TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di era digital, dakwah menjadi ruang bebas tanpa batas dan menjadikan paltform digital menjadi mimbar dan panggung bagi para pendakwah. Namun, semakin luas dan bebasnya akses, semakin besar pula tanggung jawab moral yang harus dipikul oleh Pendakwah. Jangan sampai dakwah kehilangan marwah dan moralitas tanpa arah.
Ironisnya, yang sering kita lihat di ruang digital justru sebaliknya, tindakan konyol yang viral, lontaran candaan yang mencemooh, hingga perilaku yang jauh dari nilai-nilai Islam. Ruang digital yang seharusnya dipenuhi cahaya ilmu, menjadi ruang inspirasi dan jernih, tapi malah keruh oleh konten-konten yang memalukan.
Pendakwah yang menghiasi ruang-ruang digital harusnya memberikan keteduhan bukan kegaduhan, memberikan inspirasi bukan caci-maki, memberikan wawasan ilmu pengetahuan bukan sekedar hiburan, memberikan kedamaian bukan kerusuhan, memberikan perubahan bukan angan-angan.
Fenomena pendakwah yang menjadikan candaan sebagai bumbu ceramah sebenarnya bukan hal baru. Namun ketika candaan itu berubah menjadi alat untuk merendahkan orang lain, persoalannya menjadi serius. Netizen lalu bereaksi dan mem-viral-kan.
Beberapa ustadz, dengan gaya satir dan cemoohan yang dibalut humor, sering kali membuat sebagian netizen geram. Apa yang dianggap “guyonan ringan” oleh sang pendakwah tidak selalu diterima sama oleh jamaah digital.
Di dunia maya, pesan bisa ditangkap secara berbeda, bahkan konten yang masuk ke ruang digital bisa di download dan disebar kembali oleh Netizen dan jamaah digital. Saat ini, penggunaan internet di Indonesia semakin meningkat mencapai 98.7 persen menurut laporan Digital Global Overview Report tahun 2025. Usia 16 tahun sudah mengakses dan menghiasi ruang digital melalui ponsel mereka. Orang Indonesia sehari bisa menghabis waktu 7 jam 22 menit mengakses internet.
Melihat data diatas, setiap konten bisa jadi akan cepat viral. Jika sekali upload tanpa di cek seksama, akan menjadi penyesalan dikemudian hari dan menjadi rekam jejak digital nan abadi. Jika satu konten saja bisa mencederai, maka citra dakwah dan marwah pendakwah pun tercorengi.
Kasus moralitas Pendakwah di ruang digital cukup menjadi perhatian masyarakat. Cerminan keteladanan mulai terkikis karena ketidaksesuaian antara perkataan dan perbuatan. Ada saja jamaah yang merekam dengan ponsel dan meng-upload video di ruang digital. Munculnya podcast di ruang digital menjadi ajang melapor dari segala permasalahan sehingga ter-ekspos ke jagat media sosial.
Munculnya kasus pendakwah muda dari Kediri seperti Gus Elham Yahya menjadi sorotan publik. Dalam sebuah video lama yang kembali muncul, ia terekam mencium anak perempuan di bawah umur saat berceramah. Tindakan tersebut memicu kemarahan publik dan memunculkan reaksi keras di ruang digital.
Para aktivis perlindungan anak, termasuk KPAI, serta tokoh-tokoh PBNU dan Kementerian Agama, mengecamnya sebagai bentuk pelecehan yang tidak pantas dilakukan oleh seorang pendakwah. Apalagi dilakukan di atas panggung, direkam, dan dipublikasikan. Ini bukan saja soal moral, tetapi juga marwah terhadap martabat dakwah.
Harusnya, kasus yang dialami Gus Miftah menjadi pelajaran bagi pendakwah lainnya. Ia dikenal sebagai pendakwah dengan gaya jenaka dan komunikatif. Namun tidak semua orang mampu menerima candaan seperti itu. Ketika sebuah kontennya dinilai berlebihan dan merendahkan, bisa berdampak pada citra dakwah dan netizen langsung mem-viralkan di ruang digital.
Meskipun beliau sudah meminta maaf dan bertaubat, rekam jejak digital tidak pernah benar-benar hilang. Netizen bisa menyimpan dan meng-upload video tersebut berulang kali di ruang digital. Masa lalu tidak dapat dikubur dan dipendam, tetapi abadi dalam arsip algoritma.
Fenomena ini menegaskan bahwa problem moralitas pendakwah bukan sekadar perilaku impulsif, tetapi menyangkut integritas dan mentalitas. Atribut agama tidak menjamin kesalehan jika tidak disertai akhlak yang matang.
Semua ini menunjukkan satu hal, sebagai pendakwah harus lebih berhati-hati. Setiap ceramah yang disampaikan di depan publik, apalagi direkam lalu diunggah ke media sosial, harus dipertimbangkan dengan seksama akan dampak yang ditimbulkan.
Pendakwah sejatinya adalah teladan, pembawa ketenangan, dan penjaga akhlak. Dakwah adalah tugas suci para nabi yang disampaikan dengan hikmah, nasihat yang baik, dan kasih sayang. Suksesnya pendakwah itu bukan saja banyak jumlah penonton, like, subscribe, dan viralitas. Ukuran keberhasilan dakwah itu perubahan yang positif dan semakin dekat kepada Allah SWT.
Ujian dakwah pada masa Rasulullah SAW ke Thaif “dihujani” batu hingga beliau berdarah. Diludahi dan dilempari kotoran hal yang bisa dialami. Namun tidak sekali pun Rasulullah membalas dengan kebencian. Beliau justru memaafkan, mendoakan, dan membalas dengan akhlak mulia. Itulah dakwah yang memancarkan rahmat, dakwah yang membangun, bukan merendahkan.
KH. Miftachul Akhyar, Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2020–2025, pernah mengingatkan bahwa dakwah itu “Merangkul, bukan memukul, mendidik bukan membidik, menyayangi bukan menyaingi, mencari solusi, bukan mencari simpati, membina bukan menghina, membela bukan mencela.” Pesan beliau sangat relevan di tengah derasnya konten dakwah yang lebih menampilkan sensasi daripada substansi.
Indonesia memiliki kebebasan dakwah yang luar biasa luas jika dibandingkan dengan negara-negara lain. Kemudahan ini seharusnya disyukuri, bukan disalahgunakan, apalagi hingga saling menjatuhkan dan merendahkan orang lain.
KH. Marsudi Syuhud pernah mengatakan ke para pendakwah dalam program Standardisasi Da’i MUI, bahwa pendakwah harus memiliki kompetensi, etika, dan moralitas yang kuat sebelum mengisi ruang publik dan ruang digital. Pendakwah bisa mengisi ruang-ruang digital yang kosong dengan dakwah yang inspiratif dan mencerdaskan.
Kita harus menyadari bahwa ruang digital memiliki rekam jejak yang kekal dan sulit dihapus. Segala ucapan dan perbuatan akan terus hidup di ruang digital dan menjadi saksi moral yang kelak dipertanggungjawabkan.
Karena itu, marilah kita saling mengingatkan agar bisa menjaga marwah dan moralitas pendakwah di ruang digital. Jangan hanya mengejar viral, tetapi kejar keberkahan. Jangan hanya mencari penonton, tetapi cari ridha Allah. Sebab, apa yang viral belum tentu bernilai, dan apa yang bernilai kadang tidak butuh viral. (*)
***
*) Oleh : Deni Darmawan, Da’I MUI DKI Jakarta dan Penerima Hibah Penelitian Moderasi Beragama Kemenag RI.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |