TIMES JAKARTA, JAKARTA – Hanya dengan beberapa baris perintah teks, sebuah video ultra-realistis yang menampilkan lanskap kota futuristik atau peristiwa yang tak pernah terjadi, kini dapat tercipta dalam hitungan detik. Teknologi seperti Sora dari OpenAI dan Veo dari Google telah mengubah fiksi menjadi kenyataan sehari-hari.
Kemampuan Prompt AI untuk menghasilkan video secara instan ini menandai sebuah lompatan kuantum dalam evolusi kecerdasan buatan. Namun, di balik kemegahan inovasi ini, tersembunyi sebuah kotak Pandora yang berpotensi melepaskan kekacauan digital dalam skala yang belum pernah kita bayangkan.
Era di mana mata tak lagi bisa dipercaya telah tiba, dan ini menuntut kita untuk mendefinisikan ulang masa depan industri digital.
Realitas di Balik Ledakan Konten Sintesis
Kemudahan dalam menciptakan video realistis ini berjalan paralel dengan fenomena yang lebih dulu meresahkan: deepfake. Jika sebelumnya pembuatan deepfake memerlukan keahlian teknis dan waktu yang signifikan, AI generatif kini mendemokratisasikannya. Siapapun dengan akses internet dapat menjadi produsen konten sintetis.
Data menunjukkan tren yang mengkhawatirkan. Analisis dari berbagai firma keamanan siber dan riset akademis mengestimasi pertumbuhan eksponensial. Menurut laporan dari Sensity AI (sebelumnya Deeptrace), jumlah video deepfake online telah meningkat secara dramatis.
Jika kita melihat data dari tahun 2019, di mana video deepfake baru mulai menjadi perhatian publik, jumlahnya hanya sekitar 15.000. Laporan dan analisis tren hingga akhir 2024 dan proyeksi untuk 2025 menunjukkan bahwa angka ini telah meledak, dengan peningkatan lebih dari 550% dalam volume konten yang terdeteksi di platform terbuka, belum termasuk yang beredar di jaringan tertutup.
Fenomena ini terjadi di tengah lanskap digital yang sangat subur. Per Juni 2025, data global dari We Are Social dan Meltwater dalam laporan "Digital 2025" (proyeksi berdasarkan tren terkini) menunjukkan lebih dari 5,4 miliar orang atau sekitar 67% populasi dunia adalah pengguna internet.
Di Indonesia, berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), penetrasi internet telah mencapai lebih dari 220 juta jiwa, dengan rata-rata penggunaan harian melebihi 7 jam. Ini adalah audiens masif yang siap mengonsumsi dan kini, memproduksi konten digital, baik asli maupun palsu.
Inovasi dan Anarki
Tidak adil jika kita hanya memandang teknologi ini dari sisi negatif. Manfaat positif dari prompt AI sangatlah besar. Pertama, Demokratisasi Kreativitas: Seniman independen, sineas pemula, dan kreator konten kini dapat merealisasikan visi mereka tanpa memerlukan budget produksi yang masif untuk efek visual (VFX).
Kedua, Efisiensi Industri: Studio film dapat membuat pre-visualization adegan kompleks dalam hitungan menit, bukan minggu. Industri periklanan dapat menghasilkan prototipe kampanye dengan cepat.
Ketiga, Pendidikan dan Pelatihan: Simulasi historis, visualisasi konsep ilmiah yang rumit, atau skenario pelatihan medis dapat dibuat dengan lebih imersif dan terjangkau.
Namun, di balik setiap kemudahan, terdapat potensi penyalahgunaan yang mengerikan, seperti halnya Disinformasi dan Propaganda Politik: Video deepfake dari tokoh politik yang mengucapkan ujaran kebencian atau mengumumkan kebijakan palsu dapat memicu kekacauan sosial dan mengikis demokrasi.
Kemudian Penipuan dan Kejahatan Finansial: Deepfake suara dan video dapat digunakan untuk meniru orang terdekat, meminta transfer uang, atau bahkan otorisasi akses ke data sensitif perusahaan.
Selanjutnya Pelecehan dan Eksploitasi: Penggunaan terbesar deepfake hingga saat ini, sayangnya, adalah dalam pembuatan konten pornografi non-konsensual, yang menargetkan individu, terutama perempuan, untuk tujuan pelecehan dan pemerasan.
