TIMES JAKARTA, JAKARTA – Sebagai upaya pencegahan risiko penyakit tidak menular dari produk yang tinggi kandungan gula, garam dan lemak (GGL), Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI) dan Forum Warga Kota (FAKTA) mendorong pemberlakuan label depan kemasan pada produk-produk pangan olahan dan siap saji.
“Sejumlah bukti ilmiah sudah menunjukkan label depan kemasan itu efektif membantu konsumen untuk menghindari produk makanan tinggi gula, garam, dan lemak yang dapat meningkatkan risiko penyakit tidak menular,” ucap Project Lead for Food Policy CISDI, Nida Adzilah Auliani, saat media briefing di Jakarta, Rabu (14/5/2025).
Nida mengungkapkan upaya CISDI dan FAKTA mendorong pemberlakuan label depan kemasan karena Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tengah menyusun peraturan tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan dan bahkan sebelumnya BPOM telah memperkenalkan label “Pilihan Lebih Sehat” sejak 2019 lalu.
“Sayangnya, label ini belum mampu secara langsung menunjukkan kadar gula, garam, dan lemak (GGL) dalam produk makanan. Padahal, kandungan GGL penting diketahui konsumen sehingga dapat mengontrol asupan harian dan mengurangi risiko penyakit seperti diabetes, hipertensi, dan penyakit kardiovaskular,” ungkapnya
Nida menjelaskan, BPOM tahun ini menyederhanakan tiga peraturan yang berkaitan dengan informasi nilai gizi pada pangan olahan menjadi satu aturan. Atas upaya tersebut, CISDI mengapresiasi langkah ini sebagai bagian dari upaya memperkuat kebijakan pangan yang lebih mendukung kesehatan masyarakat, dan telah menyampaikan sejumlah masukan konstruktif kepada BPOM.
“Namun, sebagian masukan tersebut belum sepenuhnya diakomodasi dalam draf regulasi terbaru. Misalnya, dalam rancangan peraturan tahun ini, BPOM masih memilih untuk menerapkan label “Pilihan Lebih Sehat” secara sukarela,” jelasnya.
Sementara itu, rencana pemerintah menerapkan “nutri-level”, label makanan sehat serupa Nutri-Grade di Singapura dan belum didasarkan pada kajian ilmiah yang kuat dan belum melibatkan partisipasi publik secara transparan,” sambungnya.
Menurutnya, label depan kemasan terdiri dari berbagai jenis, seperti sistem endorsement (Label Pilihan Lebih Sehat), label peringatan (warning label), Nutri-Score, dan Guideline Daily Amount (GDA) dan salah satu jenis label kemasan yang terbukti efektif berdasarkan sejumlah studi adalah label peringatan depan kemasan.
“Sesuai namanya, label peringatan menyediakan informasi zat gizi yang perlu dibatasi seperti gula, garam, dan lemak secara langsung dengan logo hitam dan bertuliskan ‘Tinggi Gula’, ‘Tinggi Garam’ atau ’Tinggi Lemak’,” ujar Nida.
Temuan tersebut sejalan dengan studi kualitatif Global Alliance in Nutrition (GAIN) mengenai persepsi remaja di Indonesia terhadap beberapa label depan kemasan juga menunjukkan label peringatan paling informatif dibanding label “Pilihan Lebih Sehat”.
Karenanya, CISDI dan FAKTA menyoroti perlunya sistem pelabelan produk pangan di Indonesia yang tidak hanya informatif, tetapi juga konsisten dan sesuai dengan praktik terbaik global.
Nida melanjutkan, penerapan kebijakan label peringatan depan kemasan secara wajib (mandatory) berpotensi signifikan untuk membalikkan tren peningkatan obesitas, diabetes tipe 2, penyakit kardiovaskular, dan penyakit tidak menular lain dalam jangka panjang. Tujuan ini sejalan dengan indikator RPJMN 2025-2029 untuk menurunkan prevalensi obesitas pada penduduk berusia di atas 18 tahun.
“Saat ini, Indonesia menerapkan dua jenis label depan kemasan secara sukarela, yaitu label Pilihan Lebih Sehat dan Guideline Daily Amount (GDA) monokrom. Namun, keberadaan dua sistem ini secara bersamaan justru dapat menimbulkan kebingungan di kalangan konsumen dan mengurangi efektivitas implementasinya, sesuai dengan rekomendasi FAO, WHO, dan studi di tujuh negara,” tegas Nida.
Cukai MBDK dan Penurunan Penyakit Tak Menular
Selain kebijakan label depan kemasan, CISDI dan FAKTA juga mendorong pemerintah segera menerapkan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
“Pemberlakuan kebijakan yang komprehensif, misalnya kebijakan label depan kemasan, cukai MBDK, dan pembatasan pemasaran produk tinggi GGL, akan lebih efektif untuk mewujudkan lingkungan pangan sehat bagi masyarakat,” kata Nida.
Menurut catatan CISDI dan FAKTA, pemerintah sejak 2022 telah berencana menerapkan cukai MBDK sebagai upaya menurunkan konsumsi gula masyarakat. Kendati target penerimaan cukai dari MBDK setiap tahun sudah dimasukkan dalam APBN, nyatanya penerapannya masih terus ditunda sampai saat ini.
Padahal, angka konsumsi minuman manis terus meningkat setiap tahun, sejalan dengan tingginya prevalensi penyakit tidak menular. Studi meta analisis pada 2021 dan 2023 mengestimasi setiap konsumsi 250 mililiter MBDK akan meningkatkan risiko obesitas sebesar 12 persen, risiko diabetes tipe 2 sebesar 27 persen, dan risiko hipertensi sebesar 10 persen.
Dalam lima tahun terakhir, pembiayaan BPJS Kesehatan terhadap penyakit katastropik dengan faktor risiko obesitas, diabetes melitus, dan hipertensi meningkat sebesar 43 persen atau Rp6-10 triliun.
“Apabila pemerintah tidak segera mengambil langkah serius, angka ini diperkirakan melonjak hingga mencapai Rp 23,59 triliun pada 2045,” imbuhnya.
Penelitian CISDI menunjukkan, kenaikan harga MBDK sebesar 20 persen berpotensi menurunkan konsumsi minuman berpemanis dan gula harian rata-rata sebanyak 5,4 gram untuk laki-laki dan 4,09 gram untuk perempuan. Penurunan konsumsi MBDK akan berkontribusi terhadap berkurangnya tingkat obesitas dan penyakit tidak menular seperti diabetes tipe 2, stroke, hingga penyakit jantung koroner.
Berdasarkan pertimbangan di atas, CISDI dan FAKTA yang tergabung dalam Koalisi Pangan Sehat Indonesia (PASTI) memberikan beberapa rekomendasi kepada pemerintah sebagai berikut:
1. Mengadopsi satu jenis label depan kemasan (FoPL) yang paling terbukti menurunkan konsumsi gula, garam dan lemak.
2. Memastikan informasi dan desain label depan kemasan mudah dipahami dan berbasis bukti dan kebutuhan masyarakat.
3. Mewajibkan penggunaan label peringatan yang terbukti efektif mendorong masyarakat memilih produk dengan kandungan gula, garam, dan lemak yang lebih rendah.
4. Segera menerapkan cukai MBDK dengan desain volumetrik untuk kenaikan harga minimal 20 persen.
5. Mengintegrasikan kebijakan label depan kemasan dan cukai MBDK dengan edukasi publik untuk memperkuat pemahaman masyarakat.
6. Menerapkan kebijakan komprehensif untuk mendukung masyarakat dapat memilih pangan yang lebih sehat.(*)
Pewarta | : Ahmad Nuril Fahmi |
Editor | : Ferry Agusta Satrio |