https://jakarta.times.co.id/
Opini

Kegagalan Negara dalam Membiayai Pendidikan Tinggi

Kamis, 30 Januari 2025 - 18:27
Kegagalan Negara dalam Membiayai Pendidikan Tinggi Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Keputusan DPR untuk mengesahkan RUU Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara sebagai usul inisiatif, menandai babak baru dalam tata kelola sumber daya alam di Indonesia. 

Setelah sebelumnya Presiden Joko Widodo memberikan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kepada organisasi keagamaan pada 2024, kini giliran perguruan tinggi dan UMKM yang ‘dihadiahi’ hak kelola tambang melalui revisi regulasi ini.

Pemberian izin usaha pertambangan (IUP) kepada perguruan tinggi dalam revisi Undang-Undang Mineral dan Batubara (Minerba) tentu tidak bisa disimplifikasi hanya sekedar polemik legal-formal. Melainkan sebuah cermin retak dari kegagalan sistemik negara dalam memenuhi amanat konstitusi "mencerdaskan kehidupan bangsa".

Pasal 31 Ayat 4 UUD 1945 menegaskan kewajiban negara mengalokasikan minimal 20% anggaran untuk pendidikan. Namun, realitasnya jauh dari ideal. Data Komisi X DPR (2023) mengungkapkan cecara bersih, anggaran pendidikan tinggi yang dikelola Dirjen Dikti itu hanya 0,6% dari APBN atau sekitar 8,2 triliun rupiah. Pengelolaan anggaran sebesar itu pun harus dibagi antara PTN dengan PTS secara adil. Artinya angka tersebut jauh di bawah rekomendasi UNESCO sebesar 2%.

Defisit tersebut dipicu oleh kebijakan fiskal yang mengutamakan belanja infrastruktur dan subsidi energi, sementara pendidikan ditempatkan sebagai "sisa" dari komitmen politik. Akibatnya, seperti diungkapkan pengamat pendidikan Darmaningtyas, PTN terpaku pada skema PTN-Badan Hukum (PTN-BH) yang memaksa kampus mencari pendanaan mandiri melalui kenaikan uang kuliah tunggal (UKT) dan kerja sama dengan sektor swasta. 

Di sinilah paradoks terjadi: negara mengalihkan tanggung jawab pembiayaan pendidikan ke pasar, tetapi tetap ingin mempertahankan kendali melalui regulasi seperti RUU Minerba. 

Pemberian izin tambang kepada kampus yang diusulkan sebagai solusi pendanaan sejatinya adalah pengakuan gagal negara dalam memenuhi hak dasar warga atas pendidikan terjangkau. Seperti dikritik Karlina Supelli, Direktur Pascasarjana STF Driyarkara, langkah ini bertentangan dengan Tri Dharma Perguruan Tinggi karena mengalihkan fokus akademik ke ranah komersial. 

Kampus Berubah Menjadi Korporasi

Kebijakan PTN-BH sejak 2012 telah membuka pintu lebar bagi infiltrasi logika pasar ke dalam kampus. Data Statistik Pendidikan 2023 menunjukkan bahwa hanya 17,64% mahasiswa berasal dari keluarga berpenghasilan rendah, sementara 52,65% berasal dari kalangan mampu. 

Ketimpangan ini adalah buah dari UKT yang melambung hingga Rp18,7 juta per semester di PTN ternama, sementara anggaran pemerintah untuk beasiswa KIP-Kuliah justru dipangkas. Dalam situasi ini, wacana izin tambang muncul sebagai "solusi instan" untuk menutupi defisit operasional kampus.  

Solusi ini ibarat menyiram bensin ke kobaran api. Pengelolaan tambang oleh kampus tidak hanya membutuhkan modal besar minimal Rp500 miliar untuk lahan 500 hektare, tetapi juga berisiko mengubah peran dosen dan peneliti menjadi ‘akuntan’ yang terobsesi pada profit. 

Ridho Kresna Wattimena, Dekan Fakultas Teknik Pertambangan ITB, mengingatkan bahwa fluktuasi harga komoditas dan risiko lingkungan bisa menjerumuskan kampus ke dalam utang dan konflik dengan masyarakat. 

Lebih parah lagi, seperti diingatkan Walhi, independensi akademik akan tergerus jika penelitian tentang dampak tambang harus ‘disesuaikan’ dengan kepentingan bisnis kampus.

Dilema yang Diciptakan Negara

Otonomi kampus seharusnya bermakna kebebasan akademik untuk mengejar kebenaran ilmiah, bukan kebebasan untuk berburu rente.

Sayangnya, negara justru menggunakan jargon otonomi untuk melegitimasi pelepasan tanggung jawab finansial. Dalam RUU Minerba, syarat pemberian izin tambang kepada kampus seperti akreditasi minimal B dijadikan dalih untuk meningkatkan kualitas pendidikan. Padahal, akreditasi sendiri kerap dikritik sebagai birokrasi yang tidak menjamin mutu, sementara beban administratifnya justru menyita waktu dosen untuk penelitian dan pengajaran.

Di sisi lain, intervensi pasar melalui skema pembiayaan alternatif (seperti pinjaman online untuk UKT di ITB) telah mengubah mahasiswa dari subjek pendidikan menjadi konsumen yang harus membayar mahal untuk gelar. 

Jika izin tambang disahkan, logika ini akan merambah ke sektor sumber daya alam, kampus akan berubah menjadi ‘tengkulak’ yang mengeksploitasi tambang demi menutupi defisit anggaran, sementara negara cuci tangan.  

Kembali ke Khittah Konstitusi

Bagi saya, untuk memutus lingkaran setan ini, diperlukan keberanian politik untuk merevisi paradigma pembiayaan pendidikan tinggi. 

Pertama, anggaran pendidikan harus dikembalikan ke jalur konstitusional. Alih-alih mengacu pada belanja negara yang rawan dipolitisasi pemerintah perlu menetapkan pagu minimal 20% dari pendapatan negara.

Dengan APBN 2025 sebesar Rp3.000 triliun, alokasi 20% berarti Rp600 triliun untuk pendidikan angka yang cukup untuk biaya pendidikan, salah satunya untuk membiayai riset, beasiswa, dan infrastruktur kampus tanpa perlu menjual izin tambang, tentu dengan memperbaiki penyerapan dana pendidikan agar tepat sasaran.

Kedua, skema PTN-BH harus dievaluasi ulang. Otonomi keuangan tidak boleh menjadi dalih untuk menaikkan UKT atau menggandeng pihak swasta secara membabi buta. 

Sebagai gantinya, negara bisa mengembangkan model endowment fund seperti di Harvard atau Oxford, di mana dana abadi dari hasil investasi digunakan untuk operasional kampus. 

Mekanisme ini telah berhasil di UGM dan UI, tetapi perlu diperluas dengan insentif pajak untuk donasi korporasi.  

Ketiga, penelitian strategis harus diarahkan untuk menjawab masalah kebangsaan, bukan kepentingan pasar. Kampus perlu difasilitasi untuk mengembangkan energi terbarukan, teknologi daur ulang, atau pertanian berkelanjutan sektor yang selaras dengan Tri Dharma sekaligus mendukung pembangunan berkelanjutan, bukan malah disuruh mengelola tambang.

Teringat dengan apa yang selalu di katakan oleh Azyumardi Azra, dalam berbagai tulisannya, bahwa pendidikan adalah investasi peradaban, bukan komoditas ekonomi. Ketika negara abai membiayai pendidikan tinggi, ia tidak hanya mengkhianati konstitusi, tetapi juga membunuh masa depan bangsa. Wacana izin tambang untuk kampus adalah pengalihan isu dari kegagalan negara menata prioritas anggaran.  

Ala Kulli Hall, Pilihan kita harus jelas, mempertahankan otonomi kampus sebagai ruang independen untuk mencerdaskan bangsa, atau membiarkannya menjadi korporasi yang diperbudak profit. Sejarah akan mencatat, bangsa yang besar tidak lahir dari tambang emas, tetapi dari kecerdasan kolektif yang dibangun melalui pendidikan bermartabat.  

***

*) Oleh : Aden Farih Ramdlani, Mahasiswa Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana UIN Jakarta. 

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.