https://jakarta.times.co.id/
Opini

Kerusuhan Massa, Perilaku Kolektif dan Frustasi Publik

Kamis, 04 September 2025 - 11:06
Kerusuhan Massa, Perilaku Kolektif dan Frustasi Publik Budi Prayitno, Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara.

TIMES JAKARTA, JAKARTA – Gelombang kasus kerusuhan yang beberapa hari terakhir terjadi di sejumlah wilayah di Indonesia menunjukkan bahwa dinamika sosial dan politik yang ada di masyarakat kita saat ini masih rentan terhadap gejolak kolektif. 

Aksi demontrasi yang semula diawali dengan tuntutan buruh terkait penghapusan sistem outsourcing dan penolakan upah murah pada Kamis (28/8/2025) itu berujung pada kejadian tragis meninggalnya driver Ojol Affan Kurniawan yang terlindas kendaraan taktis (rantis) aparat Brimob.

Di tinjau dari sudut pandang ekonomi, tragedi yang menimpa Affan Kurniawan itu seolah menjadi titik kulminasi kemarahan masyarakat atas ketidaksetaraan distribusi kesejahteraan yang masih terjadi di Indonesia. 

Tingginya angka pengangguran, minimnya lapangan pekerjaan, kemiskinan, akses ekonomi yang sulit, serta disparitas antara yang kaya dan miskin semakin memperkuat rasa ketidakadilan.

Sementara itu ditinjau dari sudut pandang politik, ketidakpercayaan masyarakat terhadap elit politik melalui proses legislasi yang tidak transparan dengan adanya kenaikan tunjangan bagi anggota DPR, praktik berburu rente di lingkar kekuasaan, korupsi, kolusi, nepotisme dan penegakan hukum yang tidak adil semakin menumbuhkan rasa ketidakpuasan publik.

Perilaku Kolektif

Apa yang kita saksikan hari-hari ini berupa kerusuhan massa yang melakukan pembakaran sejumlah fasilitas publik, seperti halte busway, kantor polisi, instansi pemerintah, mobil serta kendaraan bermotor, merupakan ekses atas ketidakpuasan tersebut. 

Ditinjau dari teori Perilaku Kolektif sebagaimana disampaikan Gustave Le Bon dalam bukunya The Crowd: a study of the Popular Mind, perilaku kolektif yang menyulut aksi kerusuhan di sejumlah wilayah di Indonesia muncul karena adanya frustasi publik atas tekanan ekonomi, kebuntuan hidup, serta perasaan senasib.

Tragedi Affan Kurniawan menjadi penyulut atas frustasi publik yang kemudian mendorong mereka untuk bereaksi bersama. Perasaan senasib dan sepenanggungan inilah yang kemudian menjadi bahan yang mudah terbakar ketika orang masuk dalam kerumunan hingga kehilangan kontrol rasional akibat terhipnotis oleh jiwa massa. 

Frustasi yang dirasakan individu itu kemudian menyatu menjadi kemarahan bersama dan mewujud dalam bentuk kerusuhan. Sehingga tidak heran jika kita menyaksikan di layar televisi ataupun media sosial bagaimana perilaku massa cenderung emosional, irasional dan mudah diprovokasi.

Kasus kerusuhan dengan eskalasi yang meluas di sejumlah wilayah ini tentu harus dijawab pemerintah dengan melakukan sejumlah perubahan, khususnya reformasi sektor ekonomi dan politik. 

Jangan sampai kasus ini bereskalasi secara terus menerus seperti yang pernah menimpa Presiden Tunisia, Zine El Abidine Ben Ali yang digulingkan pada tahun 2011 silam serta menjadi penanda gelombang Arab Spring yang menyebar ke berbagai negara di Timur Tengah dan Afrika Utara. 

Sebagai pengingat, Zine El Abidine Ben Ali terguling setelah seorang pedagang kaki lima bernama Mohammed Bouazizi membakar diri karena dagangannya disita aparat. Peristiwa ini kemudian memantik demonstrasi besar-besaran dan menjadi simbol perlawanan rakyat kecil terhadap ketidakadilan.

Meski tidak bisa disamakan, tetapi ada pemicu laten yang hampir sama yang dirasakan masyarakat kita akhir–akhir ini dan sewaktu-waktu bisa meledak yaitu perasaan kolektif yang hinggap dibenak masyarakat kita terhadap kondisi ekonomi dan politik bangsa ini yang sedang tidak baik-baik saja. 

Ekonomi tidak tumbuh dengan baik sebagaimana klaim pemerintah. Elite politik justru mempertontonkan banalitas dan nir empati. 

Bukan Fenomena Tunggal

Dengan mengesampingkan aktor intelektual di balik berbagai kasus kerusuhan serta para penumpang gelap (free riders), kerusuhan yang terjadi saat ini bukanlah fenomena tunggal yang berdiri sendiri. Namun merupakan hasil interaksi yang kompleks antara faktor sosial, politik dan ekonomi. 

Pemerintahan Prabowo tidak bisa hanya bertumpu pada pendekatan keamanan saja ketika melihat kasus kerusuhan yang berulang kali terjadi, tetapi lebih jauh dari itu pemerintah harus mampu menyentuh akar masalah utama sebagaimana diutarakan di atas yakni keadilan sosial, tata kelola pemerintahan yang efektif dan transparan, serta akses ekonomi yang inklusif. 

Tanpa itu, kerusuhan sosial dengan berbagai dalih akan mudah timbul dan mempengaruhi stabilitas ekonomi, politik dan pemerintahannya.

***

*) Oleh : Budi Prayitno, Analis Kebijakan Lembaga Administrasi Negara.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

Pewarta : Hainor Rahman
Editor : Hainorrahman
Tags

Berita Terbaru

icon TIMES Jakarta just now

Welcome to TIMES Jakarta

TIMES Jakarta is a PWA ready Mobile UI Kit Template. Great way to start your mobile websites and pwa projects.