TIMES JAKARTA, JAKARTA – Raja Ampat kembali ramai jadi sorotan, mata publik terpusat padanya. Namun, kali ini bukan tentang keindahannya, melainkan aktivitas pertambangan yang dinilai merusak sumber daya alamnya yang terkenal menawan itu.
Pulau surga di ufuk timur itu kini menjadi perhatian banyak pihak karena potret tangkapan udara yang beredar di jagat maya menunjukkan panoramanya yang tak lagi indah, akibat bekas galian tambang yang menggores pesonanya menjadi terlihat suram.
Sebagian menilai fenomena itu hoaks, namun tak sedikit yang percaya bahwa faktanya demikian—memprihatinkan. Karenanya, reaksi publik menunjukkan betapa tingginya kepedulian atas bentang alam yang ternodai oleh besi ekstraksi milik korporasi pertambangan tersebut.
Bahlil Lahadalia, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada 7 Juni, kemudian turun langsung ke Pulau Gag, Raja Ampat, Papua, di titik di mana tambang nikel beroperasi. Dalam satu keterangan media, Friska, warga pulau, menyangkal kepada Bahlil bahwa Pulau Gag tidak rusak karena tambang sebagaimana dituduhkan.
"Tidak ada itu, Pak, isu itu. Laut kami bersih. Hoaks itu kalau pulau kami rusak. Alam kami baik-baik saja, Pak," begitu Friska menampik.
Dikuatkan pula oleh Gubernur Papua Barat Daya, Elisa Kambu. Menurutnya kegiatan penambangan oleh PT. GAG Nikel di Pulau Gag berjalan dengan baik dan tanpa merusak alam.
Namun di pihak lain, warga Pulau Gag bersolidaritas menolak tambang. Demonstrasi penolakan dilakukan, meminta Menteri ESDM mencabut izin tambang. Mereka menilai tambang telah merusak lingkungan dan menyebabkan air laut menjadi kecokelatan, tak lagi jernih seperti sedia kala.
Greenpeace Indonesia, organisasi masyarakat sipil yang mendampingi warga di pihak yang menolak, mengonfirmasi hal itu dengan merilis pernyataan kecaman terhadap tambang dan negara yang dinilai abai.
"Saat ini Raja Ampat, tempat yang dijuluki Surga Terakhir di dunia, berada dalam kehancuran yang dilakukan pertambangan nikel," tegas Greenpeace dalam akun Instagram miliknya.
Kalkulasi Ekonomi dan Pertimbangan Ekologi
Umumnya, persoalan kebijakan publik harus terlebih dahulu mendengarkan suara warga—mereka sebagai subjek penerima langsung dari kebijakan itu; apakah menerima dengan ikhlas atau menolak dengan tegas. Bukan mendengar suara pejabat publik yang kerap mendefinisikan kemauan rakyat secara sepihak, kemudian memaksakan kebijakan yang dibuatnya.
Jika demikian, akan dengan mudah kita memahami keadaan, kemudian bisa bijak menentukan sikap: di pihak mana kita memosisikan diri. Namun, di Raja Ampat rupanya situasinya begitu kompleks—butuh permenungan mendalam untuk memetakan fakta lapangan, persoalannya, beserta potensi dampaknya lebih jauh lagi. Sebab rupanya warga berbeda penilaian atas tambang, tidak satu suara: menolak atau menerima.
Di satu pihak menolak, di pihak lain menerima. Dan kedua suara subjek adalah penghuni asli pulau Gag, yang merasakan langsung keadaannya, dan juga masing-masing mendapat dukungan dari yang lain: antara elite, kekuasaan, dan masyarakat sipil.
Sulit rasanya mengambil sikap gegabah atas ini, apalagi tergesa menyalahkan yang menerima atau menyerang yang menolak. Karena keduanya adalah subjek utama yang paling berhak bersuara atas lingkungannya—yang kini telah ditambang.
Kedua subjek itu terkondisikan oleh keadaan tertentu. Di pihak yang menerima, tentu alasannya ekonomi, karena tambang mencipta lapangan kerja—suatu alasan penting karena ekonomi adalah kebutuhan sehari-hari, dan lapangan kerja adalah harapan yang kian sulit ditemukan.
Di pihak penolak, juga alasannya mendasar, yakni ekologi dan keberlanjutan lingkungan yang saling berkelindan antara manusia dan alam.
Idealnya, ekonomi dan ekologi dua hal yang seharusnya tidak terpisah jika membicarakan pembangunan berkelanjutan. Namun dalam situasi itu, saat subjek telah terkondisikan oleh keterdesakan pemenuhan kebutuhan hidup, maka ekologi kerap ditanggalkan—walau akhirnya berpeluang mendatangkan bencana jika terus diabaikan demi ambisi memperoleh keuntungan tambang.
Melepas Dikotomi Pendapat dan Pencarian Alternatif Pekerjaan Hijau
Melepaskan dikotomi pendapat antarsubjek dan keluar dari lingkaran pro-kontra kedua kelompok warga itu adalah alternatif untuk tetap berpihak pada subjek—apa pun pilihannya. Namun, tak cukup sebatas itu.
Kita perlu mendesak negara untuk hadir memberi solusi konkret, agar pertikaian pendapat antarwarga setempat bisa terlerai. Karena jika tidak, maka bisa memicu kerenggangan sosial dan ketegangan yang meluas.
Kejadian seperti ini sebenarnya tak jarang terjadi di wilayah lain di sekitar tambang, tak sedikit adanya konflik antarwarga karena ulah negara mengizinkan tambang tanpa melibatkan partisipasi bermakna di masyarakat.
Negara kadang membiarkan tambang beroperasi walau masih ada pihak yang belum dibujuk dan menerima. Negara juga kerapkali tampak memaksa tambang dijalankan. Karena itulah suara berbeda dari warga terjadi, dan dari situlah gejolak sosial tak bisa dihindari.
Dalam situasi dilema ini, negara mesti merancang lapangan kerja di sektor pekerjaan hijau secara serius—pekerjaan yang tingkat penerimaan warganya cukup baik. Sebab mengandalkan tambang sebagai primadona peningkatan pendapatan ada batasnya, dan juga membahayakan jika terjadi bencana akibatnya.
Pemulihan lingkungan membutuhkan biaya yang jauh lebih besar daripada hasil yang diperoleh, butuh waktu lama, atau hampir mustahil mengharapkan alam pulih dengan sendirinya.
Benar bahwa tambang menjanjikan keuntungan, juga menyerap tenaga kerja. Namun perlu diingat, tambang juga mengorbankan lingkungan. Apalagi berlebihan, ia tidak hanya merusak bentang alam, namun juga merugikan manusia yang hidup disekitarnya jika terjadi bencana lingkungan.
Karena itu, pekerjaan hijau menjadi alternatif untuk menciptakan ekonomi produksi ramah lingkungan, agar pertumbuhan ekonomi diperoleh dan alam tetap terjaga.
Di Raja Ampat, pengelolaan ekowisata berbasis warga dan konservasi berbasis masyarakat adat adalah jalan tawaran dari sektor hijau itu, ialah lapangan kerja yang tetap merawat ekologi, sekaligus menjanjikan pendapatan ekonomi disaat bersamaan. (*)
***
*) Oleh : Ayu Kusumasari, S.M., ME., Sekertaris Bidang UMKM dan Koperasi Kopri PB PMII.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |