TIMES JAKARTA, JAKARTA – Kelompok I Badan Pengkajian MPR RI menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Kedaulatan Rakyat Perspektif Demokrasi Pancasila” di Tangerang Selatan, Banten, Rabu (3/12/2025). Forum ini menjadi bagian dari pendalaman kajian terkait kualitas demokrasi serta arah sistem ketatanegaraan Indonesia.
Diskusi dipimpin Ketua Kelompok I Badan Pengkajian MPR RI, Prof. Dr. Yasonna H. Laoly, S.H., M.Sc., Ph.D. (PDI Perjuangan). Sejumlah anggota turut hadir, di antaranya I.G.N. Kesuma Kelakan (PDI Perjuangan), H. Hasan Basri Agus (Fraksi Golkar), Saadiah Uluputty (Fraksi PKS), serta perwakilan Kelompok DPD seperti Ust. Dr. H. Dedi Iskandar Batubara, Denty Eka Widi Pratiwi, Dr. Lia Istifhama, Jupri Mahmud, dan Aji Mirni Mawarni.
Tiga pakar turut dihadirkan sebagai narasumber: pendiri Indikator Politik Indonesia sekaligus akademisi FISIP UIN Jakarta, Prof. Burhanuddin Muhtadi; ahli hukum tata negara Universitas Indonesia, Mohammad Novrizal; dan pengajar Universitas Islam 45 Bekasi, Dr. Rasminto.
Demokrasi Dinilai Mengalami Kemunduran
Dalam paparannya, Yasonna menyampaikan bahwa para pakar menilai kualitas demokrasi Indonesia mengalami penurunan dalam beberapa tahun terakhir. Tren itu tidak hanya tampak dalam hasil riset dan survei lembaga internasional, tetapi juga terlihat dari dinamika politik nasional.
Ia menilai persoalan rekrutmen politik dalam pemilu—baik pilpres, pilkada, maupun legislatif—menjadi salah satu akar masalah. Karena itu, ia mendorong lahirnya format baru yang mampu memperbaiki proses demokrasi.

“Perlu ada mekanisme rekrutmen politik yang benar-benar sehat agar demokrasi kita tetap berada pada relnya,” ujarnya.
Yasonna juga mengingatkan pentingnya menjamin kebebasan berpendapat yang tetap berjalan sesuai koridor hukum, serta memperkuat sistem check and balances antar lembaga negara.
“Semakin kuat pengawasan antarlembaga, semakin baik pula kualitas demokrasi dan pembangunan ekonomi,” katanya.
Ia menilai fenomena publik baru didengar ketika keluhan mereka viral menunjukkan perlunya saluran resmi yang lebih efektif. Para pakar pun mengusulkan agar lembaga perwakilan membuka kanal media sosial sebagai ruang penyerapan aspirasi masyarakat secara langsung.
Diskusi juga menyentuh perlunya kajian lebih komprehensif terhadap sistem ketatanegaraan, termasuk kemungkinan evaluasi terhadap UUD 1945.
Burhanuddin: Indonesia Mengalami Penurunan Demokrasi Paling Tajam
Prof. Burhanuddin Muhtadi menegaskan bahwa berbagai lembaga pemeringkat global—Freedom House, The Economist Intelligence Unit, hingga V-Dem—menunjukkan pola penurunan yang konsisten terhadap indeks demokrasi Indonesia. Bahkan, V-Dem baru-baru ini menempatkan Indonesia sebagai electoral autocracy, atau kemunduran paling drastis sejak Reformasi.
“Pada masa Presiden SBY, indeks demokrasi kita berada pada titik tertinggi. Namun dalam era pemerintahan berikutnya angka itu terus menurun, dan setahun terakhir penurunannya lebih tajam,” jelasnya.
Menurut Burhanuddin, salah satu faktor utama adalah pudarnya prinsip checks and balances. Akuntabilitas antarlembaga negara kian lemah sehingga mekanisme kontrol tidak berjalan efektif.
Ia juga mengkritisi konsep demokrasi Pancasila yang dinilai terlalu lentur dan tidak memiliki batasan operasional yang jelas, sehingga mudah dipakai untuk kepentingan tertentu. Ia menekankan pentingnya membangun demokrasi yang tetap menghormati kedaulatan rakyat sesuai amanat UUD 1945.
Partisipasi Publik Harus Diperluas
Pakar hukum tata negara, Mohammad Novrizal, menilai bahwa penguatan demokrasi hanya dapat dilakukan dengan membuka ruang partisipasi publik yang lebih substantif, terutama dalam proses legislasi.
Novrizal menegaskan bahwa pemenuhan prinsip meaningful participation—hak masyarakat untuk didengar, dipertimbangkan, dan mendapat penjelasan atas keputusan publik—harus menjadi standar dalam pembentukan undang-undang.
Ia mengingatkan bahwa berbagai bentuk partisipasi sebenarnya sudah ada di tingkat masyarakat, tetapi belum dikelola secara maksimal oleh negara.
Negara Harus Menjamin Keadilan dan Tidak Elitis
Sementara itu, Dr. Rasminto menilai sejumlah tujuan amendemen UUD 1945 pada periode 1999–2002 belum sepenuhnya terwujud. Ia menyebut indikatornya terlihat dari maraknya judicial review, terutama sejak 2019 hingga 2025 yang mencapai 125 permohonan, sebagian besar terkait omnibus law.
Menurutnya, kesenjangan literasi politik masih menjadi tantangan yang hanya dapat diperbaiki melalui penguatan prinsip kedaulatan rakyat dalam konstitusi, termasuk penegasan partisipasi publik dan perbaikan sistem pemilu maupun partai politik.
“Konstitusi harus memastikan negara berjalan secara simetris, adil, dan tidak elitis. Tujuan utama bernegara adalah memakmurkan rakyat,” tegasnya.
Masukan untuk Penguatan Demokrasi ke Depan
Melalui beragam pandangan dari para ahli, FGD ini diharapkan memperkaya penyusunan rekomendasi strategis mengenai arah ketatanegaraan Indonesia. Hasil diskusi akan menjadi materi penting bagi MPR RI dalam memperkuat demokrasi, memastikan kedaulatan rakyat, dan mendorong sistem politik yang lebih inklusif serta akuntabel. (*)
| Pewarta | : Rochmat Shobirin |
| Editor | : Wahyu Nurdiyanto |