TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sebuah video dengan klaim efek radiasi 5G pada hewan beredar di aplikasi Telegram. Video tersebut diunggah di Grup Telegram congor_istana pada 13 Agustus 2021.
Video berdurasi 33 detik itu memperlihat hewan sejenis burung yang mati. Pengisi suara dalam video itu menyebut bukan hanya burung, bebek juga terkena imbas jaringan 5G. Bebek yang berenang di dekat tiang pemancar 5G. Bebek bereaksi aneh dengan menceburkan kepalanya ke air untuk menghindari radiasi. Disebutkan oleh narator dalam video, semua informasi tersebut berasal dari halaman Facebook John Kuhles.
Pengunggah video di Grup telegram congor_istana menyertakan narasi berikut:
ini masih efek radiasi 5G pada hewan,, bagaimana efek radiasi 5G terhadap manusia apalagi terhadap yg sdh difucksin bila 5G sdh aktif di Dunia/Indonesia ??
Sumber: Tangkapan Layar Telegram
CEK FAKTA
Berdasarkan penelusuran Tim Cek Fakta TIMES Indonesia, klaim radiasi 5G berefek pada hewan, bahkan bisa membunuh, tidak benar. Tidak ada bukti ilmiah yang mendukung klaim tersebut.
Salah satu gambar yang identik dalam video tersebut ditemukan pada artikel bbc.com berjudul "The mystery of mass bird deaths". Artikel itu membahas misteri kematian ribuan burung yang ditemukan warga di negara bagian Arkansas, Amerika Serikat, pada 2011.
Sumber: The mystery of mass bird deaths | BBC
Melansir cnn.com, menurut laporan komisi perikanan Arkansas, kematian massal ribuan burung hitam tersebut disebabkan “blunt force trauma” yakni benturan burung-burung tersebut pada obyek keras seperti rumah, pohon, tiang listrik, saat mereka beterbangan.
Sumber: Report gives answers to mass bird deaths in Arkansas | CNN
Selanjutnya, mengutip covid.go.id, gambar lainnya pada video tersebut adalah fenomena kematian massal burung jalak di Huijgenspark, Den Haag, Belanda pada Oktober 2018. Fenomena ini beberapa tahun lalu juga menjadi konspirasi yang dikaitkan dengan efek jaringan 5G. Namun, klaim ini telah dibantah oleh otoritas setempat.
Menurut lembaga penelitian Wageningen Bioveterinary Research (WUF), dikutip dari reuters.com, kemungkinan besar penyebab utama kematian adalah keracunan buah yew. Lebih lanjut, biro antena pemerintah Belanda menyebut tidak ada pemasangan antena 5G di dekat taman Huijgenspark. Selain itu semua tiang transmisi di Belanda terikat oleh standar keselamatan serta pengukuran radiasi telah di bawah standar keselamatan.
Sumber: False claim: Pictures link bird deaths to new 5G mast in the Netherlands | REUTERS
Mengenai gambar bebek mencelupkan kepalanya di air untuk menghindari radiasi, tidak benar. Perilaku bebek-bebek tersebut adalah hal yang alamiah. Bebek tersebut berjenis “Dabbling Duck” atau disebut bebek perenang. Mereka hidup di daerah air dangkal dan sesekali mencelupkan kepalanya di air untuk mengambil makanan seperti ikan atau serangga. Mallards, northern shovelers, American wigeons, gadwalls, and cinnamon teals, semuanya termasuk spesies bebek perenang.
Sumber: [SALAH] Hewan Mati Bergelimpangan karena Efek Radiasi 5G | covid.go.id
Dilansir healthline.com, penelitian mengenai efek jaringan 5G pada manusia telah dilakukan sekitar tahun 2017 hingga yang terbaru tahun 2021. Efek 5G yang ditemukan di antaranya adalah pemanasan jaringan sel pada manusia, gangguan kognitif, dan kanker. Meski demikian, para peneliti belum mendapatkan konklusi yang konsisten, penelitian lebih lanjut masih perlu dilalukan. Hasil ini juga berlaku pada hewan, bahwa para peneliti masih perlu melalukan kajian lebih lanjut mengenai efek jaringan 5G pada hewan.
Sumber: Is 5G Harmful to People? Separating Facts Myths | Healthline
KESIMPULAN
Menurut penelusuran Tim Cek Fakta TIMES Indonesia, video yang diklaim efek radiasi 5G pada hewan, tidak benar. Tidak ada bukti ilmiah bahwa efek jaringan 5G menyebabkan gangguan kesehatan bahkan kematian pada manusia dan hewan.
Menurut misinformasi dan disinformasi yang dikategorikan First Draft, informasi tersebut termasuk dalam kategori Misleading Content (Konten Menyesatkan). Misleading terjadi akibat sebuah konten dibentuk dengan nuansa pelintiran untuk menjelekkan seseorang maupun kelompok. Konten jenis ini dibuat secara sengaja dan diharap mampu menggiring opini sesuai dengan kehendak pembuat informasi.
Misleading content dibentuk dengan cara memanfaatkan informasi asli, seperti gambar, pernyataan resmi, atau statistik, akan tetapi diedit sedemikian rupa sehingga tidak memiliki hubungan dengan konteks aslinya.
----
Cek Fakta TIMES Indonesia
TIMES Indonesia adalah media online yang sudah terverifikasi faktual di Dewan Pers. Dalam kerja melakukan cek fakta, TIMES Indonesia juga bekerja sama dengan 23 media nasional dan lokal, untuk memverifikasi berbagai informasi hoaks yang tersebar di masyarakat.
Jika anda memiliki informasi seputar hoaks yang ingin kami telusuri dan verifikasi, silakan menyampaikan kepada tim CEK FAKTA TIMES Indonesia di email: [email protected] atau [email protected] (*)
Pewarta | : Imadudin Muhammad |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |