TIMES JAKARTA, MALANG – Kondisi Pendidikan di Desa sudah menjadi rahasia umum ketertinggalan kualitas dan sarana prasarana yang digunakan. Berbanding jauh dari pendidikan di Kota, meskipun dengan regulasi yang sama. Rasa-rasanya penjajahan pendidikan kolonialis terhadap anak bangsa secara kultural kembali terjadi.
Pendidikan dengan kualitas yang merata, tak sempurna dirasakan oleh seluruh anak bangsa. Ketimpangan ini lah yang mestinya harus di cermati dengan baik oleh para pemangku kebijakan, sebelum membuat regulasi. Artinya melakukan investigasi langsung terhadap daerah-daerah dengan status pendidikan tertinggal. Terutama di pelosok Desa.
Dalam perjalanan Penulis ke suatu daerah di Kabupaten Sampang, Kecamatan Banyuates, Desa Lar Lar. Penulis tertegun saat melihat konstruksi lembaga pendidikan yang masih menggunakan rumah papan dan akses jalan yang hanya bisa dilewati sepeda motor. Itu pun melewatinya dengan susah payah, sebab jalannya berlobang.
Ironisnya, siswa siswi di sekolah tersebut belajar dengan kepanasan dan kehujanan sebab atap yang berlubang dan tembok papan yang renggang. Terganggu oleh debu jalanan. Serta menggunakan tikar sebagai alas tempat duduknya.
Namun bagi mereka kondisi itu hal yang biasa. Mau bagaimana lagi jika sudah sedemikian rupa kondisi Desanya. Hanya perasaan pasrah yang bisa mereka terima. Ketika penulis tanyakan. Benarkah kondisi belajar yang sedemikian rupa nyaman? Salah satu guru dan siswa menjawab. Sebenarnya tidak. Bagaimana lagi. Kami hanya bisa menikmati pendidikan dengan kondisi seperti ini.
Kami sebenarnya juga berharap agar Pemerintah dan Dinas Pendidikan dapat membantu kami memenuhi fasilitas belajar yang lebih baik lagi. Sehingga kami dapat berkompetisi dengan anak-anak yang ada di Kota, dengan berbagai macam jenis keterampilan.
Keterbelakangan ini lah yang membuat anak-anak susah untuk memahami pelajaran. Dan terlihat beberapa anak di kelas 5 belum bisa baca. Apalagi ingin di latih kemampuan kognitif lainnya. Tentu tidak mungkin. Alih-alih kami dewan guru berinisiatif untuk lebih melatih keterampilan lainnya yang berkaitan dengan pembangunan karakter dan prinsip hidup.
Barangkali kondisi tersebut juga terdapat di beberapa daerah lain? Dari sini terlihat dengan jelas bahwa pemerintah tidak betul-betul melaksanakan pemerataan pendidikan. Sebagai mana yang sering disampaikan bahwa pendidikan telah merata. Jika rujukannya kota, iya. Namun tidak terjadi untuk di pelosok Desa.
Saya sampai heran kenapa masih tetap ada dikotomi kebijakan antara Kota dan Desa? Bukanya pemerataan pendidikan harus dirasakan oleh seluruh anak bangsa tanpa terkecuali. Jika demikian fakta dilapangan. Maka kerja Kementerian pendidikan, kebudayaan dan teknologi tidak implementatif dan cenderung mengejar popularitas program.
Terkesan aneh bukan, dengan anggaran sangat besar kita masih melihat ketimpangan fasilitas pendidikan. Apakah selama ini anggaran pendidikan hanya di distribusikan kepada daerah perkotaan saja? Jika demikian yang terjadi. Yang tertinggal akan selamanya tertinggal. Maka tidak akan pernah kita berhasil membangun kota dari Desa, sebagaiman tujuan besar Presiden Joko Widodo.
Pendidikan menjadi garda terdepan kemajuan. Jika ingin maju. Majukan pendidikan. Didik generasi muda bangsa sebagai mana yang kita harapkan bersama. Bangsa ini sangat lah kaya. Cerdaskan manusianya, maka kekayaannya pun untuk bangsanya. Bukan justru untuk bangsa lain. Sebagaimana yang terjadi belakangan ini.
***
*) Penulis: Hainor Rahman, Mahasiswa Prodi Pendidikan Agama Islam, Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
Pewarta | : |
Editor | : Hainorrahman |