TIMES JAKARTA, JAKARTA – Tak ada kedaulatan tanpa kemandirian pangan. Di antara berbagai komoditas strategis, gula menempati posisi krusial dalam rantai konsumsi rakyat maupun industri.
Ironisnya, meski Indonesia memiliki sejarah panjang sebagai produsen gula terbesar di Asia pada masa kolonial, saat ini kita justru menjadi salah satu pengimpor gula terbesar di dunia. Pertanyaannya, sampai kapan bangsa ini akan terus bergantung pada pasokan dari luar?
Gula bukan sekadar bahan pemanis dan komoditas ekspor. Saat ini, komoditas ini menjadi cermin dari kemampuan sebuah bangsa untuk memenuhi kebutuhan pokoknya sendiri.
Kegagalan mewujudkan swasembada gula sejatinya mencerminkan persoalan struktural yang kompleks, mulai dari rendahnya produktivitas tebu, keterlambatan modernisasi pabrik, lemahnya sistem tata niaga, hingga regulasi yang tidak konsisten.
Di tengah tantangan itu, pemerintah kembali menggelorakan semangat swasembada dengan target jelas, yaitu swasembada konsumsi pada 2028, dan swasembada industri pada 2030.
Komoditas Strategis yang Lama Terlupakan
Permintaan gula nasional saat ini sudah menembus angka 6,2 juta ton per tahun, dengan 3,4 juta ton untuk konsumsi rumah tangga dan 2,8 juta ton untuk kebutuhan industri makanan dan minuman.
Namun, produksi domestik baru mencapai sekitar 2,46 juta ton pada 2024, dan bahkan dengan proyeksi optimistis 2025 mencapai 2,9 juta ton, masih jauh dari cukup.
Kekurangannya ditutup dengan impor dari Thailand, India, dan Australia. Dalam dua tahun terakhir saja, impor gula telah menelan devisa hampir Rp 80-90 triliun.
Rendahnya produktivitas menjadi biang keladi utama. Tebu petani hanya menghasilkan sekitar 65 ton per hektare dengan rendemen 7,5%, tertinggal dari Thailand yang mencapai 10% dan Brasil di atas 11%. Varietas yang digunakan sebagian besar sudah usang, panen masih manual, dan pemupukan tak seimbang.
Di saat yang sama, pabrik gula Indonesia banyak yang berusia lebih dari seabad, menyebabkan kehilangan sukrosa mencapai 15%. Tak heran jika ongkos produksi gula dalam negeri mencapai Rp11.000–13.000 per kilogram, lebih mahal dari harga gula impor yang hanya Rp9.000.
Kondisi ini menyebabkan pabrik lokal kesulitan beroperasi. Banyak petani kehilangan semangat karena harga jual tebu tidak sebanding dengan biaya tanam. Di sinilah ironi terbesar, dimana solusi instan melalui impor justru memperparah ketergantungan, mematikan industri nasional secara perlahan.
Menuju Swasembada Berbasis Transformasi
Swasembada gula bukan mustahil. Yang dibutuhkan bukan hanya niat baik, tetapi strategi yang konkret, terukur, dan sistematis. Dalam kunjungan kerjanya ke Lumajang, Jawa Timur, dan rapat kerja dengan PTPN Group pada Juni 2025 lalu, Menteri Pertanian RI, Dr. Andi Amran Sulaiman, menegaskan pentingnya pendekatan eksponensial, bukan linier. Targetnya jelas, produksi nasional melonjak, petani bangkit, pabrik hidup kembali, dan ketergantungan impor berhenti.
Strategi besar itu setidaknya terbagi ke dalam sembilan langkah prioritas. Langkah pertama menuju swasembada gula dimulai dari hulu, yaiyu peningkatan produktivitas tebu rakyat.
Pemerintah menargetkan peremajaan (bongkar ratoon) pada kebun-kebun yang telah memasuki usia tanam tidak produktif, yakni ratoon ketiga ke atas yang saat ini mencakup 68% total kebun tebu rakyat.
Diharapkan 150.000 hektare lahan dapat diremajakan pada musim tanam 2025/2026, dan 125.000 hektare pada tahun berikutnya. Upaya ini didukung dengan subsidi benih, pupuk, serta pendanaan berbunga rendah melalui KUR khusus klaster tebu yang telah diluncurkan di Bondowoso.
Di sisi lain, peningkatan rendemen juga menjadi prioritas dengan penataan ulang komposisi varietas. Varietas masak awal dan tengah seperti PSBM 971, PSKA 062, dan PS Nusantara 1 akan diperluas untuk menyeimbangkan komposisi kemasakan tebu demi hasil panen yang optimal.
Di tengah stagnasi industri gula nasional, modernisasi menjadi keharusan. Konsolidasi 36 pabrik gula BUMN melalui program SugarCo ke dalam PT Sinergi Gula Nusantara (SGN) adalah permulaan.
Pemerintah kini mendorong transformasi lanjutan berupa digitalisasi pabrik, efisiensi energi, dan penerapan konsep zero waste. Limbah tebu seperti bagasse akan dikonversi menjadi energi terbarukan, termasuk listrik dan bioetanol.
Modernisasi ini didukung oleh intensifikasi teknologi budidaya: mulai dari penggunaan drone untuk penyemprotan, pemupukan berbasis data, irigasi presisi, hingga integrasi platform digital ETERA sebagai pusat informasi dan layanan untuk petani tebu.
Ekspansi areal tanam pun diarahkan ke luar Pulau Jawa, khususnya ke wilayah-wilayah yang memiliki potensi agroklimat seperti Dompu, Bombana, Merauke, dan Buol. Targetnya cukup tinggi, yaitu pembukaan 700.000 hektare lahan pertanaman tebu baru.
Namun, seluruh strategi teknis tersebut tidak akan berjalan efektif tanpa reformasi regulasi dan tata niaga. Pemerintah menyiapkan deregulasi besar-besaran untuk mempercepat distribusi sarana produksi dan penyaluran pendanaan. Sertifikasi benih akan disederhanakan, bahkan memungkinkan pemanfaatan benih lintas wilayah.
Di sisi hilir, industri gula akan diarahkan untuk tidak sekadar memproduksi gula kristal putih, melainkan juga bioetanol, molase, pupuk organik, hingga biomassa energi seperti yang dilakukan Brasil.
Sementara itu, sistem tata niaga baru berbasis klaster dan transparansi rendemen digital akan diterapkan, disertai dengan penetapan harga dasar tebu yang mencerminkan biaya produksi dan margin layak. Dana subsidi besar setiap tahunnya tentu juga akan dialokasikan untuk menyerap gula petani dan menjaga stabilitas pasar.
Gula sebagai Pilar Kedaulatan
Dengan strategi tersebut, Indonesia menargetkan produksi gula konsumsi mencapai swasembada pada 2028, dan gula industri pada 2030. Jawa Timur, sebagai episentrum industri gula nasional, menargetkan kontribusi sebesar 1,65 juta ton dari total produksi 2,9 juta ton nasional pada 2025. Capaian ini akan menjadi tonggak tertinggi dalam sejarah produksi gula pasca-reformasi.
Namun, swasembada bukan sekadar soal tonase. Ia harus menjawab tiga misi sekaligus, yaitu meningkatkan kesejahteraan petani, memperkuat daya saing industri nasional, dan menegakkan martabat bangsa dalam kedaulatan pangan.
Dalam konteks ini, kepemimpinan menjadi kunci. Swasembada tidak bisa dicapai hanya oleh Kementerian Pertanian semata. Ia menuntut orkestrasi lintas sektor: Kementerian Perdagangan, Perindustrian, ATR/BPN, BUMN, hingga pemerintah daerah.
Lebih dari itu, visi dan konsistensi politik lintas pemerintahan harus dijaga, agar kebijakan tidak mudah dikoreksi setiap pergantian rezim.
Indonesia pernah mengekspor gula dari Jatiroto, Colomadu, dan Rejoagung ke berbagai penjuru dunia. Kini kita mengimpor dari negara-negara yang dulu belajar menanam tebu dari kita.
Realitas itu memang getir, seperti gula yang belum diproses. Tapi harapan itu nyata. Dengan kerja nyata, kolaborasi lintas sektor, serta keberpihakan pada petani dan industri dalam negeri, swasembada gula bukanlah mimpi kosong.
Ia adalah keniscayaan yang sedang kita jemput. Sudah saatnya Indonesia berhenti menjadi pasar bagi gula impor. Kini waktunya kita menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
***
*) Oleh : Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |