https://jakarta.times.co.id/
Opini

Menakar DNA Ekonomi Kerakyatan Prabowo

Rabu, 22 Oktober 2025 - 17:21
Menakar DNA Ekonomi Kerakyatan Prabowo Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Pasal 33 UUD 1945 bukan sekadar teks konstitusi, melainkan napas moral bagi ekonomi Indonesia: kekayaan alam dan kebijakan ekonomi mesti kembali kepada rakyat. Sila kelima Pancasila pun menegaskan arah yang sama keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Dua fondasi ini menegaskan bahwa arah pembangunan ekonomi kita semestinya berpihak pada rakyat banyak, bukan pada akumulasi segelintir elite.

Semangat inilah yang coba dihidupkan kembali oleh pemerintahan Prabowo–Gibran. Dalam satu tahun kepemimpinannya, pemerintah berupaya menggeser paradigma ekonomi dari sekadar pertumbuhan menuju keberpihakan. Dari ekonomi yang terpusat ke ekonomi yang merata.

Salah satu program paling menonjol ialah Makan Bergizi Gratis (MBG). Dengan alokasi anggaran mencapai Rp71 triliun pada 2025, program ini bukan hanya soal memberi makan, melainkan memastikan anak-anak tumbuh tanpa stunting dan memiliki masa depan yang sehat. Kesehatan menjadi fondasi pertama untuk membangun bangsa yang tangguh.

Tak berhenti di situ, sejak Februari 2025, pemerintah meluncurkan layanan pemeriksaan kesehatan gratis di puskesmas dan rumah sakit daerah. Langkah ini menunjukkan pergeseran orientasi: dari kuratif ke preventif, dari sekadar mengobati menjadi menjaga. Negara hadir tidak hanya ketika rakyat sakit, tetapi sebelum mereka jatuh sakit.

Di bidang pendidikan, pemerintah menandatangani Inpres Nomor 8 Tahun 2025 tentang penghapusan kemiskinan ekstrem. Melalui program Sekolah Rakyat, anak-anak dari keluarga pra-sejahtera diberi kesempatan memperoleh pendidikan bermutu. 

Tak kalah penting, pemerintah juga mempercepat digitalisasi pendidikan menyediakan perangkat seperti interactive flat panel dan laptop agar anak-anak dari pelosok tak tertinggal dari kota.

Pendidikan yang berkualitas dan merata adalah jembatan menuju ekonomi kerakyatan sejati: rakyat yang cerdas, berdaya, dan berdaulat.

Menghidupkan Koperasi, Menguatkan Akar Ekonomi

Dalam sejarah bangsa, koperasi disebut sebagai soko guru perekonomian nasional. Namun dalam praktiknya, semangat itu lama tertidur. Di era Prabowo–Gibran, pemerintah mencoba membangunkannya kembali lewat program Koperasi Merah Putih. 

Targetnya ambisius. Membentuk 80 ribu koperasi baru yang memberi akses pembiayaan bagi pelaku UMKM dan menggerakkan ekonomi berbasis komunitas.

Kebijakan ini menyentuh nadi ekonomi rakyat kecil. Tak semua warga memiliki akses perbankan, tapi melalui koperasi, mereka bisa menabung, meminjam, dan membangun usaha bersama. Inilah bentuk ekonomi yang tidak hanya menumbuhkan, tapi juga memeratakan.

Layak diakui, arah kebijakan ekonomi Prabowo–Gibran patut diapresiasi. Di tengah tekanan global, perang dagang, dan dominasi ekonomi liberal, Indonesia berani mengambil jalan yang lebih nasionalis dan inklusif. Pemerintah tampak sadar bahwa kekayaan alam dan potensi manusia Indonesia cukup besar untuk menopang pembangunan yang mandiri.

Namun, ekonomi kerakyatan tak bisa dijalankan hanya dengan niat baik. Tantangan di lapangan begitu kompleks. Program MBG misalnya, tak lepas dari kritik mulai dari distribusi pangan, kualitas sanitasi, hingga kasus keracunan di beberapa daerah. Persoalan teknis semacam ini harus diselesaikan dengan pendekatan manajerial yang matang, bukan reaktif.

Begitu pula program koperasi dan Sekolah Rakyat. Tanpa tata kelola yang transparan, inovatif, dan bebas dari intervensi politik, semangat kerakyatan bisa terjebak dalam formalitas birokrasi. Korupsi, tumpang tindih regulasi, dan ketergantungan pada pusat bisa melemahkan ruh kemandirian rakyat yang ingin dibangun.

Ekonomi Kerakyatan di Tengah Gelombang Global

Praktik ekonomi kerakyatan selalu berhadapan dengan arus besar kapitalisme global. Negara-negara maju menekan dengan kebijakan tarif, diplomasi dagang, hingga investasi bersyarat. Dalam posisi seperti ini, pemerintah perlu keteguhan ideologis yakni menempatkan rakyat sebagai poros kebijakan, bukan sekadar objek statistik pembangunan.

Menjalankan ekonomi kerakyatan di Indonesia ibarat mengarungi samudra luas dengan kapal besar yang tak selalu mulus lajunya. Ombak bisa datang dari dalam negeri korupsi, ego sektoral, politik rente atau dari luar negeri yang memaksakan skema perdagangan tak adil. Tapi di situlah seninya: bagaimana pemerintah menavigasi antara kepentingan global dan kesejahteraan nasional.

Ekonomi kerakyatan bukan romantisme masa lalu, melainkan strategi masa depan. Sebab hanya dengan menghidupkan kembali ekonomi rakyat yang berkeadilan, berdaulat, dan mandiri Indonesia bisa benar-benar berdiri tegak sebagai bangsa besar di tengah percaturan dunia.

 

***

*) Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.