Terakhir yaitu Erosi Kepercayaan: Ancaman terbesar adalah "infocalypse" sebuah kondisi di mana masyarakat tidak lagi bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang palsu, menyebabkan erosi kepercayaan fundamental terhadap media, pemerintah, dan bahkan realitas itu sendiri.
Guncangan di Industri Kreatif
Bagi industri perfilman dan kreator konten, AI generatif adalah disrupsi total. Di satu sisi, ia menjanjikan efisiensi. Di sisi lain, ia mengancam profesi. Aktor dapat kehilangan hak atas citra digital mereka, dan seniman VFX mungkin tergantikan oleh AI. Isu hak cipta menjadi sangat kompleks, siapa pemilik karya yang dihasilkan oleh AI? Jawabannya adalah pengguna yang menulis prompt.
Para pemimpin teknologi dunia pun berbeda pendapat. Sam Altman, CEO OpenAI, melihatnya sebagai alat pemberdayaan kreativitas manusia. Namun, para "Godfather of AI" seperti Geoffrey Hinton telah memperingatkan tentang bahaya eksistensial dari AI yang tidak terkendali.
Dalam dunia akademis, karya seperti buku "The Age of AI: And Our Human Future" oleh Henry Kissinger, Eric Schmidt, dan Daniel Huttenlocher, menekankan perlunya kerangka kerja etis dan filosofis baru untuk menavigasi era ini.
Kemudian filsuf Yuval Noah Harari, dalam karyanya "21 Lessons for the 21st Century" (2018), memperingatkan bahwa kemampuan meretas manusia termasuk persepsi kita tentang realitas adalah salah satu tantangan terbesar abad ini.
Pandangan ini diperkuat dalam buku "The Age of Surveillance Capitalism" yang ditulis Shoshana Zuboff (2019), yang menjelaskan bagaimana realitas kita dimanipulasi untuk kepentingan komersial dan kekuasaan.
Bagaimana Industri Digital Seharusnya Bekerja?
Masa depan industri digital tidak bisa diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar atau inovasi teknologi semata. Sebuah ekosistem yang bertanggung jawab harus dibangun di atas tiga pilar utama.
Pertama, Pengembang Teknologi: Perusahaan AI harus secara proaktif menerapkan ethical guardrails dalam pengembangan model mereka. Ini termasuk membangun teknologi watermarking yang kuat dan sulit dihilangkan untuk setiap konten sintetis, serta menyediakan alat deteksi yang andal bagi publik.
Kedua, Regulator (Pemerintah): Regulasi harus gesit (agile). Daripada melarang teknologi, pemerintah harus fokus pada penghukuman penyalahgunaannya. Undang-undang terkait pencemaran nama baik, penipuan, dan penyebaran berita bohong harus diperbarui untuk mencakup era konten sintetis ini.
Terakhir yaitu Masyarakat (Pengguna): Edukasi untuk berpikir kritis untuk selalu mempertanyakan sumber dan keaslian konten sebelum membagikannya adalah modal dasar. Masyarakat harus dibekali kemampuan untuk mengenali ciri-ciri konten AI dan memahami implikasinya.
Pada akhirnya, gelombang teknologi ini tidak bisa dibendung. Ia akan mengubah cara kita bekerja, berkreasi, dan berinteraksi. Solusinya terletak pada keseimbangan antara inovasi yang berani dan regulasi yang bijaksana, didukung oleh masyarakat yang cerdas secara digital.
Ini menyisakan sebuah pertanyaan besar bagi Indonesia. Dengan bonus demografi dan adopsi digital yang meroket, siapkah kita membangun benteng digital melalui regulasi cerdas dan masyarakat yang kritis untuk melindungi tatanan sosial dan demokrasi kita?
Ataukah kita akan membiarkan diri kita terombang-ambing dalam gelombang realitas sintetis yang tak terkendali, di mana kebenaran menjadi komoditas langka? Sejatinya masa depan tidak menunggu, ia sedang kita ciptakan hari ini.
***
*) Oleh : Ali Mursyid Azisi, M.Ag., Founder The Indonesian Foresight Research Institute (IFRI).
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |