TIMES JAKARTA, JAKARTA – Amnesty International Indonesia menyebutkan tahun 2025 sebagai tahun malapetaka nasional hak asasi manusia (HAM) dalam catatan akhir tahun yang diluncurkannya pada Selasa (30/12/2025).
Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid mengatakan, kondisi dan situasi HAM tahun 2025 ini mengalami erosi terparah selama era reformasi dan Indonesia semakin melangkah mundur dalam bidang HAM.
Kemunduran HAM ini diakibatkan adanya kebijakan yang memprioritaskan ekonomi, bahkan hingga berbasis deforestasi, yang merampas ruang hidup masyarakat adat dan menolak partisipasi warga yang bermakna.
Menurutnya, sepanjang tahun 2025, malapetaka juga ditandai oleh maraknya pelanggaran hak-hak sipil dan politik maupun hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya, termasuk efisiensi anggaran yang mengganggu ekonomi masyarakat.
“Tahun ini pun ditutup oleh buruknya reaksi penanganan bencana ekologis di Sumatra yang mempertontonkan ketidakmampuan pemerintah menghadapi krisis kemanusiaan, bahkan mencerminkan watak represif seperti terlihat dalam kekerasan militer di Aceh baru-baru ini,” ujar Usman Hamid.
Ia mengungkapkan, saat ada aksi unjuk rasa, para pejabat negara bukannya fokus menyerap aspirasi dan menyelamatkan warga, justru jalan terus dengan kebijakannya, mengabaikan partisipasi bermakna dan melontarkan pernyataan gegabah.
“Malapetaka ini adalah akibat pemerintah saat ini yang anti-kritik, senang melontarkan narasi kontroversial, dan membungkam aspirasi yang berkembang di masyarakat,” katanya.
Dalam catatannya, Amnesty Internasional Indonesia mencatat sebanyak 283 pembela HAM mengalami serangan karena kerja-kerjanya selama 2025 seperti, diantaranya, kriminalisasi, penangkapan, pelaporan ke polisi dan percobaan pembunuhan dan mayoritas dari pembela HAM yang mengalami serangan adalah jurnalis dan masyarakat adat, masing-masing sebanyak 106 dan 74 orang.
Tahun ketimpangan sosial ekonomi
Ketimpangan sosial ekonomi tetap mengkhawatirkan. Data dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mengungkapkan kekayaan 50 orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan 50 juta orang Indonesia pada tahun 2024.
Di tengah ketimpangan ekonomi ini, hak atas pekerjaan juga semakin tergerus dengan meningkatnya jumlah pemutusan hubungan kerja di tahun 2025 yaitu mencapai 79 ribu hingga September 2025 berdasarkan data dari Kementerian Ketenagakerjaan.
Selain itu kebijakan yang sekilas terkesan seperti pemenuhan hak atas pangan seperti MBG, yang juga digadang sebagai solusi gizi nasional untuk hak atas kesehatan, berubah menjadi bencana kesehatan publik dengan ribuan siswa mengalami keracunan massal.
Badan Gizi Nasional (BGN) dan Kementerian Kesehatan per 12 November mengungkap ada lebih dari 11 ribu jumlah anak penerima MBG yang keracunan. Sebelumnya, Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), koalisi beberapa lembaga masyarakat sipil yang fokus pada akses dan kualitas pendidikan di Indonesia, mencatat jumlah lebih besar yakni 16.109 anak.
“Insiden keracunan MBG ini mencerminkan watak otoriter, tergesa-gesa tanpa riset mendalam serta pengawasan memadai. Seharusnya program ini dievaluasi menyeluruh,” kata Usman.
Sementara itu, Proyek Strategis Nasional (PSN) terus menggusur masyarakat adat di kawasan timur Indonesia. Seperti PSN Lumbung Padi Nasional di Merauke, Papua, yang membongkar hutan dan menyerobot lahan masyarakat adat tanpa dialog.
Begitu pula proyek jalan Trans Kieraha dan ekspansi tambang nikel di Halmahera, telah mendesak ruang hidup komunitas adat. Hutan tempat mereka hidup beralih menjadi tambang. Masyarakat adat tidak diberi ruang untuk memutuskan.
Kasus-kasus tersebut menunjukkan bahwa atas nama pembangunan dan investasi, hak ulayat dirampas, sehingga memperdalam ketimpangan ekonomi dan memicu konflik agraria yang berkepanjangan.
| Pewarta | : Ahmad Nuril Fahmi |
| Editor | : Ferry Agusta Satrio |