TIMES JAKARTA, JAKARTA – Di jantung birokrasi, sebuah mekanisme predator telah lama beroperasi dalam senyap. Dan tiba-tiba ada penangkapan Wakil Menteri Ketenagakerjaan (Wamenaker) Immanuel Ebenezer oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Peristiwa tak terduga. Kasus ini bukan sekadar insiden. Ini kulminasi dari sistem yang membusuk. Kewenangan sudah menjadi komoditas, perlindungan buruh menjadi alat pemerasan.
Sertifikasi Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) yang seharusnya menjadi perisai pelindung buruh, namun diubah menjadi instrumen pemeras. Modus operandi yang menunjukkan banalitas kejahatan birokratis.
Pejabat di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) diduga sengaja memperlambat penerbitan sertifikat K3. Sengaja menciptakan kebuntuan artifisial yang hanya bisa diselesaikan dengan uang pelicin. Pelicin hingga jutaan rupiah. Praktik ini menurut KPK sudah berlangsung sejak 2019, dan dana kelola diperkirakan mencapai Rp 81 miliar.
Ini menandakan adanya jaringan terorganisir yang mengakar lama. Keberhasilan Operasi Tangkap Tangan (20/8/2025), hasil sinergi KPK dan PPATK ini, telah membongkar gaya hidup mewah yang dibiayai dari keringat buruh.
Kisah Immanuel Ebenezer, atau Noel, adalah sebuah parodi kelam tentang idealisme yang terkikis oleh kuasa. Sosoknya merupakan personifikasi ironi: seorang "Aktivis 98", bagian dari generasi yang berjuang menggulingkan rezim korup, kini tersandung oleh praktik yang sama.
Latar belakangnya sebagai pejuang reformasi memberinya modal moral, namun rompi oranye KPK merobek jubah heroik lama. Perjalanan politiknya yang pragmatis, dari ketua relawan "Jokowi Mania" hingga "Prabowo Subianto Mania", membawanya ke posisi strategis. Namun, jurang antara retorika dan perbuatan terungkap dengan brutal.
Jejak digitalnya mengabadikan seruan berapi-api seperti "Hukum mati bagi koruptor", kata-kata yang kini menjadi bumerang yang menghantamnya telak. Personanya sebagai pembela buruh, yang sebelumya dibangun melalui sidak-sidak yang viral, kini dipandang sebagai kamuflase untuk menutupi praktik patgulipat di belakang panggung.
Penangkapan ini lebih dari sekadar penegakan hukum. Ini pesan politik yang kuat, babak pertama dari doktrin "terapi kejut" Presiden Prabowo Subianto. Panggungnya telah disiapkan sebelumnya dalam Pidato Kenegaraan.
Saat itu, Presiden mengidentifikasi korupsi sebagai "masalah terbesar bangsa" dan melontarkan ultimatum bahwa tidak akan ada impunitas berbasis afiliasi politik. Bahkan bagi anggota partainya sendiri.
Kurang dari seminggu kemudian, KPK bergerak, dan targetnya adalah personifikasi sempurna dari peringatan itu. Rangkaian peristiwa (dari pidato, penangkapan, hingga pemecatan kilat melalui Keppres) membentuk narasi koheren tentang era baru yang tak menoleransi korupsi.
Ini adalah sebuah "sinyal berbiaya" (costly signaling), di mana pengorbanan lingkaran sendiri mengirimkan pesan yang lebih kredibel daripada sekadar kata-kata.
Kasus ini sontak memicu dua narasi yang saling bertentangan. Sebagian melihatnya sebagai cermin gelap warisan rezim sebelumnya, di mana Noel adalah produk logis dari sistem transaksional yang memelihara kultur relawan yang lapar.
Di sisi lain, banyak yang memandangnya sebagai lompatan besar dan momentum bersih-bersih, bukti bahwa hukum tidak lagi tumpul ke atas.
Pada akhirnya, kasus ini menyoroti dilema fundamental setiap pemerintahan baru: paradoks personel warisan. Terapi kejut ini menjadi mekanisme bagi pemerintahan baru untuk membersihkan diri dari warisan problematik seraya menarik garis demarkasi yang tegas antara "dulu" dan "sekarang".
Warna oranye kini menjadi simbol penyeimbang yang menelanjangi segala gelar dan retorika. Di hadapannya, pekik anti-korupsi luruh menjadi bisu. Pertanyaannya kini tersisa: Apakah terapi kejut ini adalah awal dari penyembuhan, ataukah hanya kejang sesaat dari penyakit korupsi yang telah merasuk dalam ke sumsum tulang republik?
***
*) Oleh : Arief Rahzen, Pekerja Budaya yang Meminati Kajian Budaya dan Perubahan Masyarakat di Era Digital.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
Pewarta | : Hainor Rahman |
Editor | : Hainorrahman |