https://jakarta.times.co.id/
Opini

Hilirisasi Riset: Ekonomi Berbasis Pengetahuan

Kamis, 07 Agustus 2025 - 23:25
Hilirisasi Riset: Ekonomi Berbasis Pengetahuan Munawir Aziz, Peneliti Kebijakan Publik, Penerima Beasiswa AIFIS untuk Riset dan Studi di Amerika Serikat.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di tengah gempuran perubahan global dari kemajuan teknologi, krisis iklim, hingga ketidakpastian geopolitik, Indonesia tak punya pilihan lain selain membangun pondasi ekonomi yang lebih kokoh: ekonomi berbasis pengetahuan. 

Ketergantungan pada ekspor komoditas mentah atau kekayaan alam yang cepat habis sudah waktunya ditinggalkan. Dunia berubah terlalu cepat untuk bertahan dengan strategi lama.

Hilirisasi riset menjadi kata kunci penting dalam upaya transisi ini. Tapi mari kita sepakati terlebih dahulu: hilirisasi riset bukan sekadar memindahkan hasil penelitian dari laboratorium ke pabrik. 

Ia adalah proses panjang dan strategis yang melibatkan pembacaan kebutuhan industri, pemetaan potensi ilmu pengetahuan, penguatan ekosistem inovasi, serta keberanian politik untuk menyambungkan semua itu ke dalam sistem pembangunan nasional.

Sampai hari ini, banyak riset di kampus-kampus kita masih terjebak di menara gading. Publikasi ilmiah memang naik tajam, namun kontribusi riset terhadap pemecahan masalah riil bangsa belum terasa sekuat seharusnya. 

Riset yang seharusnya menjawab tantangan pangan, energi, pendidikan, atau digitalisasi, kerap berakhir sebagai laporan yang menumpuk di repository.

Inilah paradoks yang masih kita hadapi: di satu sisi kita punya sumber daya intelektual, di sisi lain hasilnya belum cukup mengguncang industri atau memperkuat kebijakan. Padahal, jika dikelola dengan visi dan sistem yang tepat, riset adalah instrumen perubahan yang sangat dahsyat. 

Negara-negara yang berhasil melakukan lompatan pembangunan seperti Korea Selatan, Tiongkok, atau Finlandia, menunjukkan bahwa investasi di ilmu pengetahuan adalah jalan menuju kemandirian.

Di Indonesia, wacana hilirisasi selama ini lebih populer di sektor tambang. Tetapi hilirisasi yang kita butuhkan lebih luas dan mendalam: hilirisasi pengetahuan. Bukan hanya soal teknologi, tapi juga riset sosial, kebijakan, bahkan seni dan humaniora. Semua bidang ilmu bisa menjadi pengungkit transformasi, jika dirangkai dalam kerangka pembangunan yang cerdas dan kolaboratif.

Dalam konteks pembangunan nasional, riset seharusnya menjadi salah satu penggerak utama visi besar negara. Asta Cita delapan misi pemerintahan untuk menuju Indonesia Emas 2045 secara implisit menuntut penguatan ekosistem riset dan inovasi. 

Kita tidak bisa bicara tentang peningkatan kualitas manusia tanpa pendidikan dan riset yang kuat. Tidak mungkin mendorong produktivitas sektor ekonomi tanpa inovasi. Mustahil membangun lingkungan hidup berkelanjutan tanpa dukungan riset lintas bidang.

Masalahnya, selama ini riset belum menjadi arus utama dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan. Kesenjangan antara dunia ilmu pengetahuan dan dunia praktik masih terlalu lebar. 

Banyak hasil riset brilian tidak pernah sampai ke tangan pelaku industri, apalagi pembuat kebijakan. Bahkan, regulasi dan ekosistem pendanaan belum cukup mendukung riset terapan agar bisa menyeberang dari laboratorium ke dunia nyata.

Di titik ini, Konvensi Kebijakan Sains, Teknologi, dan Inovasi (KSTI) yang digagas oleh Kemendikbudristek menjadi langkah penting. Konvensi ini adalah ruang bertemunya para pemikir, pelaku riset, pembuat kebijakan, dan pelaku industri dalam satu meja dialog. 

Lebih dari sekadar forum, KSTI adalah peluang untuk membangun konsensus nasional tentang arah riset dan inovasi ke depan. Ia juga menjadi momentum untuk menata ulang relasi antara riset, industri, dan pemerintah.

Tantangan Inovasi

Salah satu tantangan terbesar dalam hilirisasi riset adalah apa yang disebut “lembah kematian” (valley of death), yaitu jurang antara riset yang sudah jadi dan tahap implementasi atau komersialisasi. Banyak inovasi mandek di tengah jalan karena tidak ada dukungan pendanaan lanjutan, tidak ada mitra industri, atau terhalang regulasi yang kaku. 

Jika negara ingin serius membangun ekonomi berbasis pengetahuan, maka ekosistem pembiayaan riset harus didesain ulang agar lebih berani mengambil risiko dan berpihak pada inovasi dalam negeri.

Lebih jauh dari sekadar menghasilkan produk atau teknologi, hilirisasi riset juga harus menyasar ke ranah kebijakan publik. Banyak keputusan strategis negara masih didasarkan pada intuisi politik, bukan pada bukti ilmiah. 

Padahal, riset kebijakan bisa membantu menjernihkan arah dan menghindari kesalahan yang mahal. Negara-negara dengan sistem kebijakan yang baik biasanya memiliki policy lab yang kuat, think tank yang aktif, dan keterbukaan data yang memungkinkan kolaborasi antara peneliti dan birokrat.

Indonesia perlu memperkuat koneksi ini. Kampus harus lebih terdorong untuk tidak hanya melahirkan jurnal, tetapi juga rekomendasi kebijakan yang konkret dan relevan. Pemerintah pun harus lebih terbuka untuk menjadikan riset sebagai dasar penyusunan kebijakan, bukan sekadar lampiran formal dalam laporan. Dengan kata lain, riset bukan pelengkap, tetapi pondasi.

Membangun ekonomi berbasis pengetahuan memang tidak instan. Ia menuntut kerja jangka panjang, lintas pemerintahan, dan lintas sektor. Namun inilah investasi yang paling menjanjikan untuk masa depan. Negara-negara yang sekarang disebut maju adalah mereka yang, puluhan tahun lalu, berani memilih jalur ini dan konsisten menjalaninya.

Indonesia memiliki semua prasyarat untuk ikut dalam barisan itu: jumlah peneliti yang terus meningkat, SDM muda yang kreatif, jejaring akademik yang makin luas, serta dukungan politik yang mulai tumbuh.

Yang dibutuhkan sekarang adalah penyelarasan arah, keberanian menyederhanakan regulasi, serta ekosistem insentif yang adil dan mendorong kolaborasi.

Hilirisasi riset bukan lagi pilihan, melainkan keharusan. Bukan hanya agar kita bisa menghasilkan produk buatan dalam negeri, tapi agar kita bisa menentukan sendiri masa depan kita. 

Agar ilmu pengetahuan tidak berhenti di ruang seminar, melainkan hidup dalam kebijakan, industri, dan kehidupan masyarakat. Agar Asta Cita tidak hanya menjadi visi di atas kertas, tetapi kenyataan yang dapat dirasakan setiap warga negara.(*) 

***

*) Oleh : Munawir Aziz, Peneliti Kebijakan Publik, Penerima Beasiswa AIFIS untuk Riset dan Studi di Amerika Serikat.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.