TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kota sering kali dinilai dari seberapa megah gedung-gedungnya, lebar jalan rayanya, dan seberapa modern fasilitas publik yang tersedia. Padahal, di balik kokohnya infrastruktur fisik itu, ada jenis infrastruktur lain yang tak kalah penting, yakni jejaring sosial antarwarga yang menopang kehidupan kota, terutama pada saat ketimpangan dan krisis terjadi di kawasan kampung perkotaan.
Peneliti Abdou Maliq Simone (2014) menyebutnya sebagai people as infrastructure. Gagasan ini menjelaskan bagaimana kota-kota di Global South bertahan bukan karena kekuatan infrastruktur fisiknya, tetapi karena kapasitas sosial warganya.
Lebih lanjut, Simone menggambarkan bahwa dalam situasi urban yang kompleks dan serba terbatas, warga kota membangun hubungan yang cair antara aktivitas ekonomi, institusi, pengetahuan, dan sumber daya untuk saling menguatkan dan bertahan.
Pemaknaan atas infrastruktur menjadi lebih luas dan tidak hanya disandarkan pada infrastruktur fisik. Simone menyebut people as infrastructure sebagai proses pertautan antarindividu yang memungkinkan terjadinya transaksi sosial, kolaborasi, dan kelangsungan hidup, bahkan dengan sumber daya yang sangat terbatas.
Jika kita menengok kampung-kampung kota di Indonesia, maka konsep people as infrastructure menemukan relevansinya. Di berbagai kampung kota, warga saling mengenal satu dengan lainnya, bergotong royong, dan saling membantu.
Hal ini memungkinkan mereka bertahan dalam kondisi ekonomi yang rapuh, di saat ruang tinggal kian menyempit akibat ekspansi pembangunan. Kampung hadir sebagai simpul infrastruktur sosial yang menjaga kota tetap bernapas.
Solidaritas Perempuan Kampung Menjaga Kota
Di Yogyakarta, kehidupan semacam itu masih bertahan di sepanjang bantaran Sungai Gajahwong dan Winongo. Di kawasan yang keamanan bermukimnya masih rentan, sekelompok ibu rumah tangga membangun solidaritas bersama.
Mereka tergabung dalam Paguyuban Kalijawi, sebuah komunitas yang sebagian besar anggotanya adalah perempuan yang tinggal di kawasan permukiman informal. Mereka secara bersama-sama memikirkan bagaimana kampung mereka bisa bertahan dan berkembang.
Di tengah deretan rumah sempit yang berdempetan dengan aliran sungai, hidup komunitas kampung yang terus menjaga ruang hidupnya di tengah ancaman penggusuran dan bencana. Komunitas perempuan bantaran sungai ini telah membangun solidaritas sosial sejak 2014.
Keberadaan Kalijawi lahir dari kegelisahan bersama para ibu rumah tangga yang sehari-hari berjualan di pasar, menjadi buruh cuci, pemulung, hingga pedagang asongan.
Mereka menyadari bahwa kehidupan di kampung penuh ketidakpastian, maka anggota Kalijawi harus menciptakan sistem pendukung sendiri. Salah satu strategi yang mereka lakukan adalah menabung.
Setiap hari, para anggota menyisihkan uang dua ribu rupiah untuk ditabung. Beranggotakan 230 kepala keluarga, Kalijawi mengumpulkan dana tersebut hingga saat ini telah tumbuh lebih dari Rp1,2 miliar.
Dana ini digunakan untuk berbagai keperluan, seperti membangun balai komunitas, memperbaiki jalan kampung, membayar biaya sekolah, merenovasi rumah, hingga menutup biaya pemakaman.
Selain menabung, Kalijawi juga menjadi ruang untuk membangun kesadaran bersama tentang kampung. Ketika keamanan bermukim terancam, Kalijawi tidak sekadar menolak. Mereka memetakan kampung sendiri, menyusun rencana kampung, dan menawarkan alternatif penataan kawasan.
Kampung Bukan Ruang Sisa, Melainkan Denyut Kehidupan Kota
Apa yang dilakukan Kalijawi mengingatkan kita bahwa kota tidak sepenuhnya dibangun oleh teknokrat, arsitek, atau perencana tata ruang. Di balik megahnya infrastruktur fisik, kota bertahan berkat jejaring sosial warganya yang saling menopang.
Kampung bukan ruang sisa. Ia adalah ruang produksi solidaritas, ekonomi mikro, dan pengetahuan lokal yang menghidupi kota. Tanpa kampung, kota hanya menjadi tumpukan beton yang kehilangan denyut sosial. Ironisnya, kampung-kampung ini justru sering tersingkir atau disingkirkan atas nama modernisasi dan estetika kota.
Sebagai refleksi akhir, pembangunan perkotaan seharusnya melibatkan kampung dan komunitas yang ada di dalamnya. Kampung harus dipandang sebagai bagian penting dari sistem kota.
Ia perlu diberi ruang hidup, diakui keberadaannya, dan dilibatkan dalam proses perencanaan serta pengambilan keputusan.
Pada akhirnya, kampunglah yang menjaga kota tetap hidup, dan infrastruktur sosial merupakan fondasi kota yang paling kokoh, meski sering luput dari perhatian.
***
*) Oleh : Solahudin, Kepala Departemen Pengelolaan Pengetahuan Arsitek Komunitas (Arkom) Indonesia.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |