https://jakarta.times.co.id/
Opini

Ekonomi Kekuasaan

Selasa, 15 Juli 2025 - 22:10
Ekonomi Kekuasaan Krisna Sujiwa, Dosen Sastra Inggris, FSBK, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta

TIMES JAKARTA, YOGYAKARTA – Beberapa hari lalu, publik Indonesia dikejutkan oleh beredarnya surat dari Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang ditujukan langsung kepada Presiden Indonesia, Prabowo Subianto. Surat itu bukan sekadar bentuk komunikasi antar kepala negara, tetapi mengandung nada tekanan yang kuat. 

Trump menyatakan bahwa Amerika Serikat akan mengenakan tarif sebesar 32 persen terhadap seluruh produk asal Indonesia mulai 1 Agustus, kecuali jika Indonesia bersedia membuka pasar dan menghapus hambatan-hambatan perdagangan yang dinilai merugikan kepentingan Amerika. 

Lebih lanjut, surat itu menyampaikan ajakan agar perusahaan Indonesia memindahkan produksinya ke Amerika Serikat, di mana mereka akan disambut dengan proses perizinan cepat. Jika Indonesia memilih untuk menaikkan tarif sebagai respons, maka angka tersebut akan ditambahkan ke tarif 32 persen. Surat ini, dengan segala implikasinya, menunjukkan pola relasi yang tidak seimbang antara negara adidaya dan negara berkembang.

Membaca surat Trump dengan kacamata poskolonial memberi kita pandangan yang lebih dalam tentang bagaimana politik internasional bekerja hari ini. Meskipun secara formal Indonesia telah merdeka sejak 1945 dan telah menjalin hubungan diplomatik yang setara dengan Amerika Serikat, pola komunikasi semacam ini memperlihatkan adanya warisan kolonial yang belum sepenuhnya hilang. 

Dalam perspektif poskolonial, seperti yang dikembangkan oleh Edward Said, relasi kuasa antara Barat dan Global Selatan bukan hanya berlangsung secara fisik, tetapi juga melalui wacana dan kebijakan. 

Negara-negara berkembang kerap kali diposisikan sebagai mitra yang "harus diarahkan" dan "perlu ditertibkan" oleh negara-negara maju. Dalam surat Trump, terlihat jelas bahwa Indonesia diperlakukan bukan sebagai mitra setara, melainkan sebagai pihak yang perlu "diberi pelajaran ekonomi."

Yang menarik, Indonesia bukan satu-satunya yang pernah menjadi sasaran pendekatan semacam ini. Negara-negara seperti Meksiko, Vietnam, dan bahkan India pernah mengalami tekanan serupa dari Amerika Serikat, terutama selama masa pemerintahan Trump. 

Dalam setiap kasus, narasinya hampir seragam: negara-negara ini dianggap menghambat perdagangan bebas dan perlu membuka pasarnya lebih lebar. Namun, jika kita mencermati, justru negara-negara Barat-lah yang kerap memberlakukan subsidi dan proteksi terhadap industrinya sendiri. 

Ketika negara-negara Global Selatan melakukan hal yang sama demi melindungi industri domestik mereka, mereka segera dituduh tidak kompetitif atau anti-pasar.

Bagi Presiden Prabowo, surat ini menjadi ujian penting di awal masa jabatannya. Ia menghadapi dilema klasik yang juga pernah dihadapi pemimpin negara berkembang lainnya: akankah tunduk pada tekanan ekonomi global atau mengambil sikap berdaulat? Di sinilah warisan kolonial memainkan peran terselubung. 

Sejak masa penjajahan, bangsa Indonesia berkali-kali diposisikan sebagai penyedia bahan mentah bagi pasar global. Kini, bentuk tekanan itu datang dalam rupa tarif dan diplomasi ekonomi, tetapi esensinya tetap sama: mempertahankan posisi subordinat negara-negara Selatan dalam tatanan global.

Tarif bukan lagi sekadar alat kebijakan fiskal, melainkan instrumen dominasi geopolitik. Ketika Amerika Serikat mengancam untuk menaikkan tarif terhadap produk Indonesia, mereka tidak hanya sedang menghitung neraca perdagangan, melainkan sedang memperkuat posisi hegemoniknya di tengah persaingan global. 

Negara-negara seperti Indonesia dihadapkan pada tantangan besar: bagaimana mempertahankan kedaulatan ekonomi di tengah arus globalisasi yang tidak setara.

Namun, jalan keluar tetap ada. Negara-negara Global Selatan perlu membangun solidaritas dan kerja sama yang lebih erat, seperti melalui ASEAN, atau forum kerja sama lainnya. Dalam menghadapi tekanan dari negara-negara adidaya, kekuatan kolektif akan jauh lebih efektif daripada respons individual. 

Presiden Prabowo memiliki peluang untuk mengambil sikap tegas dan bersejarah, bukan dengan menolak kerja sama, melainkan dengan memperjuangkan bentuk kerja sama yang adil dan setara. Sebuah sikap yang tidak hanya menunjukkan kedaulatan ekonomi, tetapi juga martabat sebagai bangsa yang merdeka.

Surat Trump mungkin ditulis dengan bahasa diplomatik, namun isinya mencerminkan warisan panjang dominasi global. Tanpa kesadaran poskolonial, kita bisa terjebak dalam pola lama yang terus berulang: menjadi pasar bagi kepentingan asing, tanpa kuasa untuk menentukan arah ekonomi sendiri. 

Sudah saatnya Indonesia dan negara-negara Global Selatan membaca tanda zaman, dan memilih berdiri sejajar, bukan di bawah bayang-bayang kekuatan lama yang hanya berganti wajah.

***

*) Oleh : Krisna Sujiwa, Dosen Sastra Inggris, FSBK, Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.