketiga, peningkatan keamanan pangan akuatik yang seimbang. Restorasi ekosistem perairan berbanding lurus dengan keamanan pangan akuatik. Pelabelan ramah lingkungan (eco-labelling) dan pemberian apresiasi khusus untuk produk pangan akuatik yang berkelanjutan, perlu didorong dan masuk menjadi aksi iklim yang disepakati secara global.

Bill Gates dalam tulisannya, “My Message Ahead of COP30,” tanggal 28 Oktober 2025. Selama puluhan tahun, dunia telah mengukur keberhasilan aksi iklim dari dua parameter utama suhu (berapa derajat) dan emisi (berapa ton karbon). Parameter tersebut penting, namun terkadang tidak menyentuh persoalan kualitas hidup manusia.

Terkadang, dua parameter itu mengecilkan parameter lain yang tak kalah pentingnya seperti: apakah masyarakat lebih mudah mendapatkan pangan (food access) yang terjangkau (affordable); apakah masyarakat lebih sehat, karena gizinya terpenuhi; dan apakah masyarakat lebih sejahtera.

Kebijakan sistem pangan akuatik seharusnya seimbang tidak hanya menjaga lingkungan (ekosistem perairan), namun juga perlu memperhatikan kualitas hidup manusianya. Sehingga, ide dan inisiatif kebijakan sistem pangan akuatik yang seimbang, tangguh, dan berkelanjutan perlu diperjuangkan.

Ide dan Inisiatif yang Perlu Diperjuangkan 

Beberapa ide dan inisiatif kebijakan sistem pangan akuatik yang perlu diperjuangkan, khususnya oleh negara-negara tropis.

Pertama, perlunya dilakukan evaluasi terhadap sistem pangan akuatik. Solusi berbasis alam (Nature-based Solution (NbS)) dan ketelususran (traceability) produk pangan akuatik perlu diangkat dan mendapatkan perhatian khusus.

Kedua, perlunya inisiatif untuk menyinergikan ketangguhan pangan akuatik dengan aksi iklim melalui “Aquatic Food and Climate Resilience Initiative.” Indonesia bisa menjadi inisiator.

Ketiga, perlunya kebijakan yang mendorong budidaya akuatik yang cerdas dan ramah lingkungan. Misalnya, membangun budidaya ikan yang rendah emisi karena mengintegrasikan mangrove-ikan-rumput laut-kerang (bibalvia); dan meningkatkan ketangguhan dan keunggulan genetik spesies ikan dan rumput laut, sehingga tahan terhadap perubahan suhu dan salinitas serta produktivitasnya tinggi.

Ide dan inisiatif di atas seharusnya bisa mendorong Indonesia dan negara-negara tropis lainnya untuk membentuk koalisi pangan akuatik (Tropical Aquatic Food Coalition (TAFC)). Dimana tujuan TAFC menyuarakan pangan akuatik yang ramah lingkungan dan mendorong proposal pendanaan iklim biru (Blue Climate Fund (BCF)). BCF ini penting untuk membiayai sistem pangan akuatik yang seimbang, tangguh, dan berkelanjutan.

Dunia perlu melakukan transformasi kebijakan sistem pangan akuatik yang seimbang, tangguh dan berkelanjutan. Indonesia bisa menjadi inisitor, untuk menegosiasikan agar transformasi kebijakan sistem pangan akuatik itu bisa dibahas dan disepakati secara global. (*)

***

*) Oleh : Boimin, Ph.D., Pengamat Kebijakan Pangan, Menamatkan S3 Ilmu Pangan di University of Massachusetts Amherst, Amerika Serikat, Research Fellow di PKSPL-IPB University.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.