TIMES JAKARTA, MALANG – Menulis itu tradisi kuno, orang-orang lebih butuh sesuatu yang memberikan manfaat praktis, ketimbang sekadar tulisan, terlebih dengan hadirnya teknologi yang kian mutakhir.
Sederhana saja, apakah dengan kehadiran lampu bohlam, lantas lentera dan lilin tidak lagi dibutuhkan? Tentu tidak, bukan. Bahkan, seringkali ia menjadi penerang paling dicari kala kerusakan tak terdeteksi terjadi pada arus listrik di gardu induk.
Belakangan, ketika melubernya teknologi informasi yang semakin memanjakan dengan harapan menjadi langkah awal kemajuan. Alih-alih melokomotofi itu, justru babak lain dari masalah, baru saja ditabuh. Hal ini menuntut bukan hanya para tetua, sesepuh turun gunung, tapi juga mendesak peran generasi milenial melayakkan diri untuk ambil andil.
Dalam the Death of Expertise (Matinya Kepakaran), dikemukakan bahwa keterhubungan orang-orang ke dalam jagad maya dengan rerimbunan data bernama Internet of Thing (IoT), memicu bias informasi. Lebih jauh Tom Nichols, guru besar Naval War Collage yang satu generasi dengan Mary Aiken penulis Cyber Effect dalam bukunya ini, mengistilahkan the "New Journalism", Jurnalisme gaya baru. Adalah bahwa matinya kepakaran disebabkan oleh media yang hanya mengutip sebagian saja dari pendapat pakar. Berita disesuaikan dengan pesanan atau permintaan, tanpa pertimbangan asas baik-buruk, benar-salah, apalagi indah dan tidak indahnya bagi tatanan dan peradaban.
Sebagian media tidak lagi menjadi ruang pendidikan bagi masyarakat, melainkan biang kegaduhan yang sedemikian mengganas di abad yang tak hanya berdampak fisik, tapi juga menggerus kedirian hingga meranggasnya keimanan ke titik nadir terendah peradaban. Di sinilah urgensi menulis mendapati polanya, terutama bagi para pemuda. Mau tidak mau menulis menjadi "jihad" untuk menangkal berita hoaks, ujaran kebencian, politik SARA dan sejenisnya yang bersarakan di mana-mana. Ia menjadi riset tersendiri yang bertugas menyeleksi, mendaur ulang sekian banyak informasi yang bertebaran di dunia maya. Demikianlah, menulis—yang dimulai dari riset dan membaca—menajdi sangat penting. Tak ayal, budaya literasi di tengah kepungan budaya instan dan jurnalisme gaya baru seharusnya menjadi concern para milenial, santri dan tentu saja mahasiswa.
Lalu mengapa harus tulisan? Di antara banyak hal yang digunakan untuk menyampaikan informasi, merekam sejarah dan sebagainya, tulisanlah yang paling detail dan sangat sedikit biasnya. Di samping itu, menulis berpengaruh pada cara baca. Orang yang membaca tanpa tujuan menulis biasanya akan membaca sekenanya saja. Lain halnya dengan membaca untuk menulis. Sesuntuk apapun atau setebal bagaimanapun buku, penulis selalu berupaya keras membacanya, bahkan mengulanginya berkali-kali hingga mendapatkan dan memahami data. Artinya, cara terbaik untuk membaca adalah dengan menulis.
Segendang sepenarian dengan itu, menulis menjadi pemungkin paling efektif untuk membaca gerak perubahan. Bukankah yang paling adaptif adalah yang terkuat dan akan terus hidup? Di satu sisi upaya menjejaki alam pikiran, kedirian, dan memotret konstelasi (ke)budaya(an) dan kemanusiaan lebih karib di sisi lain.
Begini, apakah Anda pernah menulis diari dan membacanya di pekan ketiga bulan itu? Rerupanya, menulis menyadarkan kita betapa banyak hal yang perlu direnung-insyafi di setiap momen. Hanya saja, seringkali terlupakan karena sangat halus dan tidak diabadikan dengan tulisan. Dengan kata lain, ia menjadi sebentuk muhasabah, tapi bukan muhasabah biasa, melainkan muhasabah yang ilmiah.
Tak perlu jauh-jauh mencari bukti, bagaimana menulis memberikan sumbangsih besar. Agama dan ideologi serta seruan dalam penyebaran dan pelestariannya menjadikan menulis sebagai jantung pacu terhandal. Sebut saja Injil, Tipitaka, Quran, Taurat, Avesta, Bagavad Ghita, dan ribuan buku bahkan jutaan tafsir atas kitab suci dari pelbagai agama dan ideologi dengan sedemikian rupa pendekatan tersebar di rumah-rumah ibadah, perpustakaan dan tokoh-tokoh buku. Inilah yang diserukan oleh Marquez, Penulis One Hundred Years of Solitude: Cara terbaik yang membuat seseorang dapat menjalankan revolusi adalah menulis sebaik apa yang dapat dia lakukan.
Belum cukup ya? Baik, David Wallace dalam "Uninhabitable Earth", Bumi Yang Tak Layak Huni, misal, menyatakan bahwa Jakarta akan tenggelam sekitar 2050 akibat iklim tak terkendali dari efek rumah kaca dan limbah industri di seluruh dunia (Semoga saja keliru). Saya menduga kuat "pemindahan" ibu kota ke Kalimantan dipengaruhi salah satunya oleh riset ini selain alasan politis dan ekonomi, tentunya. Jika benar demikian, menulis adalah upaya menyelamatkan negara dan bangsa dari segala ancaman, baik bencana alam, syahwat politik, ekonomi, korupsi, penyebar hoaks, ormas radikal, monaslimin, gerombolan kadal gurun maupun dedengkot gerakan 212.
Bukan hanya itu, sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia, setelah perang Aceh 1907, juga menjadikan menulis sebagai ranah perjuangan yang dinamai mimbar tulisan. Proklamasi dan undang-undang adalah contoh kongkrit akan hal ini. Pramoedya Antara Toer dalam tetralogi melakukan kilas balik bagaimana Tirto Adi Suryo, bapak jurnalis Indonesia yang disembunyiian namanya sekian generasi melawan dengan menulis. Dan, tentu kita masih sama-sama ingat di buku keempatnya, operasi pengarsipan yang diistilahkan dengan pe-rumah kaca-an menjadi pisau pelacak jejak. Mirip dengan pengarsipan paus sastra Indonesia H.B Jassin di Jakarta yang sekarang diteruskan Muhiddin M Dahlan di Jogjakarta dengan Radio Buku dan Warung Arsipnya. Olehnya, ia menjadi bagian tak terpisahkan dari perjuangan Indonesia, baik dalam pendidikan maupun upaya pemanusiaan.
Walhasil, menulis bukan hanya merancang masa depan, melayani pengetahuan, membela NKRI, dan memajukan bangsa, tapi juga bagian dari penggagas peradaban. Bahkan, ia adalah peradaban itu sendiri.
Nah, terakhir, karena ini adalah esai yang kerapkali dimaknai percobaan atau coba-coba oleh para esais, cobalah menulis! Kapan? Sekarang. Di mana? di tempat kita membaca saat ini.
***
*) Penulis oleh: Burhanuddin Ramli adalah Mahasantri Pesantren Luhur Baitul Hikmah dan Mahasiswa STF AL-Farabi Kelahiran Wajo, Sulawesi Selatan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menanyangkan opini yang dikirim.
Artikel ini sebelumnya sudah tayang di TIMES Indonesia dengan judul: Menulis Tidak Penting?
Pewarta | : |
Editor | : Yatimul Ainun |