TIMES JAKARTA, JAKARTA – Selama ini kita kurang begitu percaya diri dengan kebudayaan yang telah ditinggalkan oleh para leluhur kita. Apa yang kita lakukan saat ini, rujukan yang kita ambil, dan tokoh penting yang menjadi inspirasi hidup kita, adalah tradisi dan tokoh dari kebudayaan lain.
Bahkan, kita melihat bejibun generasi muda kita yang silau dengan fashion, bahasa, hingga pandangan hidup (worldview) dari budaya lain. Barat, misalnya. Fenomena semacam ini sudah menjadi keniscayaan sejak globalisasi-modernisasi bergulir dan merebak ke belahan dunia, tak terkecuali bangsa kita.
Walhasil, orang Jawa sudah mulai kehilangan Jawa-nya. Orang Minang sudah mulai terkikis Minang-nya. Dan orang Using sudah mulai mengalami kemerosotan Using-nya. Oleh karena itu, kita perlu membaca kembali tradisi-kebudayaan di mana kita dilahirkan sebagai upaya untuk meng-counter cara berpikir dan pola hidup yang saat ini menjalar sampai ke sum-sum kehidupan kita: Barat.
Demikian urgen dilakukan, karena jika bukan kita yang nguri-nguri (menghidupkan) tradisi dan kebijaksanaan lokal (local wisdom) leluhur, lantas siapa lagi?
Sebagai orang Banyuwangi, kita juga memiliki tanggung jawab untuk merevitalisasi khazanah “Blambangan” yang tampaknya lambat laun meredup. Padahal, dalam catatan sejarah, Kerajaan Blambangan meninggalkan seabrek warisan (legacy) yang perlu kita lestarikan, baik dari sisi pemikiran, gerakan, maupun dari sisi spirit dan nilai-nilai luhur.
Hal ini dapat kita lakukan secara individual atau kolektif. Salah satu cara agar kebudayaan kita tetap “hidup” ialah, meletakkan tokoh atau martir Blambangan sebagai sosok yang layak diteladani. Utamanya bagi generasi kita saat ini.
Kerap kali kita mendengar, bahwa perempuan adalah “ibu” peradaban, perempuan adalah “sekolah” pertama, dan perempuan adalah tiang negara. Tapi, sepertinya kita “gagal” meletakkan para perempuan yang memiliki andil besar di panggung sejarah Blambangan kepada generasi kita untuk dijadikan suri tauladan.
Paling banter, saat menyebut tokoh perempuan yang berperan penting dalam sejarah, nama Sayu Wiwit-lah yang ada di benak generasi kita. Namun, mengenai spirit dan nilai yang ditinggalkan Sayu Wiwit kepada generasi perempuan kita, tampak luput dari pembacaan mereka. Masalah ini, bukan hanya tugas pemerintah, tapi benar-benar menjadi tugas kita bersama.
Perempuan-Perempuan Blambangan
Selain nama Sayu Wiwit yang ikut memperjuangkan tanah Blambangan dari penjajahan Kompeni (VOC) bersama Rempeg Jagapati dalam Puputan Bayu (1771-1773), sebenarnya ada beberapa nama perempuan yang juga dapat kita jadikan uswah.
Misalnya, dalam Babad Blambangan (BR. 384), terdapat Mas Ayu Tunjungsari, Mas Ayu Melok, dan Mas Ayu Gringsing. Mereka ini adalah saudara kandung Prabu Tawang Alun, Raja Kedhawung II. Kerajaan Kedhawung ini didirikan oleh ayah mereka, Raja Kedhawung I, yang bernama: Mas Tanpa Una.
Setelah Mas Tanpa Una wafat, Mas Tawang Alun naik tahta. Empat tahun berselang, fitnah tentang kepemimpinan Tawang Alun menyeruak. Sehingga hal itu membuat Prabu Tawang Alun meletakkan “mahkota” kerajaan, dan memberikannya ke Mas Wila, adiknya. Dan Mas Ayu Tunjungsari menjadi Patih.
Tak hanya menjadi Patih, Mas Ayu Tunjungsari (dikenal juga dengan nama Tunjungsekar) juga pernah menjadi panglima perang saat ngluruk (menyerang) Bayu karena ambisi Raja Kedhawung III, Mas Wila. Ia dengan berani memimpin empat ribu prajurit untuk menyerang rakyat Bayu. Singkat cerita, ia gugur di medan perang. Kisah peperangan ini juga bisa kita baca dalam Babad Tawangalun.
Selain Mas Ayu Tunjungsari, ada Mas Ayu Melok dan Mas Ayu Gringsing Ratna. Mereka berdua ini memimpin Kerajaan Kedhawung. Mas Ayu Melok dinobatkan sebagai Raja Kedhawung dengan gelar Pangeran Prabu, sementara Mas Ayu Gringsing menjadi Patih.
Beberapa riwayat menyebut, mereka berdua memimpin Kedhawung selama: dua tahun, dua setengah tahun, dan satu tahun setengah. Terlepas dari masa kepemimpinan ini, hal yang perlu kita garisbawahi adalah: pernah ada dua “perempuan” yang memimpin Kerajaan Blambangan. Demikian penting diketahui oleh generasi kita, terutama para perempuan, untuk bahan refleksi mereka.
Tokoh perempuan seperti Mas Ayu Wiwit, Mas Ayu Tunjungsari, Mas Ayu Melok, dan Mas Ayu Gringsing itu bisa kita anggap sebagai representasi “perempuan Blambangan”. Sehingga, kita dapat mempelajari uswah (teladan) yang mereka wariskan kepada kita, dan untuk kita aktualisasikan dalam konteks kekinian. Terutama, bagi generasi perempuan kita yang berada di ujung timur Pulau Jawa ini.
Meneladani Spirit, Merawat Tradisi
Di zaman yang nyaris serba digital ini, kita melihat ada degradasi pemahaman kebudayaan. Kita sering melihat masyarakat sedang keranjingan budaya lain, mengidolakan orang lain, dan takjub dengan pandangan hidup bangsa lain.
Apalagi, dengan keberadaan gadget saat ini, kita dapat mengakses dan mendapatkan informasi dari pelosok negeri nan jauh di sana. Sekali klik, langsung muncul seabrek informasi dari berbagai sumber. Demikianlah zaman bergulir. Ia memang telah dan (akan) terus berubah.
Agar tidak terseret dan tenggelam ke dasar air kehidupan, seyogianya kita tetap memegang teguh spirit dan nilai yang telah diwariskan oleh pendahulu kita. Dalam konteks ini, adalah apa yang telah ditinggalkan oleh perempuan-perempuan Blambangan di atas. Membaca catatan sejarah itu, kita dapat meneladani spirit dan nilai yang telah mereka torehkan, antara lain:
Pertama, keberanian. Dalam menjalani hidup, niscaya kita akan dihadapkan pada tantangan. Dan untuk mengadapi tantangan dan berbagai masalah itu, perlu keberanian. Sebab dengan sikap berani, kita dapat mengatasi semua masalah yang kita hadapi.
Kedua, memupuk jiwa kepemimpinan. Sudah mafhum, bahwa kita hidup selalu berdampingan dengan orang lain. Bahkan, kita hidup di tengah pluralitas suku, bahasa, dan agama. Oleh karenanya, kita perlu memupuk jiwa kepemimpinan (leadership) dalam diri kita untuk menjadi pribadi yang kompeten, dapat bertanggung jawab, dan memiliki kepedulian yang tinggi terhadap sesama.
Ketiga, tidak pantang menyerah. Sebagaimana yang dilakukan tokoh perempuan dalam sejarah Blambangan, mereka memberikan teladan pantang putus asa, pantang menyerah, dalam situasi dan kondisi apa pun. Dengan senantiasa berjuang, kecil kemungkinan kita mengalami kegagalan.
Keempat, mencintai tanah air. Dengan mencintai tanah air, atau tempat di mana kita dilahirkan, adalah salah satu manifestasi syukur yang paling utama. Lebih jauh, kalau cara kita mencintai Banyuwangi, misalnya, dengan melahirkan gagasan, melakukan gerakan sosial, dan menghidupkan tradisi melalui komunitas-komunitas tertentu.
Setidaknya hal tersebut yang dapat kita teladani dari tokoh perempuan Blambangan. Dengan meneladani spirit mereka, dan terus mempelajari khazanah pemikiran, sejarah, dan tradisi, berarti kita ikut andil dalam pelestarian budaya di Bumi Blambangan. Sebab, jika bukan kita, siapa lagi?
***
*) Oleh : Dendy Wahyu Anugrah, Penulis Buku Islam Blambangan-Islam Pembebasan 2025.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |