TIMES JAKARTA, BONDOWOSO – Andai Ramadan lebih lama, mungkin hati kita akan tetap lembut dalam doa yang khusyuk, tidak mudah tergerus oleh kesibukan dunia. Masjid-masjid tetap ramai, bukan hanya di awal bulan, tetapi hingga akhir, bahkan setelahnya.
Suara lantunan ayat suci Al-Qur’an tidak hanya menggema di malam-malam ganjil, tetapi menjadi bagian dari rutinitas harian yang terus terjaga. Kita menjadi lebih dekat dengan Allah, merasakan kedamaian yang sulit ditemukan di bulan-bulan lainnya.
Andai Ramadan lebih lama, mungkin kita akan lebih terbiasa menahan diri-bukan hanya dari lapar dan haus, tetapi juga dari amarah, prasangka buruk, dan perkataan sia-sia. Kita belajar menakar kebutuhan, tidak sekadar memenuhi keinginan.
Kita terbiasa dengan hidup sederhana, menyadari bahwa banyak hal yang kita anggap penting ternyata tidak selalu diperlukan. Makan sahur dan berbuka yang sederhana mengajarkan kita bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari kemewahan, tetapi dari keberkahan yang menyertainya.
Andai Ramadan lebih lama, mungkin sedekah dan kepedulian tidak lagi menjadi rutinitas musiman. Kepedulian terhadap mereka yang kurang beruntung menjadi bagian dari keseharian, bukan hanya karena ingin mengejar pahala berlipat ganda di bulan suci. Kita akan semakin peka terhadap penderitaan orang lain, lebih ringan tangan dalam membantu, dan lebih tulus dalam berbagi.
Bayangkan jika semangat memberi yang kita tunjukkan di bulan Ramadan bisa terus bertahan sepanjang tahun. Betapa indahnya dunia ini jika keikhlasan menjadi kebiasaan, bukan sekadar euforia sesaat.
Andai Ramadan lebih lama, kita diajarkan makna perjuangan dan istiqamah. Kita diuji untuk mempertahankan kebiasaan baik di luar Ramadan, menjadikannya bagian dari kehidupan, bukan sekadar ritual tahunan.
Mungkin kita tidak akan lagi merasakan kerinduan yang mendalam setiap tahunnya. Mungkin kita akan mulai merasa jenuh dan kehilangan semangat yang khas di bulan suci ini. Justru dengan keterbatasannya, Ramadhan menjadi istimewa.
Ramadan adalah madrasah ruhani yang melatih kita menjadi pribadi yang lebih baik. Andai Ramadan lebih lama, kita belajar menahan diri, menata hati, memperbaiki lisan, dan memperbanyak ibadah.
Kita diajarkan untuk lebih bersabar, lebih sabar dalam menghadapi ujian, lebih sabar dalam menanti jawaban doa, dan lebih sabar dalam menerima ketentuan-Nya. Mungkin kita akan semakin terbiasa dengan ibadah-ibadah tersebut, tetapi justru kehilangan tantangan untuk terus memperjuangkannya di luar bulan suci.
Bukan soal meminta Ramadan lebih lama, tetapi bagaimana kita membawa semangatnya lebih jauh-melewati Syawal, Dzulqa’dah, hingga bulan-bulan berikutnya. Agar cahaya Ramadan tak hanya bersinar di bulan suci, tetapi menerangi hari-hari kita sepanjang tahun.
Ibadah yang kita jalankan di bulan Ramadan hendaknya menjadi awal dari perubahan yang lebih besar dalam diri kita. Jika kita bisa melawan hawa nafsu selama sebulan penuh, mengapa kita tidak bisa melakukannya di bulan-bulan lainnya? Jika kita bisa memperbanyak ibadah dan menjaga shalat berjamaah selama Ramadan, mengapa harus berhenti setelahnya?
Ramadan adalah pengingat bahwa kita memiliki potensi untuk menjadi lebih baik. Jika di bulan Ramadan kita bisa mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak bermanfaat, mengapa setelahnya kita kembali terjebak dalam kebiasaan lama?
Jika selama Ramadan kita mampu meluangkan waktu untuk Al-Qur’an, mengapa setelahnya kita sering beralasan sibuk? Semua kebaikan yang kita lakukan di bulan Ramadhan bukan sekadar kewajiban sementara, tetapi investasi bagi kehidupan kita di dunia dan akhirat.
Andai Ramadan lebih lama, mungkin kita akan lebih terbiasa berdoa dan meminta ampunan. Kita tidak akan menunda-nunda taubat karena merasa masih ada waktu. Kita akan semakin sadar bahwa kehidupan ini fana dan setiap detik yang kita lalui adalah kesempatan untuk memperbaiki diri.
Karena Ramadan hanya sebentar, kita didorong untuk memanfaatkan waktu yang ada sebaik mungkin. Setiap ibadah yang kita lakukan memiliki nilai yang lebih besar, karena kita tahu waktu ini sangat berharga.
Setelah Ramadan berlalu, bukan berarti semangat ibadah juga ikut pergi. Justru di situlah ujian sesungguhnya dimulai. Mampukah kita tetap menjaga shalat tahajud meskipun tanpa dorongan suasana Ramadan?
Mampukah kita tetap bersedekah meskipun tidak ada janji pahala berlipat ganda seperti di bulan suci? Mampukah kita tetap membaca Al-Qur’an setiap hari meskipun tidak ada target khatam dalam waktu singkat? Inilah tantangan yang sebenarnya.
Andai Ramadan lebih lama, itu bukanlah jaminan kita akan lebih baik. Yang lebih penting adalah bagaimana kita menjadikan setiap bulan seolah-olah Ramadan masih menyertai kita.
Bagaimana kita bisa terus menjaga semangat ibadah, keikhlasan, kesabaran, dan kebaikan yang telah kita latih selama Ramadan. Karena sejatinya, Ramadan adalah kesempatan untuk melatih diri, bukan hanya untuk satu bulan, tetapi untuk sepanjang hayat.
***
*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMP Negeri 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional Literasi Baca-Tulis.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |