TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pesantren selalu punya cara tersendiri dalam menjaga denyut peradaban bangsa. Ia bukan sekadar tempat belajar ilmu agama, melainkan ruang hidup yang menanamkan nilai, adab, dan kebijaksanaan.
Di tengah krisis moral yang kian mencemaskan, pesantren menjadi benteng pertahanan terakhir yang menjaga akhlak generasi muda dari gempuran zaman.
Sejak awal, pesantren dibangun bukan hanya oleh kecerdasan intelektual para kiai, tetapi juga oleh keikhlasan, keheningan spiritual, dan kebijaksanaan hidup.
Dari tangan merekalah lahir generasi bangsa yang bukan hanya pandai berpikir, tetapi juga mampu menundukkan ego. Itulah wajah asli pesantren sebuah peradaban yang hidup.
Membaca Pesantren dari Kacamata Basnang Said
Salah satu tokoh yang mencoba memaknai kembali hakikat pesantren adalah Dr. Basnang Said, M.Ag, Direktur Pesantren pada Direktorat Pendidikan Islam, Kementerian Agama RI. Ia melihat pesantren tidak sekadar lembaga pendidikan, tetapi sebagai ruang peradaban, sebuah tatanan nilai yang membentuk manusia menjadi utuh: berilmu, beradab, dan berjiwa pengabdi.
Basnang Said menegaskan, pesantren adalah tempat di mana ilmu tidak hanya diajarkan, tetapi dihidupkan melalui perilaku dan keteladanan. “Pesantren adalah estetika yang mengandung etika dan aktualisasi,” ujarnya.
Ungkapan itu menjelaskan bahwa setiap tindakan santri dari menunduk saat kiai lewat, berjalan lutut ketika menyuguhkan hidangan, hingga menata sandal di depan rumah kiai, semua mengandung nilai etika yang membentuk karakter.
Santri tidak sedang melayani kiai karena takut, tetapi karena takzim. Mereka menghormati sumber ilmu sebagaimana menghormati ilmu itu sendiri. Di pesantren, ketundukan bukanlah simbol perbudakan, melainkan ekspresi dari kesadaran spiritual. Dari sanalah lahir pribadi-pribadi yang tahu menempatkan diri, menakar kata, dan menjaga laku.
Sayangnya, dalam pandangan sebagian orang modern, tradisi penghormatan santri kepada kiai sering dianggap bentuk feodalisme baru. Pandangan ini keliru karena meminjam lensa sosiologi Barat untuk menafsirkan budaya Timur yang berakar pada spiritualitas.
Feodalisme, sebagaimana kita tahu, adalah sistem sosial Eropa abad pertengahan yang menempatkan kekuasaan mutlak pada kaum bangsawan dan menindas rakyat kecil. Ia dibangun di atas ketimpangan dan eksploitasi.
Sementara penghormatan santri kepada kiai lahir dari nilai kesetaraan di hadapan Tuhan dan penghargaan terhadap ilmu. Dua hal yang secara substansi bertolak belakang.
Basnang Said mengingatkan, jangan buru-buru menuduh sikap hormat di pesantren sebagai praktik feodal. Justru dari kultur inilah lahir generasi yang berakhlak, santun, dan berilmu. Tradisi takzim dan khidmah (pengabdian) adalah cara pesantren membangun kesadaran batin: bahwa ilmu tidak akan menetap di hati yang sombong.
Pesantren Sebagai Ruang Peradaban
Dalam pandangan Basnang Said, pesantren adalah rumah besar bagi peradaban. Ia tidak hanya mencetak ulama, tetapi juga membentuk manusia beradab yang tahu bagaimana menghormati, menghargai, dan mengabdi. Maka, di pesantren, belajar dan berkhidmah bukan dua hal yang terpisah, keduanya menyatu menjadi laku hidup.
Pesantren bukan hanya tempat menimba ilmu, melainkan ruang di mana nilai-nilai kemanusiaan dipelihara. Di sanalah para santri belajar bahwa kebijaksanaan tidak lahir dari banyak membaca, tetapi dari kesabaran melayani, dari ketekunan menjaga kebersihan, dari keikhlasan membantu tanpa pamrih.
Tradisi semacam ini barangkali sulit dimengerti oleh logika modern yang serba transaksional. Namun justru di situlah letak keistimewaan pesantren, ia mendidik manusia untuk hidup dengan makna, bukan sekadar untuk hasil.
Pesantren, dalam tafsir Basnang Said, adalah miniatur peradaban Islam yang hidup di bumi Nusantara. Ia tumbuh bukan dari struktur kekuasaan, melainkan dari kekuatan moral.
Ia membentuk manusia yang mampu menghormati tanpa harus tunduk membabi buta; mengabdi tanpa kehilangan harga diri; dan belajar tanpa berhenti menjadi rendah hati.
Di tengah zaman yang memuja popularitas dan mengabaikan keadaban, pesantren hadir sebagai oase yang menyejukkan: tempat di mana ilmu bertemu adab, dan peradaban disemai dengan kesantunan.
Basnang Said mengingatkan kita semua bahwa pesantren bukan hanya bagian dari sejarah bangsa, melainkan roh kebangsaan itu sendiri. Dan selama pesantren masih hidup, bangsa ini tak akan kehilangan arah moralnya. (*)
***
*) Oleh : Fathullah Syahrul, Pegiat Isu-Isu Kebangsaan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |