https://jakarta.times.co.id/
Opini

Aspek Geopolitik Logam Tanah Jarang

Senin, 03 November 2025 - 17:03
Aspek Geopolitik Logam Tanah Jarang Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Perang modern tidak lagi diwarnai oleh perang fisik dan adu senjata mekanik antarnegara. Perang telah bermetamorfosis dalam bentuk yang bersifat asimetris, proksi, nir-kontak fisik, namun memberikan dampak yang mematikan dalam skala masif.

Dewasa ini, rivalitas antara Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok menggunakan sumber daya alam dalam bentuk logam tanah jarang sebagai instrumen geopolitik. Penggunaan logam tanah jarang sebagai alat perang kedua negara tidak terlepas dari peran strategis yang dikandung.

Logam tanah jarang menjadi komponen vital dalam keberlangsungan industri-industri yang sifatnya strategis. Berbagai peralatan modern seperti ponsel, laptop, mobil hibrida, serta turbin angin, menjadikan unsur tanah jarang sebagai komponen vitalnya.

Logam tanah jarang juga digunakan dalam pembuatan produk-produk industri pertahanan seperti mesin jet tempur, sistem kendali rudal, pertahanan antirudal, satelit luar angkasa, serta jaringan komunikasi militer.

Perang antara AS dan Tingkok dimulai ketika AS memperluas daftar perusahaan Tiongkok yang dilarang mengakses cip semikonduktor dan teknologi paling canggih dari AS. Tiongkok menempuh langkah retaliasi dengan melakukan pengetatan atas ekspor logam langka.

Tiongkok mengumumkan bahwa awal Desember nanti, perusahaan asing manapun di dunia harus memperoleh izin terlebih dahulu dari Tiongkok jikalau hendak mengekspor produk dengan kandungan logam tanah jarang asal Tiongkok. Kewajiban tersebut juga berlaku untuk produk logam tanah jarang yang diproduksi dengan menggunakan teknologi milik Tiongkok.

Kebijakan Tiongkok ini memiliki signifikansi dalam konteks geopolitik global. Penggunaan logam tanah jarang sebagai senjata geopolitik oleh Tiongkok berpotensi mengganggu rantai pasok global dan melumpuhkan industri-industri strategis yang ada di AS, termasuk Eropa yang notabene merupakan sekutu AS.

Konflik kedua negara dalam penguasaan logam tanah jarang juga berpotensi menjadi lebih runcing karena AS akan menggunakan instrumen lain untuk lepas dari cengkraman geostrategi Tiongkok.

Tiongkok sangat memahami keunggulan mereka atas logam tanah jarang. Tiongkok tidak hanya didukung oleh faktor okupasi sumber daya, tapi juga kedigdayaan dalam penguasaan rantai pasok dan proses.

Tiongkok menguasai sekitar 70 persen produksi tambang dunia dan 90 persen hasil olahannya. Dalam konteks proses, Tiongkok unggul dalam hal pengolahan dan pemurnian.

Tiongkok memiliki teknologi khusus dalam pemrosesan dan didukung oleh sumber daya manusia dengan skill mumpuni. Namun demikian, keunggulan-keunggulan tersebut memiliki harga lain yang harus dibayar.

Proses penambangan dan pengolahan logam tanah jarang selalu memiliki ekses negatif terhadap kesehatan manusia dan keberlangsungan ekosistem lingkungan hidup. Hal ini disebabkan oleh unsur pada logam tanah jarang itu sendiri yang mengandung unsur radioaktif seperti uranium dan torium yang dapat menimbulkan kontaminasi negatif terhadap unsur-unsur kehidupan seperti air, tanah, dan udara.

Problematika ini jugalah yang menjadi kendala bagi AS untuk menyusul ketertinggalannya dari Tiongkok. Di AS dan negara-negara Eropa, penambangan dan pengolahan logam tanah jarang dihadang oleh regulasi ketat tentang lingkungan yang berdampak pada panjangnya proses dan tingginya biaya yang harus dibayar.

Perkembangan Indonesia

Indonesia perlu mencermati fenomena perang logam tanah jarang antara AS dan Tiongkok. Pemerintah Indonesia di era Presiden Prabowo Subianto telah memberlakukan larangan ekspor untuk seluruh produk sampingan dari pertambangan timah yang mengandung logam tanah jarang. Larangan ekspor ini bertujuan untuk menjaga ketersediaan logam tanah jarang bagi kebutuhan industri strategis nasional.

Presiden Prabowo Subianto juga telah membentuk Badan Industri Mineral. Badan khusus ini dimaksudkan untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing negara. Ada beberapa catatan yang harus dikerjakan oleh lembaga ini agar pembentukannya optimal, yakni pengembangan industri hilirisasi mineral, perlindungan cadangan mineral strategis, identifikasi sumber daya mineral, serta riset dan pengembangan untuk pengolahan mineral agar memberikan dampak yang optimal bagi negara.

Untuk memperkuat upaya merealisasikan objektif-objektif tersebut, dukungan investasi langsung, kesiapan sumber daya manusia, dan penguasaan teknologi mutlak dibutuhkan.

Menjadi harapan kita bersama bahwa tata kelola yang baik dari hulu ke hilir pada logam tanah jarang dapat membawa Indonesia bertransformasi menjadi kuasa energi baru di dunia, minimal dalam konteks kemandirian energi nasional.

***

*) Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia  untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.