TIMES JAKARTA, JAKARTA – Hari ini jagat organisasi mahasiswa Islam mendadak sedikit panas dingin usai pernyataan Gus Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dalam acara Pengukuhan PB IKA PMII pada hari Minggu kemarin, dengan gaya khasnya yang santai dan penuh kelakar, Cak Imin melontarkan kalimat, “Kalau ada yang tak tumbuh dari bawah, pasti bukan PMII, pasti itu HMI.
Sontak saja, pernyataan ini menuai reaksi serius dari sejumlah tokoh HMI, salah satunya Arief Rosyid Hasan, Ketua Umum PB HMI periode 2013–2015. Dalam keterangannya ke media, Arief menilai pernyataan itu ahistoris, simplistik, dan menyesatkan.
Ia bahkan menekankan bahwa HMI lahir dari rahim kampus, denyut intelektual, serta denyut keumatan pasca-kemerdekaan. Tak hanya itu, ia juga mengingatkan bahwa ucapan pejabat publik seperti Cak Imin bisa berimplikasi luas dan mesti hati-hati, bahkan ketika berada dalam forum internal.
Tentu saja tidak ada yang salah dari klarifikasi historis semacam itu. Tapi mari jujur: apakah sebuah joke ringan layak ditanggapi dengan keseriusan selevel pidato kenegaraan? Nah, di sinilah kita perlu jernih membaca situasi.
Cak Imin, seorang politisi dan aktivis NU tulen sudah dikenal luas dengan sense of humor-nya yang khas. Kalimat yang ia lontarkan bukanlah pernyataan akademik, bukan pula propaganda terstruktur untuk menafikan sejarah HMI. Itu hanyalah kelakar ala Nahdliyin, yang sejak dulu jadi bumbu dalam dinamika gerakan mahasiswa.
Di kalangan Nahdliyin, kelakar bukan sekadar gurauan. Ia adalah cara membangun relasi, menjembatani perbedaan, dan menyegarkan suasana yang seringkali terlalu kaku oleh narasi ideologi dan politik.
Cak Imin sedang tidak sedang membuat tesis sejarah. Ia hanya bercanda, dan sayangnya, sebagian kakanda-kakanda kita menanggapinya terlalu serius, seolah sedang dalam forum akademik tertutup.
Apakah guyonan seperti itu pantas? Boleh jadi tidak semua sepakat. Tapi apakah guyonan seperti itu perlu dibalas dengan narasi seolah-olah gerakan HMI sedang diremehkan? Di titik inilah kita perlu bertanya: jadi aktivis kok baperan amat?
Lihatlah sejarah panjang dinamika organisasi mahasiswa. HMI, PMII, GMNI, GMKI, KAMMI, IMM, PMKRI semuanya tumbuh dengan kultur debat dan sindiran. Bahkan saling roasting bukan hal yang asing. Itu bukan tanda permusuhan apalagi kebencian, melainkan cara menjaga kewarasan gerakan.
Sayangnya, di era digital, post truth, echo chambers, atau apalah istilah lainnya, pada intinya era yang serba cepat dan rentan outrage culture ini, kelakar bisa segera dianggap sebagai hinaan, dan candaan ringan bisa dilabeli sebagai ancaman eksistensial.
Padahal, kalau kita semua mengaku sebagai aktivis pergerakan, kita harus siap dengan segala bentuk kritik termasuk kritik yang dibungkus humor. Ingat, Mahbub Djunaidi, tokoh besar HMI dan sekaligus Ketua Umum pertama PB PMII adalah salah satu master jokes dalam sejarah aktivisme Indonesia.
Ia kerap menulis satire tajam nan lucu, berdebat dengan gaya jenaka, dan bahkan mengejek dengan cinta. Tak sedikit tulisannya yang menyindir kalangan intelektual, politisi, bahkan organisasinya sendiri, tapi justru itulah bentuk kecintaan yang paling dalam terhadap perjuangan.
Apakah Mahbub akan tersinggung jika disebut tidak tumbuh dari bawah? Saya sih berkeyakinan besar tidak. Barangkali Ia hanya akan membalas dengan humor yang lebih cerdas, lebih halus, dan lebih menyentuh sisi kemanusiaan kita. Karena Mahbub tahu: kelakar adalah bahasa kerendahan hati, dan mereka yang mudah marah, sedang kehilangan ruang batin untuk menertawakan diri sendiri.
Sudah saatnya kita mendewasakan ruang-ruang dialog aktivis. Tidak semua pernyataan harus dijawab dengan nada formal dan penuh amarah. Apalagi jika itu datang dari forum yang penuh tawa dan seloroh.
Bukannya malah menanggapi, kenapa tidak sekalian membalas guyonannya dengan lebih segar? Bukankah HMI banyak stok kader-kader jenaka, cerdas, dan pandai bersilat lidah dengan ringan?
Menanggapi kelakar dengan keseriusan bisa jadi justru membuat kita kehilangan sense of humor yang merupakan salah satu ciri khas aktivis sejati. Bukankah kader-kader HMI banyak yang datang dari kampus, pesantren, kalangan nahdliyin, dan daerah yang setiap harinya justru ditempa oleh kerasnya hidup dan tetap bisa tertawa di tengah keterbatasan? Kalau hanya karena guyonan satu orang kita jadi baper berjamaah, maka yang hilang bukan sejarah, tapi jiwa aktivisme itu sendiri.
Sebagaimana disampaikan Arief, memang benar bahwa HMI punya sejarah besar dan kontribusi penting. Tapi bukankah sejarah itu tak perlu dibela dengan kemarahan? Justru dengan percaya diri, kita bisa menunjukkan bahwa guyonan tidak akan menghapus rekam jejak panjang organisasi.
Sebaliknya, kita harus sadar bahwa PMII dan HMI bukan musuh. Kita ini saudara se-pergerakan, saling mengkritik, saling membandingkan, bahkan saling meledek, itu semua bagian dari proses pematangan gerakan. Dan yang lebih penting: kita punya musuh bersama yang jauh lebih besar ketimpangan, ketidakadilan, oligarki, dan kemunduran nalar publik.
Jadi mari kita tertawa dulu, sebelum kembali serius. Dan buat kawan-kawan HMI yang merasa terusik: santai wae, rek! Toh PMII juga sering disindir di berbagai forum, tapi kita tetap bisa tidur nyenyak sambil tertawa kecil dan merenungi itu semua. Mari kita anggap guyonan sebagai bentuk perhatian, bukan penistaan.
Karena sesungguhnya, guyonan yang baik itu bukan untuk menyakiti, tapi untuk mengingatkan bahwa kita ini manusia yang kadang terlalu serius hingga lupa tertawa. Maka, “Jangan jadikan candaan sebagai musuh. Jadikan baper sebagai bahan evaluasi.”
Mari kita tumbuh bersama, saling roasting dengan cinta, dan saling memperkuat dengan tawa. Karena hanya mereka yang tahan terhadap candaan, yang tahan pula menghadapi kerasnya dunia pergerakan.
***
*) Oleh : Bagaskara Dwy Pamungkas, Tim Kaderisasi Nasional PB PMII 2024-2027.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |