https://jakarta.times.co.id/
Opini

Stereotip Gender dalam Tradisi Merokok

Senin, 20 Januari 2025 - 11:32
Stereotip Gender dalam Tradisi Merokok Moh Gufron, Pendiri Komunalis.com.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Apakah merokok bagi perempuan merupakan perilaku yang tidak etis? Bagaimana konsekuensi moral dari perilaku ini? Dan mengapa rokok seringkali dikaitkan dengan persoalan gender?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut menarik untuk dibahas, mengingat masih banyaknya stereotip negatif terhadap perempuan perokok, baik dari kalangan laki-laki maupun kelompok perempuan yang dianggap "normal". 

Dalam konteks sosial dan budaya masyarakat kita, perempuan perokok masih dipandang sebagai kelompok minoritas. Stigma sosial ini telah lama mengakar dalam paradigma masyarakat, sehingga perempuan perokok kerap dianggap menyimpang atau "abnormal".

Rokok sendiri bukanlah hal baru dalam masyarakat kita. Penggunaannya telah dikenal jauh sebelum masa kemerdekaan. Sultan Agung, raja ketiga Mataram Islam misalnya, dikenal memiliki kebiasaan menghisap tembakau (Budhi Santosa, 2012). 

Meski demikian, rokok kemudian berkembang menjadi simbol kegagahan dan maskulinitas, sebagaimana tercermin dalam berbagai iklan rokok di Indonesia yang senantiasa menampilkan laki-laki sebagai "ikon" utamanya.

Di Amerika, tempat rokok dikembangkan, sejarah mencatat bahwa perempuan pernah menjadi target utama konsumen produk ini. Hal ini terlihat dari strategi pemasaran Philip Morris yang meluncurkan produk rokok dengan target gender spesifik. 

Strategi ini terbukti efektif, ditandai dengan peningkatan 110% tingkat merokok pada anak perempuan berusia 12 tahun setelah peluncuran produk tersebut (Allan M. Brandt, 2017). 

Meskipun penggunaan rokok di kalangan perempuan kemudian menurun akibat kampanye medis modern yang menyoroti bahaya rokok bagi perempuan, budaya merokok di kalangan perempuan bukanlah fenomena baru.

Seiring perkembangan zaman, fenomena perempuan merokok semakin jamak ditemui, terutama di kota-kota besar, baik di ruang privat maupun publik. 

Fenomena ini tidak muncul tanpa sebab; berbagai faktor berkontribusi terhadap konsumsi rokok di kalangan perempuan, dengan faktor lingkungan sebagai penyebab utama (Snow & Bruce, 2003).

Namun, mayoritas masyarakat masih memandang perilaku ini sebagai hal yang tabu dan tidak pantas. Setidaknya ada dua perspektif yang mendasari pandangan ini:
Pertama, dari perspektif gender, masyarakat kita cenderung mengidentikkan merokok dengan maskulinitas, sehingga kebiasaan ini menjadi norma yang terkonstruksi berdasarkan gender (Ann Oakley, 1972). 

Akibatnya, tertanam pemahaman bahwa rokok hanya layak dikonsumsi kaum Adam. Dalam masyarakat patriarkal seperti Indonesia, perempuan perokok menghadapi stigma sosial yang lebih berat dibandingkan laki-laki, karena perempuan selalu diidentikkan dengan citra feminin.

Kedua, melalui pendekatan sosiologis dengan teori "fungsionalisme" Durkheim (1893), perilaku yang dianggap menyimpang dari norma sosial dipandang sebagai ancaman terhadap harmoni sosial yang telah mapan. 

Kontekstualisasi teori ini memperkuat anggapan bahwa perempuan merokok adalah penyimpangan sosial yang berpotensi mengganggu stabilitas norma masyarakat.

Ironisnya, berbagai studi menunjukkan bahwa tembakau dan perempuan sebenarnya memiliki kaitan yang erat. Dalam pertanian tembakau, peran perempuan sangat signifikan. 

Mohamad Sobary (2016) menggambarkan perempuan dalam masyarakat petani tembakau sebagai "Ratu Drupadi" - sosok multiperan yang kuat, berpengaruh, dan mandiri. Perempuan bahkan menjadi subjek utama dalam pengelolaan pertanian tembakau, bukan sekadar pendukung kaum laki-laki.

Data Bank Dunia (2018) menunjukkan bahwa di sentra industri hasil tembakau seperti Kudus, Temanggung, dan Kediri, mayoritas tenaga kerja adalah perempuan. 

Penelitian Ratna Saptari (2020) di HM Sampoerna (Surabaya dan Jombang) juga mengungkapkan preferensi mempekerjakan perempuan karena dianggap lebih stabil dibandingkan pekerja laki-laki yang kerap terlibat aksi mogok kerja.

Realitas ini menghadirkan kontradiksi yang mencolok: kelompok yang memberi sumbangsih besar dalam industri tembakau dan rokok justru ”dihukum” atas konsumsi produk yang mereka hasilkan. 

Dalam konteks budaya, hal ini menunjukkan kegagalan dalam merawat identitas kulturalnya sendiri. Bukan karena kesalahan perempuan, melainkan akibat dominasi kelompok tertentu yang mencabut mereka dari akar budayanya sendiri.

Alienasi budaya ini seringkali tidak disadari masyarakat karena perempuan cenderung diposisikan sebagai objek, dengan peran dan perilakunya yang dianggap taken for granted. 

Ini bukan sekadar masalah ketimpangan ekonomi, melainkan hegemoni sosial budaya yang dipertahankan oleh masyarakat dan kelompok dominan. Paradigma yang terbentuk dianggap final, bahkan oleh kaum perempuan sendiri. 

Dampaknya, stigmatisasi ini semakin memperkuat posisi kelompok dominan untuk menyalahkan, bahkan menindas hak perempuan, sekaligus mengikis identitas dan budaya masyarakat.

***

*) Oleh : Moh Gufron, Pendiri Komunalis.com

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainorrahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.