TIMES JAKARTA, JAKARTA – Rasanya belum genap setahun pelantikan kepala daerah serentak untuk Pilkada yang diselenggarakan pada 20 Februari 2025 lalu, namun sudah ada dua kepala daerah yang ditangkap KPK dalam operasi tangkap tangan (OTT).
Teranyar, yang cukup menyita perhatian publik, adalah tertangkapnya Gubernur Riau Abdul Wahid dalam kasus “jatah preman” sebesar Rp7 miliar, sehingga menambah panjang rekor Provinsi Riau sebagai daerah dengan jumlah kepala daerah terbanyak yang dicokok KPK.
Merujuk catatan KPK, sudah ada 171 bupati dan wali kota yang terjerat kasus korupsi, sedangkan untuk jabatan gubernur jumlahnya 30 orang. Sepanjang 2024 saja, ada lima kepala daerah yang tertangkap.
Mereka adalah Bupati Labuhanbatu Erik Adtrada Ritonga, Bupati Sidoarjo Ahmad Muhdlor Ali, Gubernur Bengkulu Rohidin Mersyah, Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor, dan terakhir Pj Wali Kota Pekanbaru, Risnandar Mahiwa. Mereka terjerat kasus korupsi dengan berbagai modus, jamaknya jual beli jabatan, suap dan pemerasan, serta penyalahgunaan kekuasaan lainnya.
Jika hendak menengok ke belakang, lingkaran setan korupsi kepala daerah hari ini yang semakin brutal dan masif merupakan cermin kegagalan otonomi daerah. Spirit otonomi daerah yang merupakan mandat reformasi mengenai pentingnya mewujudkan kemandirian daerah dan pemerataan pembangunan seakan digembosi bahkan dihabisi oleh perilaku khianat para kepala daerah.
Mereka menjelma menjadi raja-raja kecil dan oligarki lokal yang menghisap sumber daya alam daerah, memperdagangkan pengaruh dan kuasa untuk menebalkan pundi-pundi pribadi dan golongan, serta membiarkan rakyat bisu karena suara mereka dicuri saat Pemilu. Rakyat di daerah menjadi tertinggal, terjebak dalam pusaran arus pengangguran, kemiskinan, dan keterbelakangan.
Korupsi yang terjadi di Provinsi Riau sejatinya bukan sesuatu yang mengejutkan. Jika KPK bekerja lebih trengginas, bisa saja ada puluhan kepala daerah yang ditangkap tangan hari ini, dari Sabang hingga Merauke, dari level bupati/wali kota hingga gubernur.
Polanya sama, modusnya juga sama. Sekali lagi, jika KPK lebih gigih dalam memberantas korupsi kepala daerah, niscaya KPK akan berburu di kebun binatang. Begitu masifnya jumlah kepala daerah yang terjebak dalam dosa besar korupsi disebabkan oleh banyak hal.
Dalam konteks politik elektoral, kontestasi Pilkada langsung yang mereka ikuti membutuhkan logistik Pemilu yang besar, menembus angka Rp20-100 miliar. Konsekuensinya, mereka akan memikirkan bagaimana caranya balik modal.
Sistem politik yang digerakkan oleh infrastruktur politik bernama partai politik juga harus diperiksa secara saksama. Di era pescareformasi, kuasa partai politik begitu besar dalam menentukan kandidasi politik di level legislatif dan eksekutif.
Sayangnya, kuasa besar partai politik ini tidak diikuti oleh kesetiaan terhadap mandat reformasi dan daulat rakyat. Banyak partai politik terjebak dalam kepentingan elit dan oligarki, sehingga mereka yang bertarung dalam kandidasi bukanlah sosok yang mumpuni dalam kualitas dan integritas, tapi sekedar surplus isi tas.
Mereka ikut Pemilu karena mampu membayar mahar politik yang ditetapkan oleh elit partai politik. Ketika kandidat ini akhirnya terpilih, mekanismenya akan setali tiga uang dengan ongkos kampanye yang dikeluarkan, yakni berupaya sekuat mungkin untuk break even point dengan semua variabel biaya yang mereka keluarkan. Inilah musabab utama lahirnya korupsi yang menjadi habituasi kepala daerah produk Pemilu langsung.
Fenomena korupsi kepala daerah tentu menjadi suatu hal yang tida bisa dibenarkan. Korupsi kepala daerah merupakan nama lain untuk pembunuhan secara sistematis terhadap rakyat di daerah.
Bisa dibayangkan berapa banyak sekolah dan rumah sakit yang bisa dibangun dengan anggaran negara yang dikorupsi. Dibutuhkan solusi secara struktural dan kultural.
Pertama, partai politik harus melakukan seleksi kandidat secara jujur dengan menilai dan menekankan pada aspek kualitas dan integritas kandidat. Calon yang diusung seyogianya bukan calon yang suka “main di ujung”, tapi calon yang punya rekam jejak dan kontribusi nyata di masyarakat.
Kedua, pendidikan politik rakyat di daerah harus diperkuat agar mereka dapat memilih calon yang tepat dan amanah.
Terakhir, koruptor harus dihukum berat, bahkan dimiskinkan. Di sinilah urgensi untuk menyegerakan RUU Perampasan Aset menjadi undang-undang.
***
*) Oleh : Boy Anugerah, S.I.P., M.Si., M.P.P., Tenaga Ahli di DPR RI, Alumnus Magister Kebijakan Publik SGPP Indonesia dan Direktur Eksekutif Baturaja Project.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
| Pewarta | : Hainor Rahman |
| Editor | : Hainorrahman |