TIMES JAKARTA, JAKARTA – Dalam rapat dengar pendapat yang digelar di Gedung DPR RI pada Rabu (14/5/2025), isu penting terkait penyelenggaraan ibadah haji dan umrah kembali menjadi sorotan. Anggota Komisi VIII DPR RI, M. Husni, menyoroti salah satu masalah besar yang dihadapi oleh masyarakat Indonesia dalam melaksanakan ibadah haji dan umrah, yaitu harga tiket pesawat domestik yang terus melonjak tinggi.
Kondisi ini, menurut Husni, menyebabkan banyak penumpang dari wilayah Sumatra memilih untuk terbang melalui Kuala Lumpur, Malaysia, terlebih dahulu, sebelum melanjutkan perjalanan mereka ke daerah tujuan di Indonesia. Praktik ini mengarah pada berkurangnya pendapatan negara, karena banyak penumpang yang lebih memilih maskapai asing ketimbang maskapai domestik.
Menurut Husni, perbedaan harga yang signifikan ini berdampak pada ekonomi negara. Sebagai contoh, tiket dari Medan menuju Jakarta bisa mencapai Rp2 juta, sementara jika memilih transit melalui Kuala Lumpur, biaya yang dikeluarkan penumpang bisa setengahnya.
"Devisa negara mengalir ke luar karena penumpang lebih memilih transit di luar negeri," ujarnya.
Dalam konteks ini, Husni menekankan bahwa salah satu penyebab mahalnya tiket domestik adalah harga bahan bakar pesawat, atau avtur, yang sangat tinggi di Indonesia.
“Biaya operasional maskapai dalam negeri harus dievaluasi agar lebih kompetitif,” tambahnya. Namun, meskipun jarak tempuhnya lebih jauh, masyarakat masih memilih untuk terbang dengan maskapai asing karena harga yang jauh lebih murah.
Hal ini semakin relevan dengan pembahasan revisi Undang-Undang (UU) No. 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Kementerian Perhubungan (Kemenhub) mengusulkan agar dalam UU tersebut dimuat klausul yang memprioritaskan penggunaan maskapai nasional untuk penerbangan haji dan umrah. Direktur Angkutan Udara Kemenhub, Agustinus, mengungkapkan bahwa saat ini penyelenggaraan ibadah haji dan umrah masih didominasi oleh maskapai asing.
“Kami mengusulkan agar dalam revisi UU ini dimasukkan klausul afirmatif untuk memprioritaskan maskapai nasional dengan tetap memenuhi persyaratan teknis dan administratif,” kata Agustinus.
Lebih lanjut, Kemenhub juga mengusulkan pengembangan terminal khusus di setiap bandara embarkasi. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan kenyamanan, kelancaran, serta pelayanan yang lebih manusiawi, terutama bagi jemaah lansia dan disabilitas.
"Terminal umum yang digunakan saat ini sering menyebabkan kepadatan dan menurunkan kenyamanan jemaah," jelas Agustinus. Oleh karena itu, terminal khusus yang lebih terorganisir dan nyaman menjadi prioritas utama.
Selain itu, pengelolaan transportasi udara juga diusulkan untuk dilakukan dengan kontrak jangka panjang. Kontrak seperti ini, menurut Agustinus, akan memberikan kepastian bagi operator maskapai nasional untuk berinvestasi pada pengadaan armada, pelatihan awak pesawat, dan peningkatan layanan.
“Dengan kontrak jangka panjang, kita bisa mendapatkan harga yang lebih baik dan menghindari sewa pesawat mendadak yang biasanya lebih mahal dan berisiko,” katanya.
Pada tahun ini, Indonesia memperoleh kuota jemaah haji sebanyak 221.000 jemaah, yang terdiri atas 203.320 jemaah haji reguler dan 17.680 jemaah haji khusus. Pembahasan tentang revisi UU Haji dan Umrah ini sangat penting mengingat tingginya angka jemaah yang berangkat setiap tahun. Oleh karena itu, pemerintah harus benar-benar memastikan bahwa layanan transportasi haji dapat diakses dengan harga yang lebih terjangkau dan kualitas yang terbaik.
Namun, tantangan besar lainnya yang harus dihadapi adalah pemeriksaan kelayakan pesawat yang digunakan dalam penerbangan haji. Kemenhub mengusulkan agar pesawat yang digunakan untuk penerbangan haji harus memenuhi standar audit teknis dan operasional yang ketat.
“Kami mengusulkan agar pesawat yang digunakan dalam penerbangan haji wajib memenuhi standar yang dilaporkan kepada Direktorat Jenderal Perhubungan Udara,” kata Agustinus. Ini untuk memastikan bahwa penerbangan haji tidak hanya lancar tetapi juga aman.
Revisi UU Haji dan Umrah ini menjadi langkah strategis yang sangat diperlukan untuk memastikan kenyamanan, keselamatan, dan efisiensi layanan haji dan umrah, terutama dalam sektor transportasi. Seiring dengan meningkatnya jumlah jemaah dan kompleksitas operasional, pemerintah perlu segera mengambil langkah konkret untuk mendukung pengelolaan ibadah haji dan umrah di Indonesia.
Dengan adanya kebijakan yang mendukung penggunaan maskapai nasional, pengembangan infrastruktur di bandara embarkasi, serta pengawasan ketat terhadap kelayakan pesawat, diharapkan penyelenggaraan ibadah haji dan umrah di Indonesia akan semakin efisien dan dapat memberikan manfaat yang lebih besar bagi negara dan masyarakat.(*)
Pewarta | : Rafyq Panjaitan |
Editor | : Imadudin Muhammad |